34. Wait For Me

104 13 0
                                    

Pagi-pagi buta di kediaman keluarga Moon sudah tidak kondusif. Si anak bungsu yang sebentar lagi tidak jadi bungsu itu grasak-grusuk kesana-kemari. Tangannya penuh dengan jaket serta kemeja yang Asahi pinjamkan padanya tempo hari. Ia harus segera mengembalikannya walau Asahi sendiri tidak meminta.

Setelah menyetrika dua potong pakaian itu, Nara segera bersiap mengganti baju dengan seragam. Ia sudah mandi setelah bangun tidur tadi. Bahkan ia memasang alarm satu jam lebih awal dari biasanya.

"Duh, takut ketemu Kak Asa."

Pikiran gadis itu berkecamuk. Memikirkan bagaimana caranya ia bertemu Asahi dan meminta maaf pada pemuda darah Jepang itu. Sebab, setelah keributan kemarin, mereka tidak bertukar sapa lewat handphone.

Hampir setengah jam kiranya ia melamun. Segera ia memakai sepatu dan tas. Kemudian memantapkan hatinya untuk bertemu Asahi.

🎶🎶🎶

Sepeda motor itu sudah terparkir rapi. Pemiliknya baru saja melepas helm kemudian menata rambutnya sedikit agar terlihat rapi. Manik cokelat nya menatap spion, dapat ia lihat wajahnya penuh luka dan lebam.

Suara knalpot motor yang familiar menyapa gendang telinga. Pemuda itu menoleh. Sepersekian detik setelahnya, mengedarkan pandangan ke segala arah. Wajah yang sama babak belur itu memberikan tatapan serius.

"Lo bahkan gak ngasih kepastian,"

Kalimat itu membuat langkahnya terhenti. Ia menatap langit lalu menghela napas. Ah, pagi-pagi sudah mengundang emosi saja.

"Benar, kan, Hamada Asahi?"

Dia membalikkan badan begitu namanya disebut. Menatap pemuda jangkung yang tak jauh di hadapannya dari atas sampai bawah. Setelahnya, ia hanya menggelengkan kepala.

"Kata gue, kalau gak tahu apa-apa mending diam. Berisik pagi-pagi." Jawab Asahi.

"Berarti gue benar, ya?"

Asahi mendecih, "dengan lo yang sok tahu itu, bukan berarti lo keren. Simpulan lo itu gak berguna buat gue, Watanabe Haruto."

Asahi kembali melanjutkan langkahnya.

"Seenggaknya gue lebih unggul seratus langkah dibanding lo,"

Tapi, harus terhenti lagi. Dia kembali menoleh pada Haruto yang memancing emosinya pagi hari ini.

"Mau lo unggul seratus langkah, seribu langkah, sejuta langkah, gue gak peduli. Lo harus ingat, kesombongan lo itu gak ada harganya di mata gue. Jadi, mau lo sombong setinggi langit pun gue gak peduli," Asahi berbicara dengan santainya dan jangan lupa kedua lengan yang ia masukkan ke dalam saku celana seragam.

"Lo pikir setelah lo ambil perhatian dia kemarin, gue bakal ngejauhin dia? Hahaha, jelas hal bodoh itu gak akan gue lakuin. Karena lo harus tahu, perasaan gue ke Nara itu gak main-main. Kalau mau bersaing sama gue, pakai otak dan hati lo. Jangan main curang."

Asahi benar-benar meninggalkan Haruto yang tak bergeming. Pemuda itu terdiam dengan rentetan kalimat yang Asahi ujar. Dia pikir, dia tidak salah memilih lawan. Namun pemikirannya justru menjadi boomerang baginya. Asahi memang tidak main-main, ia melihat tatapan serius dari sepupunya itu.

"Aarghhh! Kenapa dia harus hadir di antara gue sama Nara, sih?" teriaknya frustasi.


"Akhirnya lo tahu, kalau Asahi kali ini gak akan main-main," ucap seseorang yang tak jauh dari sana.




Asahi duduk manis di tempatnya. Melepas jaket hitam yang ia kenakan dan meletakkannya asal di atas meja. Sebotol air yang ia bawa dari rumah kini tersisa setengah. Berbicara panjang lebar ternyata membutuhkan tenaga dan menimbulkan dahaga.

Music • Asahiजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें