Kabar Gembira

536 33 41
                                    

Bahagia itu seperti bulu di langit. Ia ada, namun sebentar saja. Ditiup angin hilang kemana? Akhirnya, ia tiada.

Hari itu adalah penghujung bulan Juli 2007, tepat pada masa pembagian rapor siswa-siswi sekolah ini. Aku datang bersama ibu panti, yang menjadi waliku. Sebab, entah kemana perginya orang tua yang selalu kudamba untuk datang menjemputku. Tidak kunjung tiba, entah masih hidup atau sudah pergi tiada.

Kami datang sedikit terlambat, sebab ibu panti harus datang lebih dulu mendatangi kegiatan kelulusan kak Rania dan penerimaan rapor anak-anak panti lain. Mungkin kau akan bertanya, bagaimana bisa ibu panti menyekolahkan hampir sebagian besar dari kami kala itu. Beruntungnya, panti ini mendapat bantuan pendidikan oleh beberapa perusahaan besar dan LSM multinasional sebab beberapa kali berhasil mendidik anak-anak cerdas. Tidak terkecuali kak Rania yang sempat menjuarai kompetisi sains internasional di Thailand pada tahun 2006. Kabar baiknya lagi, kak Rania justru mendapatkan tawaran beasiswa berkuliah penuh serta tunjangan pendidikan dan kehidupan hingga lulus di salah satu kampus terbaik negeri ini. Kulihat dia kerap sekali bimbang, menerima tawaran itu dengan meninggalkan kami atau berjuang bersama-sama dengan kami di sini.

Siang itu, kala sekolah mulai sepi. Aku dan ibu panti mendatangi ruang pembagian rapor. Kulihat di meja itu hanya tersisa tiga unit rapor yang berbentuk buku. Ibu panti bersegera menghampiri Bu Yani.


"Ibu, walinya Kala, yah" tanya Bu Yani.

"Iya, benar bu. Bagaimana dengan nilai Kala?"

"Ibu bisa melihat sendiri di rapor ini"


Ibu panti itu terkejut melihat seisi nilai yang tercatat pada lembaran dokumen itu.


"Nilai Kala nyaris sempurna, bu. Tidak ada cacat di tiap ujiannya. Dia juga menempatkan posisinya sebagai siswa terbaik di sekolah ini. Ini yang kedua kalinya sejak semester kemarin" ujar guru itu pada ibu panti.


Ibu panti menatapku dengan wajah penuh bahagia. Sementara aku, tetap tenang saja. Aku tidak begitu mengerti atas nilai-nilai itu. Dan aku juga tidak terlalu peduli. Toh nilai seperti itu belum tentu akan mengembalikan kedua orangtuaku. Begitulah pikiranku saat itu.

Setelah melakukan diskusi panjang dengan Bu Yani, akhirnya ibu panti ini berberes dan mengajakku kembali pulang ke rumah kami, panti asuhan tempat aku dibuang. Namun, belum sempat kaki ini melangkah keluar pintu. Bu Yani kembali memanggil ibu panti itu.


"Maaf ibu! sebelum pulang, boleh saya bicara sebentar?" ujarnya pada ibu panti.

"Iya, ada apa lagi bu?" sahut ibu panti.

"Ayo ikut saya ke ruangan kepala sekolah sebentar"

"Kala bagaimana? Apa ikut sekalian?"

"Kala biarkan saja menunggu di kelas ini sebentar bu" jawabnya.


Mereka pergi meninggalkan aku di ruangan ini sendirian. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas Bu Yani terlihat sangat tertarik. Tidak seperti biasanya, wajah muramnya hari ini justru lebih terlihat lembut tanpa kusut sama sekali. Aku diam saja di ruangan ini, dalam kesunyian. Menunggu mereka kembali datang. Kupandangi setiap sudut ruangan ini, entah mengapa rasanya aku melihat angka-angka pada tiap sudut ruangan, melihat rumus phitagoras pada tiap bentuk segitiga dan melihat anak berlarian pada gambar padang rumput yang terpajang di kalender kelas ini. Aku menyadari bahwa seluruhnya adalah imajinasi kepalaku, namun kerap aku larut di dalamnya. Aneh sekali, bukan?

Benang KepalaWhere stories live. Discover now