[24] Sembilan Potong

6.1K 223 25
                                    

Siang tadi, Nona Cherie memesan -piza. Namun hingga pukul empat, piza itu tak juga tiba. Nona Cherie menjadi gelisah. Ketujuh temannya mulai mengeluh karena hanya diberi air biasa. Mereka berkata akan segera pulang jika piza pesanan Nona Cherie belum datang sampai pukul lima.

Nona Cherie merengut di kursinya. Dia mulai tak tahan menunggu si Pengantar Piza. Nona Cherie pun berlari meninggalkan teman-temannya. Nyonya Lira yang sedang berada di ruang baca terkejut oleh tangisan Nona Cherie.

"Ibu! Piza-piza itu ditelan monster ya?" isak Nona Cherie sambil menarik-narik gaun Nyonya Lira.

Nyonya Lira merasa prihatin dengan Nona Cherie. Dia menyapu rambut panjang Nona Cherie ke belakang telinga sambil berkata, "Sabarlah, Sayang. Lagi pula kau sudah menelepon tiga kali ke sana. Pizanya pasti akan segera tiba."

"Kapankah itu, Ibu?" tanya Nona Cherie. "Sudah tiga jam aku menunggu dan teman-temanku mulai kelaparan!"

Nyonya Lira menghela nafas panjang. Dia terdiam nampak berpikir. Sembari menyeka air mata Nona Cherie, Nyonya Lira berkata, "Bagaimana kalau membuat piza sendiri? Teman-temanmu pasti menyukainya. Bukankah lebih menarik jika kau membuat toping pizamu sendiri?"

Nona Cherie terbengong mendengar ide ibunya. Walau ia cukup bingung, tapi ide itu pula yang membuat air mukanya menjadi cerah kembali. Nona Cherie melompat sambil bertepuk tangan. Gadis kecil itu berseru, "Ide bagus!" Lalu berlari keluar dari ruang baca sambil berteriak, "Kita akan membuat piza! Kita akan membuat piza!"

Dengan senyum yang menghiasi bibirnya, Nyonya Lira pun berjalan ke dapur dengan setengah berjingkrak. Sepatunya berkelotakan di koridor rumah. Ia akan menyiapkan bahan-bahan untuk membuat piza bersama putrinya dan juga teman-teman putrinya. Dapur pasti akan sangat ramai. Nyonya Lira sangat tak sabar dan begitu pula Nona Cherie yang berlari berputar di antara teman-temannya yang tengah sibuk bermain boneka.

***

"Pizanya sudah selesai!" seru Nyonya Lira sambil memasuki ruang bermain.

Nona Cherie bertepuk tangan gembira, begitu pula teman-temannya. Mereka duduk memutari meja, sementara Nyonya Lira meletakkan piza itu di sana. Nyonya Lira menyerahkan pisau pemotong piza pada Nona Cherie agar dia bisa memotong piza-piza itu sesukanya. Setelah menerima pisau pemotong piza itu, Nona Cherie mulai bergumam sembari menghitung orang-orang yang berada di ruang bermain.

"Totalnya sembilan!" kata Nona Cherie riang.

Nyonya Lira tersenyum melihat Nona Cherie yang sedang memotong piza sampai seorang temannya bertanya, "Kenapa kau memotong untuk sembilan orang?"

Nona Cherie menghentikan pekerjaannya, menoleh pada temannya itu untuk menjawab, "Karena ada sembilan orang di ruangan ini."

"Apakah kau menghitung ibumu?" tanya teman Nona Cherie yang lain.

"Oh, tentu saja!" Nona Cherie mulai menunjuk orang satu demi satu untuk menghitung keras-keras. "Aku, Catherine, Jessy, Millia, Addeline, Miriam, ibuku, nenekku, kakekku, dan--"

"Nenek dan kakek?" sela Nyonya Lira.

"Ya, Bu. Mereka ada di pintu sana."

***

"Boneka-bonekamu menyukainya, Lira?"

Suara Nyonya Megan terdengar di belakang Nona Lira. Anak perempuan itu menoleh dan mendapati ibunya, yang bersandar pada daun pintu, sedang memperhatikannya. Di belakang Nyonya Megan ada Tuan Benjamin, ayah dari Nona Lira. Gadis pirang itu tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang ompong sebagian. Dia menunjuk kursi-kursi kosong pada meja kecilnya, tempat boneka-boneka kesayangannya duduk diam--Cherie, Catherine, Jessy, Millia, Addeline, dan Miriam--lalu berujar, "Ibu dan Ayah boleh duduk bersama kami!"

Nyonya Megan tersenyum, lalu melangkah ke dalam ruang bermain. "Dengan senang hati, putri kecilku," balasnya sambil mengelus kepala putrinya dan ikut duduk di sekitar meja kecil. "Kemarilah, Ben. Kami membuat piza ini bersama. Rasanya pasti enak." Dia melirik pada Nona Lira yang terlihat berbinar-binar. "Benar, kan, Lira Sayang?"

"Oh, itu pasti!" jawab Nona Lira lengkap dengan acungan jempol.

Dahi Tuan Benjamin berkerut. Sembari mengelus dagunya, dia memasuki ruang bermain, dan berhenti di dekat Nona Lira. "Tapi kenapa sembilan potong?" tanya Tuan Ben. "Bukankah seharusnya delapan potong?"

Nona Lira tertawa, lalu mengambil boneka kelinci yang berada tepat di sebelahnya. "Ayah punya rasa ingin tahu yang sama dengan Miriam."

Tuan Benjamin menghela nafas, lalu duduk tepat di sebelah putrinya. Dia menerima suguhan piza kecil buatan putri dan istrinya itu, kemudian mencobanya. "Hmm ... rasanya enak."

"Sudah kukatakan." Nyonya Megan terkikik. Dia melirik Nona Lira yang juga terlihat senang saat memakan potongan pizanya. Saat itu pula, matanya menangkap potongan piza kesembilan itu. "Untuk siapa piza terakhir ini, Lira? Apakah ada orang lain di ruangan ini?"

Nona Lira mengangguk. "Itu sudah jelas, Bu!" jawabnya. Tangannya teracung ke arah pintu ruang bermain yang terbuka, Nyonya Megan dan Tuan Benjamin pun ikut menoleh. "Tuan Pengantar Piza juga ingin mencicipi piza rumahan ini!"

Tapi, tak ada siapa-siapa di sana. Nyonya Megan dan Tuan Benjamin hanya melihat dua jejak lumpur seperti bekas sepatu di atas lantai. Penemuan itu pun disusul suara guruh yang menggelegar di luar rumah.

"Tuan Pengantar Piza telah dipecat karena piza mereka tak laku lagi," kata Nona Lira. []

Ketika Kita TidurWhere stories live. Discover now