[25] Kisah Cinta di Usia Tiga Belas

10.5K 307 69
                                    

Namaku Maia dan hari ini aku ulang tahun yang ketiga belas tahun.

Aku punya seseorang yang kusuka di sekolah, tetapi dia bukan teman sekelasku. Aku juga tidak tahu dia berada di kelas berapa. Aku hanya ingat kalau dia berambut cokelat terang dan mempunyai mata hijau seperti laut tenang. Dia hampir tak pernah tersenyum. Namun, aku tahu dia hidup damai dari ekspresi wajahnya yang seolah tanpa masalah.

Setiap aku melihatnya, aku tidak pernah menemukan dia bersama seorang teman pun. Seolah kesendirian adalah sahabatnya, tetapi ia tidak tampak kesepian. Ketika angin bertiup di antara helaian rambutnya, maupun gerakan atau diamnya seakan menyatu dengan alam.

Aku sudah memperhatikan dia sejak hari pertama di SMP. Dan di umurku yang ketiga belas tahun ini, aku berjanji akan mengungkapkan perasaanku.

Sepulang sekolah, aku dan teman-temanku tidak langsung pulang ke rumah. Mereka mengadakan pesta kecil-kecilan untukku, dengan kue, balon, serta lilin berbentuk angka satu dan tiga. Aku sangat senang sebab aku tak mengetahui sedikit pun tentang pesta ini.

Kami bermain petak umpet setelah makan kue. Sayangnya, aku mendapat perlakuan istimewa: aku harus membawa balon ke mana pun aku berlari. Ini sedikit merepotkan, tetapi aku merasa tertantang. Kami mulai berlari saat salah satu temanku menghitung dari balik pohon.

Aku bersembunyi di balik semak, bersusah payah menyembunyikan balon gas merah. Permukaannya teramat licin, sulit untuk memegangnya dengan tangan. Kurasa balon ini sengaja dilumuri minyak atau semacamnya. Teman-temanku pasti tertawa-tawa kalau tahu aku merasa kesal karenanya.

Saat menyadari temanku mulai sibuk mencari. Kusembunyikan tubuhku di antara dedaunan. Akan tetapi, balonku tidak berpikir sama. Benda itu terlepas dari peganganku, melayang tepat ke arah salah satu jendela sekolah. Aku memekik tertahan. Bisa-bisa mereka memberiku hukuman kalau tahu aku menghilangkan balonnya. Aku pun mengendap-ngendap ke luar semak dan berlari secepat mungkin ke ruangan yang kuyakini tempat balonku berada.

Pintu UKS tidak tertutup rapat saat aku tiba di sana. Jadi, aku mengintip melalui celah pintu, merasa awas bila ada guru yang tahu aku membawa balon. Dadaku lega saat mengetahui tak ada seorang pun di sana. Maka aku melangkah masuk. Akan tetapi, aku merutuki penglihatanku karena tidak menyadari orang yang kusukai sedang duduk di salah satu tempat tidur.

Dia tak melihat ke arahku. Matanya memandang balon merah yang tersangkut di jendela yang terbuka lebar. Ekspresi wajahnya hambar dan damai. Kulitnya yang cerah seolah bercahaya di antara sinar matahari yang berhasil masuk melalui jendela.

Aku memberanikan diri untuk mendekat. Jantungku berdegup tak karuan. Seluruh tubuhku gemetar dan enggan mematuhi perintah.

Dengan penuh kehatian-hatian, aku melangkah ke arah jendela. Sayangnya, tanganku kurang panjang untuk bisa mencapai balonku. Padahal sudah kuulurkan sejauh mungkin. Akhirnya, aku memilih untuk melirik orang yang kusukai. Bahkan tanpa omong pun dia paham maksudku.

"Sini, kuambilkan," tawarnya halus. Jantungku berdegup tak karuan. Terutama saat dia berdiri di sebelahku dan memberiku balon itu.

"Te-terima kasih!" jawabku getir. Kelihatan sekali kalau aku tegang saat di sebelahnya. Aku yakin kalau wajahku merah.

Dia mendengus sebelum tersenyum simpul kepadaku. "Tak masalah," ujarnya sembari bersandar di sisi jendela.

Kami memandang ke luar jendela cukup lama dalam diam. Suasananya begitu damai. Sebenarnya aku tidak beranjak dari tempatku karena begitu tegang. Keringat dingin membasahi tangan dan keningku. Sepertinya, aku juga sampai menahan pipis.

Walau begitu, aku tidak ingin melewati momen ini. Kapan lagi aku bisa bersama orang yang kusukai? Keadaan seperti ini tidak selalu ada. Terutama karena aku orang yang cukup pemalu untuk berbicara dengan seorang cowok. Lagi pula, aku punya janji.

"A-anu," ujarku memecah kesunyian. Cowok itu menoleh dan membalas tatapanku. Mataku mulai berair saking takutnya. "Na-namamu, namamu siapa?"

Cowok itu mengerjap-ngerjap. Mata hijaunya menyiratkan keterkejutan. "Cameron. Cameron Ronson."

Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku karena akhirnya bisa mengetahui namanya. Senyumku merekah sangat lebar. "Aku Maia!" ucapku setengah berteriak.

Cameron tertawa. "Tak perlu bersemangat seperti itu."

Rasanya ingin sekali aku menyembunyikan diri di balik selimut. Memalukan sekali ditertawai oleh orang kausukai. Padahal seharusnya aku menggunakan waktu ini untuk menunaikan janjiku.

Tepat ketika aku menghela napas panjang, Cameron memecah keheningan di antara kami.

"Namamu Maia saja?" Pertanyaan itu meluncur dengan sangat lancar. Seolah-olah memang sudah berada di ujung lidahnya sejak hari-hari kemarin.

Aku menggaruk tengkukku dengan tangan yang tidak memegang balon. "Umm ... Yah ...." Serius. Aku ingin menjawabnya. Namun, aku benar-benar lupa nama belakangku. Kenapa bisa aku setegang ini, sih?

"Tak perlu dijawab." Cameron mengibaskan tangannya.

Tali balon kupegangi erat-erat dengan kedua tangan tepat ketika Cameron melirik jam dinding UKS. "Kurasa sudah--"

"Ca-cameron!" panggilku menyela perkataannya.

"Ada apa, Maia?"

"Sesungguhnya, aku sudah lama memperhatikanmu." Aku meneguk liurku sendiri. "Aku tahu ini bodoh, tetapi aku rasa aku menyukaimu."

Cowok itu tertegun. Bulu kudukku merinding. Selain jantung yang berdegup kencang, apa hawa dingin yang muncul tiba-tiba juga hal yang wajar saat mengungkapkan perasaan?

"Kautahu? Tahun lalu juga ada yang menyatakan perasannya padaku pada jam ini dan di ruangan ini."

Aku melongo mendengarnya.

"Dan jawaban yang kuberikan padanya sama dengan yang hendak kukatakan padamu."

Kembali kuteguk liurku sendiri.

"Maaf, tetapi aku betul-betul tak bisa. Kita berteman saja boleh, 'kan?"

***

Namaku Maia dan hari ini aku ulang tahun yang ketiga belas tahun.

Aku punya seseorang yang kusuka di sekolah, tetapi dia bukan teman sekelasku. Dia adalah dokter UKS yang juga mengajar pelajaran IPA. Dia berambut cokelat terang dan mempunyai mata hijau seperti laut tenang. Dia hampir tak pernah tersenyum. Namun, aku tahu dia hidup damai dari ekspresi wajahnya yang seolah tanpa masalah. Namanya Cameron Ronson.

Dan hari ini akan menjadi pengakuanku yang ke-21 kali sejak aku mengenalnya. []

Ketika Kita TidurDonde viven las historias. Descúbrelo ahora