[18] Kisah Elijah dan Achmed

1.3K 125 41
                                    

Hari Senin dan Elijah bangun terlambat. Pria berusia akhir dua puluh itu bahkan tidak sempat memanggang roti sebagai sarapannya. Singgah di sebuah toko untuk membeli kopi kemasan di pagi hari memang bukan kali pertama bagi dia. Tapi siapa sangka? Saat dia hendak memanggil taksi, seorang gadis tengah mencakar-cakar kaca jendela dari sebuah toko hewan.

Alis Elijah terangkat sebelah melihat gadis itu. Awalnya dia hendak menghampiri gadis yang tampak seperti Rapunzel berambut putih itu. Tapi saat dia tidak sengaja terjatuh di trotoar karena salah langkah, Elijah sadar harus segera ke kantor jika dia tidak ingin dipecat.

***

"Kau dipecat," kata Mr. Cameron tajam. Matanya menatap lurus pada Elijah.

Pria berambut hitam itu berdiri terpaku. Mulutnya menganga, tangannya menjatuhkan suitcase yang sejak tadi bersarang di ketiaknya. "Tapi ... apa salah saya? Saya benar-benar tidak disengaja! Saya mohon, Mr. Cameron. Saya berjanji tidak akan terlambat lagi," ujar Elijah memelas.

Mr. Cameron memutar matanya, menampakkan tanda bahwa dia tidak peduli dengan alasan Elijah. Apapun yang dikatakan pria kulit hitam itu, dia tidak akan pernah setuju. Peraturan harus tetap ditegakkan.

Dengan niat kembali bekerja, Mr. Cameron membalikkan badannya. Di belakang, Elijah menyusul setelah memungut kembali suitcase miliknya. Kedua tangannya menyatu, matanya membesar seperti kucing dan berkaca-kaca. Sedangkan bibirnya membentuk sudut ke bawah. "Mr. Cameron, saya mohon! Saya tidak tahu harus bekerja dimana lagi selain di sini," kata Elijah dengan nada memelas lainnya. Dia benar-benar putus asa sekarang.

Mr. Cameron pun menghentikan langkahnya kemudian menatap Elijah penuh senyum. Ekspresi Mr. Cameron itu membuat Elijah menjadi cerah. "Aku tidak akan mengubah keputusanku. Selamat tinggal."

***

Elijah duduk berjongkok di depan pagar hidup sebuah taman. Kedua tangannya mengarah ke depan. Mulutnya menganga kecil, seakan mengizinkan lalat untuk masuk ke dalam sana. Dasi Elijah sudah miring ke kiri, dengan sebagian yang masuk ke saku jasnya yang tidak terkancing.

Orang-orang yang lewat di hadapan Elijah hanya menatapnya kasihan. Beberapa memberi Elijah uang dengan menyelipkannya di tangan pria itu. Mereka mengira, Elijah adalah pengangguran yang gila karena tidak juga mendapat pekerjaan--walau itu setengah benar.

Elijah berjalan kaki menuju rumahnya yang sebenarnya terletak cukup jauh. Dia melakukan itu dengan ekspresi yang sama saat dia berada di taman. Mulutnya terus menganga selama perjalanan. Orang-orang mengira dia adalah seorang yang mesum. Bahkan seorang nenek memukul pria itu dengan tasnya.

"Dasar tidak sopan," umpat nenek itu sambil mendahului Elijah.

Elijah hanya terbengong melihat nenek itu. Beberapa orang berbisik-bisik atas ketidaknormalan dari seorang berkulit hitam seperti Elijah. Mereka berpikir, Elijah mesum adalah penggemar nenek-nenek.

Kemalangan demi kemalangan terus dialami oleh Elijah selama perjalanan pulang. Walau tetap saja pria itu tidak peduli. Karena dalam pikirannya sekarang, dia harus pulang untuk mengatur segala keuangannya hingga dia mendapat pekerjaan baru.

***

"Sudahlah, Elijah. Aku bisa mempekerjakanmu di sini kalau kau mau," kata Achmed, sahabat Elijah, seorang pemilik sebuah kafe sederhana di kota metro ini.

Elijah terdiam menatap gelas bir di hadapannya. Sementara Achmed hanya mondar-mandir untuk mengepel lantai. Elijah melirik sahabatnya, kemudian menghela nafas dan menyandarkan punggungnya pada kursi yang didudukinya. "Aku hanya tidak ingin yah, kau tahulah ... merepotkanmu?" ujar Elijah ragu. Dia mengelus tengkuknya yang tidak gatal.

Ketika Kita TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang