[17] Nirina Green

952 108 12
                                    

Pagi itu, Nirina tersenyum menatap bayangan yang terpantul pada cermin kamar mandinya. Bibirnya yang sumbing, matanya yang berkedut-kedut, serta alisnya yang gundul membuat wajahnya nampak sempurna. Nirina tersenyum lebih lebar saat melihat daun telinganya yang cacat. Kalau bisa dia ingin tersenyum hingga seluruh giginya nampak, tapi mulutnya tak mampu melakukan itu. Melangkah ke luar dari kamar mandi, Nirina melirik terakhir kali untuk mengagumi kecantikannya.

Dia bahagia terlahir buruk rupa.

Nirina di antar oleh supir pribadinya ke sekolah, Pak Angel, pria muda berkarisma yang terkadang berkata benci bekerja di rumah keluarga Green-walau ia tak pernah mengatakannya tepat di depan Nirina, tapi Nirina tahu dari raut wajah Pak Angel yang seperti ditekuk setiap harinya.

Mereka berangkat ke sekolah setiap hari sebelum pukul delapan pagi, ketika kabut masih menyelubungi kota. Hal itu dilakukan agar Nirina selalu menjadi yang pertama menginjakkan kaki di sekolah. Untuk seseorang yang tak terlalu senang bangun pagi, kadang Pak Angel mengomel pada dirinya sendiri. Dia selalu mengutuk kesialannya karena hanya bisa menjadi supir ketika masa depan yang lebih cerah menantinya. Yang sekali lagi, tentu saja ia mengatakan itu bukan di depan Nirina atau mungkin di depan Tuan dan Nyonya Green.

Tidak, tidak. Nirina bukannya bisa membaca pikiran orang lain. Dia tahu begitu saja. Persis seperti orang tuanya yang juga tahu banyak hal begitu saja.

Setelah Pak Angel pergi, gadis berambut hitam legam itu sengaja berdiri di depan pintu depan gedung utama sekolah. Pantulan tubuhnya terlihat samar di kaca jendela yang buram akibat embun. Rambutnya yang sengaja tak ia sisir mencuat di sana-sini. Matanya yang memiliki lingkaran hitam serta senyumnya yang terus mengembang sepanjang pagi tanda ia begitu gembira.

Nirina selalu menyambut hari-hari ke sekolah dengan perasaan berbunga-bunga. Sangat berbeda dengan anak-anak seusianya yang enggan untuk menemui guru-guru mereka. Apalagi jika diberi tugas-tugas menumpuk sebelum tugas yang lain selesai.

Akhirnya, murid pertama selain Nirina datang. Dia seorang shopomore, setahun lebih muda daripada Nirina. Namanya Dahlia, kutubuku yang senang menggunakan pakaian bermodel sama setiap harinya, hanya warnanyalah yang membuat orang-orang tahu kalau dia berganti pakaian. Sudah berminggu-minggu Nirina mengamati Dahlia. Dia tahu segala hal tentang Dahlia-buku favoritnya, makanan kesukaannya, hingga acara tv yang selalu ditontonnya setelah makan malam.

Dahlia merasa sedang diamati sejak ia turun dari mobil. Dia mengaitkan rambutnya ke belakang telinga, lalu kembali memeluk buku-bukunya. Dari jarak sekitar dua meter, dia bertanya pada Nirina, "Apa kau sedang memandangiku?" tanya Dahlia takut-takut.

Senyum Nirina semakin lebar. Gigi-geligi kuningnya seakan menjadi penambah penerangan. Dahlia membalas senyum dengan canggung. "Aku tahu," suara Nirina terdengar serak, seperti dipaksa berbicara setelah sepuluh tahun terdiam, "yang kau inginkan." Nirina mengangkat alisnya yang gundul.

"O-key .... Apa yang kuinginkan?" Dahlia mengulang ragu.

Dahlia mundur setiap langkah Nirina mendekatinya. Dia tak punya pilihan. Nirina begitu bau, seakan tak pernah mandi bertahun-tahun. Semua orang di sekolah tahu itu. Dan itu pula alasan semua orang membencinya, tapi tak pernah berani untuk menindasnya. Tatapan Nirina, suaranya, terutama wajahnya ... semuanya membuat orang gemetar. Bahkan para guru selalu memberikan nilai lulus pas-pasan asal tidak bermasalah dengan Nirina.

"Brendan Dapner. Kaupikir aku tidak tahu?" Nirina mendengus setelah mengatakan itu.

Tapi, Dahlia menggeleng, lalu tertawa. "Kurasa kausalah orang, Nirina. Aku tidak punya perasaan pada Brendan Dapner. Lagipula, dia pembuat masalah. Untuk apa aku bersamanya?"

Nirina menyeringai, matanya menyipit tajam. "Jika kau berubah pikiran," nafasnya yang bau membuat hdung Dahlia mengkerut, "aku menunggumu sepulang sekolah." Lalu dia melangkah mundur, menghilang di balik pintu utama sekolah.

***

Mungkin seharusnya Dahlia tidak usah mempercayai Nirina. Bagaimanapun, Nirina adalah orang yang mencurigakan. Mereka yang mempunyai badan bau, selalu tersenyum di setiap kesempatan, tapi tidak pernah dicap sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan itu sangat aneh. Apalagi jika terlahir di keluarga kaya raya seperti Nirina Green. Orang-orang bisa saja mencapnya sebagai abnormal kuadrat. Tapi, itulah dia masalahnya. Tak ada yang berani, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya.

Namun, Dahlia menepis semua kenyataan yang ada. Selesai jam sekolah, dia berlari ke arah limosin keluarga Green dengan pakaian kusut dan basah. Air matanya berderai, bahkan ia tak bisa melihat akibat kacamatanya menjadi buram.

Pak Angel yang melihat itu langsung menurunkan kaca mobil. "Dimana Nirina Green?" seru Dahlia sambil mencengkeram kaca jendela mobil.

Lelaki itu gelisah di kursi pengemudi. Dia menggerak-gerakkan matanya. "Apa perlumu dengan-ugh-Nona Nirina?"

"Aku harus berbicara dengannya! Ini tentang," Dahlia menelan ludah, "tawarannya," lanjutnya gugup.

Mata Pak Angel membulat. Dia nampak begitu terkejut dengan pernyataan itu. Diisyaratkannya Dahlia untuk mendekat, sedangkan Pak Angel mengeluarkan kepalanya dari jendela, dan mulai berbisik, "Apapun yang dia tawarkan, sebaiknya kau mengurungkan niatmu." Suaranya tajam bagaikan silet. "Aku sungguh-sungguh."

"Kenapa kau berbisik?"

"Itu tidak penting. Yang jelas, Keluarga Green berba-"

"Dahlia."

Pintu limosin bagian bagian belakang terbuka. Pak Angel dan Dahlia menoleh ke sana. Terlihatlah Nirina sedang duduk membungkuk dengan seringainya. Mata serta bibirnya yang sumbing berkedut-kedut, dan jemarinya bergoyang-goyang di atas pahanya. "Masuklah. Kita bicarakan tawaran itu di sini." Dia melirik misterius ke arah Pak Angel. "Dengan privasi penuh tentu saja,"ujarnya penuh penekanan.

Dahlia berbalik menuju pintu itu, namun Pak Angel menarik tangannya. Dia menatap sungguh-sungguh ke arah gadis kutu buku itu. "Urungkan niatmu!" ujarnya memperingatkan.

Tapi Dahlia tidak peduli. Dia berjalan lurus ke arah Nirina dan mulai berbicara, "Kau benar soal Brendan. Kalau yang tadi pagi sung-"

"Keluarga Green mengetahui banyak hal, dan kami selalu menepati janji."

Nirina menyeringai lebih lebar lagi. Dahlia dan Pak Angel menelan ludah bersamaan. "Sudah kukatakan, Dahlia," bisik Pak Angel ketika Dahlia menutup pintu limosin. []

Ketika Kita TidurWhere stories live. Discover now