Selamat Ulang Tahun, Gema

19 2 0
                                    


"Selamat ulang tahun, Kak Gema. Ini hadiah dari Kinara." Dengan senyum mungil di bibir, Kinara menyerahkan sebuah kota kecil yang dihiasi pita abu-abu kepada Gema.

Gema, laki-laki itu menerima dengan senyum lebar. "Ki, padahal kamu mau datang ke ultah aku aja aku udah senang. Kehadiran kamu lebih berarti dari hadiah apa pun," ujar Gema.

"Jelas Kinara harus datang dong, Kak. Kan, Kak Gema Kakaknya Kinara. Hadiah ini emang nggak seberapa tapi Kinara nyarinya susah lho. Kinara mau Kak Gema harus jaga baik-baik, ya."

Senyum di bibir Gema melemah. Kak Gema Kakak Kinara, menyentak batinnya. Namun, dengan cepat dia singkirkan. Tidak. Ini hari bahagianya dan memikirkan hal lain yang membuat sedih tidak masuk dalam list-nya.

Saat ini keduanya tengah berada di dekat kolam renang yang ada di dalam hotel. Berdasarkan rencana, Gema akan menembak Kinara di dekat kolam renang.

Tangan Gema meraih hadiah dari Kinara, memeluk di dadanya seolah menjaga dari bahaya. Walau bukan pertama kalinya mendapat hadia dari Kinara, Gema tetap saja merasa senang. Dia yakin lemarinya akan penuh dengan barang-barang pemberian gadis kesayangannya.

Gema ingat, Kinara pernah memberinya sebuah miniatur kapal selam yang keduanya dapat saat berkunjung ke Labuan Bajo. Saat itu adalah saat paling berkesan bagi Gema karena di sanalah Gema menghabiskan waktu menyelam seharian penuh dengan Kinara.

Sampai-sampai keduanya tertidur di atas kapal yang disewa untuk mengantar mereka pergi ke tengah laut untuk menikmati pemandangan alam bawah laut Labuan Bajo yang mengagumkan.

"Kinara tahu hadiah dari Kinara mungkin nggak sebanding sama yang dikasih Om Andi dan Tante Mayang--"

"Hadiah kamu yang terbaik," sela Gema. "Justru yang aku tunggu-tunggu adalah hadia dari kamu."

Kepala Kinara memiringkan kepalanya, ekspresi bingung begitu kentara saat berusaha mencerna ucapan Gema.

Melihat Kinara yang tampak bingung dengan ucapannya, Gema justru deg-degan. Inilah waktu yang sudah dia tunggu-tunggu. Dengan tangan dingin dan degup jantung yang melebihi batas normal, Gema mencoba mengutarakan perasaannya.

Perlahan tapi pasti, tangan Gema menggenggam tangan Kinara. "Kak Gema kenapa? Tangan Kakak dingin," ucap Kinara dengan pandangan tak lepas dari wajah Gema.

"Ki, aku mau ngomong serius sama kamu." Gema sebisa mungkin menetralkan suaranya yang terdengar gemetar. Dengan meraup udara sebanyak yang dia bisa, laki-laki kembali berujar, "Ki, aku ingin silaturahmi di antara kita jangan Kakak Adik lagi. Aku bahagia menjadi anak tunggal. Selama ini aku selalu ingin menjadi seseorang yang selalu ada buat kamu, Ki. Bukan hanya menjaga kamu saat Om Surya dan Tante Nurul nggak ada, aku ingin menjaga kamu selamanya."

Bibir Kinara bungkam. Otak kecilnya dengan cepat memproses makna di balik kalimat Gema.

"Ki, aku ingin kamu jadi pasangan aku. Aku ingin kamu ambil bagian dari hidupku. Melukis warna dalam hidupku dan ikut merangkai mimpi masa depan bersamaku."

"Kak Gema ..." Ucapan Kinara tertahan, ditatapnya lamat-lamat wajah tampan Gema yang penuh harap. "Tapi Kinara hanya menganggap Kak Gema sebagai Kakaknya Kinara."

Genggaman Gema melemah, tetapi masih bertaut dengan tangan Kinara.

"Kinara sayang sama Kak Gema tapi Kinara nggak bisa lebih dari itu, Kak. Maaf," gumam Kinara sambil melepas genggaman tangan Gema.

Kepala Gema tertunduk. Embun di kedua bola matanya menyerobot keluar, tetapi Gema menahannya mati-matian.

"Kinara pamit pulang dulu, Kak. Makasih untuk potongan kue pertamanya."

***


Gema ditolak.

Gema merana.

Gema kehilangan pijakan.

Gema yang malang.

Lalu, Gema teller.

Laki-laki yang baru genap berusia delapan belas tahun itu duduk bersandar di kursi sambil meneguk minumannya. Sudah jam sebelas malam, sudah tiga gelas masuk ke dalam gudang tengahnya tapi Gema masih memaksakan diri untuk minum lagi.

"Udah, Ge! Jangan bikin Om dan Tante khawatir." Dani menarik paksa gelas dari tangan Gema. "Di, taruh jauh-jauh gih!" pinta Dani yang langsung dilakukan Aldi.

"Jangan patah semangat, Ge. Lo masih ada kesempatan buat bikin Kinara jatuh cinta sama lo."

Gema menoleh, mata sayunya menatap Yusuf. "Nggak bisa, Suf. Kinara cuma nganggep gue sebagai Kakak. Gue bisa liat itu di mata dia. Dan dia nggak bisa bohong."

Bibir Yusuf terkatup. Niat untuk menyemangati sang sahabat telah musnah hanya dengan mendengar balasan Gema.

"Gue cinta sama Kinara. Gue sayang sama dia ...," Kepala Gema jatuh di atas meja, matanya terpejam. "Dan, gue harus gimana lagi biar Kinara mau jadi pacar gue? Apa gue harus mampusin si Alvin? Gue kurang apa, Dan?"

Ketiga sahabat Gema hanya saling pandang.  Terutama Dani yang selalu menjadi tempat keluh kesah sang sepupu.

"Dan, bawa Kinara ke sini gue mau peluk dia. Gue nggak bisa tidur tanpa dengar suara dia. Kinara kayaknya bakalan nggak mau lagi dekat-dekat sama gue, Dan. Dia pasti ilfil sama gue."

Dani, sepupu Gema itu tidak tahu lagi bagaimana membantu Gema. Memaksa Kinara membalas perasaan Gema, tentu saja tidak mungkin.

"Kita pulang, ya? Lo butuh istirahat, Ge. Gue udah izin sama Om Andi dan Tante Mayang kalau malam ini lo nginap di rumah gue," ungkap Dani dengan berusaha memapah Gema.

"Lepasin gue!" Gema menyentak tangan Dani. "Gue nggak butuh istirahat. Gue butuh Kinara," ujar Gema lirih sebelum akhirnya jatuh ke kursinya.

"Dan, apa kita perlu pake dukun biar Kinara mau sama Gema?"

"Jangan aneh-aneh, Di. Musyrik tahu kayak gitu tuh," sela Yusuf seraya memukul kepala Aldi.

Dani berdecak. "Nggak usah berantem lo berdua. Buruan bantu gue bawa Gema ke mobil."

Malam ulang tahun yang meriah berubah menjadi suram. Suasana hangat dan menyenangkan yang beberapa jam tercipta di dalam hotel kini tinggal kenangan. Sang pemilik pesta justru terbaring lemah di atas tempat tidur dengan pakaian lengkap. Hanya sepatu yang terlepas.

Dengan mata terpejam, bibir Gema masih menyuarakan sang gadis pujaannya. "Kinara. Kinara aku sayang kamu. Kenapa kamu nggak mau jadi pacar aku, Ki?" gumam Gema lirih.

"Dan, kayaknya kita beneran harus kasih tahu Kinara deh. Liat Gema sampai ngigau dia terus. Lo nggak kasihan apa sama sodara lo," timpal Aldi yang sejak tadi memperhatikan Gema.

"Jangan! Jangan ada yang ember dan kasih tahu Kinara soal Gema. Gue nggak mau Kinara terima Gema karena kasihan."

"Gue setuju sama Dani. Tapi juga setuju sama Aldi." Spontan saja Dani dan Aldi menatap tajam Yusuf yang dianggap plin-plan.

"Eh, maksud gue tu kita nggak bisa maksa seseorang buat suka sama kita. Tapi seenggaknya Kinara harus tahu kalau penolakannya terhadap Gema bikin Gema sekacau ini. Soal nanti Kinara mau sama nerima Gema karena kasihan atau tetap sama pendiriannya, terserah dia."  Penjelasan panjang lebar itu ternyata tidak mampu membujuk Dani untuk memberitahukan keadaan Gema yang sekarang pada Kinara.

"Tetap jangan kasih tahu Kinara. Awas aja kalau lo berdua ember," ancam Dani pada kedua sahabatnya. "Lo berdua mending cara kamar kosong deh. Sana tidur udah malam juga. Biar gue yang jaga Gema di sini."

"Gue tidur di sini aja, deh," timpal Yusuf yang juga disetujui Aldi.

Malam itu, ketiga sahabat Gema tidak benar-benar tidur. Sepanjang malam mereka harus mendengar rintihan pilu patah hati seorang Gema.

Gemara [On Going]Where stories live. Discover now