Rumah Gubuk Retak Pondasinya

727 71 359
                                    

Seperempat abad aku jadi kuli, bunda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seperempat abad aku jadi kuli, bunda. Rumahku jelek, atapnya jerami, temboknya batu. Berkali retak, berkali kutambal. Bunda, anakmu kuli yang handal


Tidak ada tempat kembali sejak aku dilahirkan hingga kini di beberapa waktu menuju kepulangan. Aku malang-melintang di bumi manusia yang berisikan duka-duka. Sana-sini kehausan mencari seteguk air putih dan seonggok nasi. Kau pasti akan bertanya tuan, kemana orang tuaku menghilang? Aku telah mati, mereka yang membunuhku kemarin sore. Sejak anak ini masih ada di pintu lima tahun. Baru saja beranjak meninggalkan balitanya, ia telah di buang ke tempat yang mereka sebut rumah singgah.

Ayah, bunda, sudah beribu doa aku rapalkan dalam ritus keagamaan, dalam ritual kedamaian dan dalam satu meja bersama Tuhan. Kabar kalian telah tiada. Bertahun-tahun sudah basa-basi berisi suara tawa meninggalkan tubuh yang telah kehilangan nadanya ini. tidak lagi dia bisa tertawa haha-hihi. Sebab ketakutannya sudah tidak lagi mampu dipupuk oleh tabah. Sudah terlunta-lunta dia karena benang kepala yang kusut kemana-mana. Mati!!! Akan kuminum derita ini untuk melepas dahaga saat makan malamku. Ayah, Bunda, kalian kemana? Sudah kalian buang, kalian campakkan, kalian pungut kembali, kalian pelihara sementara waktu sebab sebuah keuntungan, lalu kalian buang kembali. Aku bukan benda hina-dina yang biasa mereka bungkus dalam karung lalu dicampakkan ke dalam sungai atau pusat pembuangan.

Lepas sudah ribuan hari penuh tangis yang menghiasi malam-malamku, aku mulai menjadi mandiri sendiri. Aku bangun rumahku seorang diri. Tidak semewah rumahmu dan ayah, bunda! Rumah ini hanya berisikan ruang kosong dengan beberapa furnitur yang kupahat dari darahku yang membeku. Cat di dinding juga hasil luka yang tidak kunjung sembuh. Atapnya terbuat dari jerami, temboknya batu liar yang berusaha dihindari bermacam manusia. Rumahku begitu buruk. Tidak jarang ia retak, sehingga aku harus menyayat sedikit daging pada lenganku untuk menambalnya. Tidak jarang juga ia bocor, merambah tangisan yang luluhlantak akibat perasaan yang tak haruan. Lalu banjir mengalir deras di pelipis rumahku.

Bunda, apa kau tahu? Begitu aku ingin kau dan ayah mengisi ruang berantakan ini seperti anak-anak lainnya. Yang dipeluk dalam kesunyian, yang ditenangkan dalam tangisan, yang dihangatkan saat kedinginan atau sekadar cerita pendek tengah malam sebelum menutup mata. Sialnya, kau justru memilih beradu mulut dengan ayah. Beradu tangis saat puncak amarah telah meluap di keduanya. Lalu, kau atau ayah yang saling membanting tiap kepala ke tembok rumah. Sungguh semewah apapun rumah kalian, aku tidak ingin tinggal di tempat itu. Itu bukan rumah, itu sarang penderitaan.

Kubangun rumahku sendiri, kuajak beberapa orang untuk masuk dalam kehidupanku. Kubiarkan mereka melihat gubuk porak-poranda ini. Hatinya sudah lama retak sebab satu wanita telah meninggalkanku dengan jalang. Kepalanya tidak pernah sunyi. Jantungnya berdetak melebihi manusia normal. Bahkan, pelipis mataku tidak pernah kering.

"Tempat tinggal macam apa ini? kau yakin tinggal di tubuh berantakan ini?" tanya seorang manusia yang pernah kuajak berkeliling dalam rumah diriku.

Aku tidak terkejut dengan ucapan seperti itu. Mereka yang merasa sanggup mendekatiku-pun akan terkejut dengan suasana tubuh yang aku sebut rumah ini. sangat berantakan, kaca pecah dimana-mana. Awas, nanti kau ikut terinjak pula. Paku payung telah menghadapkan ujung tajamnya ke arah langit, jangan harap kau berjalan dengan tenang di rumahku yang gelap ini. Sampai ujungnya, serapah keluar dari mulut-mulut mereka yang mencoba bertamu dengan diriku.

"Dasar manusia problematik. Mati saja kalau begitu!" ujarnya.

Bunda, tahun lalu, rumah itu telah retak pondasinya. Bolak-balik sudah aku membawa tubuh ini ke ruang sakit jiwa. Memuntahkan kisah yang mereka sebut biasa saja. Menjelaskan trauma pada orang yang mereka sangka mengerti segalanya. Diagnosa per diagnosa, dengan obat yang berbeda-beda telah aku teguk di tiap malamku. Aku benar benar membenci kehidupan ini.

Kini, pondasinya rusak kembali, aku berusaha menambal diriku dengan kekuatan yang kukumpulkan dari ragam senyum manusia yang merasa terbantu dengan keberadaanku. Mereka aneh. Bahkan, aku sendiri tidak merasa terbantu dengan diri ini. Aku menghujamnya dengan ribuan sumpah dan derita. Aku bahkan menolak keberadaan tubuh ini. Sungguh sial jiwaku malah menetap di dalamnya dan hidup hingga saat ini. Hampir seperempat abad bertahan.

Bunda, tidak hanya kau dan ayah. Orang-orang juga ikut meninggalkanku. Mereka yang pernah berkunjung dan sempat bertamu ke rumah ini juga ikut pergi. Mereka bilang aku biang masalah, biang derita. Mereka bahkan tidak yakin akan berbahagia apalagi mengadakan pesta dengan raga yang ringkih dan rapuh ini. Bunda, aku ingin bercerita denganmu, kau kemana? Kemana kau pergi setelah tamparan keras dari ayah?

Mereka bilang, jika rumahku tidak ramah, maka bumi masih memiliki sejuta ramah. Tapi tidak sama sekali aku menemukannya. Aku sudah berjalan ke berbagai tempat ibadah. Lantai masjid yang dingin, ruang gereja yang tenang, bau dupa di dalam kuil, klenteng yang agung, candi bercorak. Tidak satupun aku menemukan ketenangan di sana. Seorang bijak pernah bilang padaku

"Nak, ketenangan akan kau dapatkan saat kau mulai mengenali dan menemukan Tuhan"

Tapi, Tuhan pun tidak lagi bersemayam dalam rumahnya. Dia telah beranjak jauh-jauh hari sebelumnya. Malaikat maut yang tiap malam datang mengunjungiku berkata bahwa Tuhan sedang menghibur manusia-manusia peminta-minta di jalanan sesak yang tidak pernah sudi kau telusuri lukanya. Tuhan sedang menghibur manusia-manusia yang berwajah muram dan memancing tangis tengah malam. Tuhan tidak lagi ada pada mereka yang sedang sibuk memegang tasbih dan membakar dupa. Tidak pada lonceng gereja dan rosario yang mereka punya, Tuhan telah pergi jauh dari itu semua. Lalu, kapan giliranku bunda? Kapan Tuhan datang memberiku tenang.

Rumah ini sudah mulai rubuh, sudah retak hampir semua pondasi. Apa aku akan mati? Atau hilang bunuh diri? Tuhan, tuan ini ingin bertemu. Kemarilah sebelum rumah ini rubuh.



Bumi tidak lagi ramah, bahkan untuk kita yang sudah kehilangan rumah

Benang KepalaWhere stories live. Discover now