[7] Kuda

1.2K 125 23
                                    

Di ruang tamuku, ada sebuah meja kopi dengan ukiran kepala kuda di setiap kakinya. Mata kuda-kudanya sangat besar. Itu hampir memenuhi seperenam dari kepalanya. Moncong kudanya juga sedikit terbuka, sehingga menampakkan jajaran gigi-giginya yang rapi. Kuda tanpa badan itu berwarna emas, serasi dengan kaki meja yang berwarna kecoklatan. Aku sering meraba-raba kepala kuda itu jika aku bermain di ruang tamu.

Suatu malam, sofa baru pesanan Ayah tiba. Sofa itu berwarna biru tua dengan motif sulur-sulur berbunga berwarna emas. Adikku yang masih kecil meraung ingin tidur di atas sofa baru itu. Akhirnya, Ayah terpaksa mengikuti keinginan adikku dengan syarat aku harus menemaninya karena Ayah ada urusan di luar kota hingga lusa. Awalnya aku menolak, karena kuda-kuda itu terlihat menakutkan di malam hari. Tapi dengan iming-iming diberi uang jajan, aku pun menurutinya.

Aku tidur bersama bantal gulingku di atas sofa yang berada di dekat pintu masuk. Sedangkan adikku tidur di atas sofa di seberang meja kopi tepat di depanku. Selimut tebal sengaja aku naikkan hingga menutupi sebagian kepalak dan menyisakan kedua mataku agar aku bisa mengamati adikku.

Awalnya, malam itu berlangsung damai. Hanya ada suara-suara ranting yang saling bergesekan di terpa angin malam. Tawa-tawa para tetangga yang sedang bermain domino juga terdengar. Membuatmu merasa begitu aman untuk tidur. Dan aku memang tertidur.

Tiba-tiba, aku dibangunkan oleh suara adikku yang tidur gelisah. Dia mengerang dan bergumam tidak keruan. Aku terpaksa membuka mata. Terlihatlah sofa dimana adikku seharusnya tertidur. Tapi dia tidak ada di sana. Aku mulai memanggil namanya tanpa beranjak dari selimut hangatku. Malah aku semakin menaikkan selimutku.

"Nisa?" panggilku lagi. Tapi tidak ada jawaban. Aku mulai gelisah sendiri.

Aku pun berpikir positif. Mungkin saja adikku sudah kembali ke dalam kamar kami. Akhirnya, aku duduk di atas sofa untuk merenggangkan leherku. Setelah itu, barulah aku berdiri untuk memungut guling, bantal, serta selimutku. Dengan susah payah aku membawa benda-benda itu ke dalam kamar yang berada jauh di belakang.

Sesampainya di kamar, aku merasa bingung. Pintu kamarku tertutup sedang lampu kamarku mati. Padahal aku meninggalkannya dalam keadaan menyala dan pintu kamar yang terbuka. Memikirkan bahwa ini adalah perbuatan Ibu adalah tidak mungkin. Karena aku keluar dari kamar setelah Ibu tertidur.

Mungkin kau berpikir aku berlagak detektif atau apa. Tapi rasa kantukku benar-benar hilang sekarang. Hatiku terus bertanya-tanya. Apa mungkin Nisa yang melakukannya?

Tidak. Tidak mungkin. Nisa terlalu pendek untuk mencapai saklar lampu. Setelah menarik nafas dalam-dalam, aku membuka pintu dengan perasaan gundah. Tidak lupa aku menyalakan lampu sebagai penerangku. Betapa terkejutnya aku saat melihat Nisa memang terlelap di tempat tidurnya.

Perasaanku lega. Mungkin Ibu terbangun saat Nisa mengerang tadi dan menuntunnya ke kamar. Meninabobokan Nisa itu mudah bagi seorang Ibu. Tapi kenapa Ibu tidak membangunkanku?

Saat aku membelakangi Nisa dan berniat untuk tidur di tempat tidurku sendiri, sebuah suara gumaman dan erangan lainnya terdengar dari arah tempat tidur Nisa. Aku merasa cemas. Kutolehkan kepalaku perlahan untuk melihat keadaan Nisa. Di sana ada sosok lain yang sedang duduk di atas tempat tidur dengan penuh ketakutan. Dia adalah seorang gadis berambut panjang bergelombang.

Ah, aku ingat. Ternyata hanya aku yang bangun dari kaki meja. Teman-temanku tidak niat memangsa anak kecil rupanya.

Ketika Kita TidurWhere stories live. Discover now