[20] 35 Years

1.7K 145 20
                                    

Cerpen ini sudah pernah kuterbitkan dengan judul yang sama. Tapi karena aku tak suka liat angka di works kebanyakan (apalagi kalau hanya diisi sebuah cerpen), mending kusatuin aja di kumcer ini.

====================

Aku sudah lama tinggal di kota ini. Bahkan aku sudah menghafal semua seluk beluk kota ini. Alunan angin di setiap musim yang menerpaku, aliran air yang mengalir di setiap selokan yang kulihat, serta candaan dari orang-orang di sekelilingku. Apa yang mereka akan lakukan dan rasakan. Apa yang mereka akan katakan dan apa yang mereka tak ingin katakan. Aku menghafal semuanya.

Aku hanyalah seorang remaja yang hampir tak pernah berkomunikasi dengan orang lain. Bukan karena takut, bukan karena tak kenal. Aku hanya bosan. Bosan dengan mereka dan bosan dengan kehidupanku yang seperti itu itu saja. Aku seperti hidup dalam sebuah permainan kehidupan yang tak akan berakhir kecuali dengan kematian dan kesedihan.

Tapi hal itu berubah di awal musim kemarau. Gadis itu duduk di halte di depan sekolahku dengan raut wajah yang datar. Dia terus menatap lurus ke depan. Mengamati orang-orang yang naik turun angkutan kota berwarna biru, apa yang mereka katakan, apa yang mereka lakukan. Mengamati apa yang terjadi di depannya.

Aku tak pernah berani menyapanya. Aku hanya melihatnya dari jauh. Karena aku tidak menggunakan halte itu untuk pulang. Terkadang setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku hanya berdiri di depan gerbang sekolah dan mengamati apa yang dia lakukan hingga berjam-jam. Pernah aku mengamatinya hingga matahari tergelincir di barat. Tapi aku masih tak tahu apa yang dia lakukan.

Anggapanku, dia sedang menunggu seseorang. Seseorang yang sangat penting baginya hingga dia rela menunggu. Kalau aku menjadi dia, aku tak akan sanggup melakukan itu. Melakukan hal yang sama setiap harinya. Lebih baik, aku menggunakan waktuku untuk melakukan hal lain yang lebih berguna daripada harus menunggu seseorang yang belum tentu akan menepati janjinya.

Akhirnya suatu hari aku pun memberanikan diri untuk mengetahui kebenarannya. Kuhampiri dia perlahan-lahan. Tapi karena malu, aku membutuhkan setidaknya tiga hari untuk bisa menyapanya. Tak kusangka dia akan menjawab sapaanku dengan sebuah senyuman. Senyuman yang indah dari seorang gadis tanpa ekspresi yang kutahu.

"Aku selalu melihatmu duduk di halte ini. Bahkan hingga menjelang malam. Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau menunggu seseorang?" tanyaku sedikit ragu dia akan menjawab.

"Kurasa ... begitu," jawabnya singkat.

"Siapa?"

"Entahlah. Aku tidak tahu siapa yang kutunggu," jawabnya. Matanya berubah menjadi sendu.

Aku mengangkat sebelah alisku setelah mendengar jawabannya. Iba. Aku merasakan iba padanya. Walau sedikit malu, aku meminta izin untuk duduk di sampingnya dan dia mengizinkannya dengan anggukan pelan.

Aku terus memperhatikannya. Memperhatikan setiap lekuk tubuh dari gadis yang tak kutahu namanya itu. Rambutnya berwarna hitam panjang hingga sepinggang. Kulitnya berwarna putih sawo seperti kulit orang Asia pada umumnya. Intinya dia terlihat sangat ....

"Cantik," ujarku tanpa sadar.

"Ada apa?" tanyanya karena merasa mendengar perkataanku.

Wajahku memerah. Aku menunduk malu. Tuhan, kenapa aku berkata seperti itu pada orang yang baru pertama kali berbicara padaku? Aku melirik padanya. Gadis itu kembali menatap lurus ke depan. Entah mengapa aku merasa jengkel. Siapapun yang sedang dia tunggu, kuharap aku bisa memukulnya ketika dia tiba nanti. Aku merasa tak rela melihat seorang gadis seperti dia menunggu selama itu.

"Hei, apa kau masih akan menunggu di sini besok?" tanyaku sambil menunduk karena takut melihat wajahnya.

"Kurasa ... begitu," jawabnya singkat.

Ketika Kita TidurWhere stories live. Discover now