Ruang Bicara

530 32 41
                                    

Barangkali kita lupa. Bicara pun tidak ada gunanya, bila manusia masih hidup dalam sudut pandanganya

Rabu, 15 Agustus 2007 adalah hari terakhir aku melihat Kak Rania di panti ini. Sebab, sore nanti ia akan segera terbang menuju pulau Jawa. Setelah beribu pertimbangan dan puluhan malam dia berdoa, akhirnya ia mengambil keputusan terbaik walau harus dengan meninggalkan kami di kota ini. Tidak kusangka, anak yang tidak diinginkan, lahir diluar pernikahan dan dibuang terlunta-lunta akan mampu mewujudkan mimpi besarnya. Siang itu ia terlihat tergesa-gesa, mempersiapkan barang-barang kepergiannya dengan koper bekas ibu panti yang dulu ia beli sewaktu muda.

Pukul 15.26 sore itu, kami sudah berada di halaman Bandara Sultan Syarif Qasim II. Bangunan besar ini berdiri megah dengan ornamen pucuk rebung khas budaya Melayu Riau. Kami turun di pelataran bandara ini setelah diantarkan oleh tetangga panti bernama Pak Toni dengan mobil pick up nya. Kak Rania diantarkan oleh aku, ibu panti, Robbi dan juga Pandu. Sementara ke-18 anak panti lain sudah lebih dulu mengucap selamat jalan sebelum kami menginjak pelataran bandar udara ini.


"Nak, ini ada oleh-oleh dari ibu sebelum kamu berangkat" ujar ibu panti memberikan sebuah kotak pada Kak Rania.


Kak Rania sangat tertarik pada hadiah ibu panti, sampai-sampai ia membuka kado tersebut dengan tergesa-gesa di halaman bandara itu. Itu adalah telepon layar sentuh bermerk Nokia. Lagi-lagi jangan kau bayangkan telepon pintar androidmu, yah. Ini sangat berbeda.

Gadis itu seketika terlihat sangat bahagia dengan euforia yang begitu meledak. Ia memeluk ibu panti dengan kuatnya sembari mengucapkan puluhan terimakasih.


"Ibu, terimakasih banyak. Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi"

"Nanti kalau sudah sampai di Jogja, kamu jaga diri yah. Kabarkan ibu, sudah ibu masukkan nomor telepon panti kita dan nomor telepon ibu di sana"

"Iya ibu, pasti. Terimakasih banyak"

"Kalau uang beasiswamu kurang, jangan ragu untuk berkabar ke sini. Walaupun tidak banyak, ibu janji pasti akan membantu kamu, kamu sudah ibu anggap seperti anak kandung ibu sendiri" ujar ibu panti dalam pelukan itu.


Kami menyalami Kak Rania satu per satu setelah pelukannya bersama ibu panti terlepas. Kami ikut bersedih sebab sosok kakak yang benar-benar seperti malaikat akan berangkat jauh dari tempat kami berada. Tiba giliranku salim mencium tangannya.


"Kala, kakak sudah dengar semua. Jangan lari dari panti lagi, yah. Itu sekarang rumah kita. Kamu harus lebih rajin lagi berjuang. Kakak tau kamu anak yang spesial. Jika ada kesempatan, kakak harap kita bisa bertemu selama kakak berkuliah" ujarnya padaku.


Aku mengangguk kecil lalu memeluknya dengan kuatnya. Pelukan itu terlepas kala terdengar panggilan keberangkatan nomor pesawat yang sama dengan nomor pesawat yang tertera pada tiket Kak Rania. Ucapan selamat jalan dan hati-hati di jalan menjadi pembatas pertemuan kami. Setidaknya hingga aku punya kesempatan berkunjung ke kota tempat ia belajar atau menunggunya pulang selama empat tahun. Itu pun jika ia kembali pulang. Sebab santer terdengar cerita bahwa para perantau Pulau Jawa lebih memilih untuk bekerja di ibukota dibanding di kota asalnya. Semoga Kak Rania tidak begitu, ujarku di dalam kepala.

*****

Hari itu, tepat minggu pertama bulan Semptember 2007, kudengar ibu panti sempat membuat janji bicara bersama ayah di salah satu warung makan kota ini saat aku sedang berada di sekolah, menjalani minggu pertama lompat tingkat di kelas empat.

Benang KepalaWhere stories live. Discover now