Dibalik Ayah I

524 33 44
                                    

Baik itu ilusi, ia ada karena sifat jahat yang dibandingkan. Jahat pun ilusi, ia ada karena sifat baik yang disandingkan. Barang kali kita lupa, baik dan buruk itu berdampingan, bukan berlawanan.

"Sudah tiga minggu kau di sini, kenapa tidak ada perkembangan kompetisi itu? Kita butuh uang. Apa jangan-jangan kau kurang belajar?" ujar ayah pada Sabtu, 3 November 2007 di halaman rumah sepulang sekolah.

"Maaf ayah, aku akan mencoba bertanya pada pihak sekolah lagi"

"Kita butuh uang, nak. Setidaknya jika kau menang, kau bisa sedikit membantu ayah mencarikan uang untuk kelahiran adik keduamu"

"Bagaimana jika aku bekerja juga?" Tanyaku padanya.

"Apa yang bisa kau lakukan?"

"Aku bisa menjual koran sepulang sekolah, yah"

"Jangan bercanda, kau tidak ayah bawa ke sini untuk itu. Lupakan soal bekerja, ayah tidak meminta kau membanting tulang seperti kami. Menangkan kompetisinya, kau akan mendapat dua hal sekaliguas. Catatan prestasi dan juga uang untuk membantu keluarga. Aku punya harapan yang kuat padamu" ujarnya.

"Jika tahun ini aku bisa menghasilkan uang, bolehkah aku minta sesuatu?" tanyaku.

"Berapa nominal yang kau tawarkan?" tanya ayah.

"10 juta, akan aku dapatkan 10 juta menjelang 30 Desember" tawarku.

"Tapi aku tidak ingin kau mencoba bekerja"

"Tidak ayah, akan aku dapatkan dengan menabung dan lewat kompetisi, akan aku cari sendiri"

"Apa yang kau minta?"

"Jangan buang aku lagi!" ujarku padanya.


Ayah diam mendengar permintaanku, seperti orang yang memikirkan banyak hal. Entah apa yang ada dalam isi kepalanya saat itu. Ia seperti menyimpan sejuta pertimbangan. Sepertinya, aku memang tidak diharapkan di rumah ini. Bahkan memberi keputusan untuk tetap ada bersama anak kandungnya saja, ia berpikir sekian lama.


"Jika ayah tidak bisa, tidak apa. Aku juga mulai terbiasa di panti itu" jawabku membagi senyum palsu.

"Aku sepakat! Jika kau bisa, kau tidak akan kembali ke panti itu lagi"


Aku mengangguk kecil, sembari memberi senyum lebar pada ayah, lalu aku masuk melalui pintu rumah sembari mengucap "Aku pulang".

*******

Kabar kompetisi baru diberikan kepala sekolah kepadaku pada 5 November 2007. Itu adalah olimpiade matematika tingkat pulau Sumatera yang digagas oleh kerjasama lima negara yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura dan Brunei Darusslam bekerja sama dengan ASEAN. Kompetisi itu dilaksanakan secara bertahap, dari tingkat pulau, nasional dan puncaknya se Asia Tenggara yang berdasarkan informasi beredar, kompetisi tingkat akhir akan dilaksanakan di Bangkok, Thailand. Kompetisi tingkat pulau baru akan diadakan tanggal 19 November 2007, dua minggu sejak kepala sekolah memberitahuku.

Sementara menunggu waktu itu tiba, aku mengumpulkan uang dengan cara yang kubisa, yang jelas tidak dengan bekerja kasar seperti yang tidak diinginkan oleh ayah. Aku mencoba menabung uang yang diberikan ibu diam-diam untuk kebutuhanku tanpa sepengetahuan ayah. Nominalnya tidak banyak, 2000 Rupiah per hari. Namun di masa itu, jumlah yang sedikit itu sangat mungkin untuk mengenyangkan perut dari pagi hingga sore. Bodohnya, aku justru tidak menggunakannya sama sekali. Kusimpan lembaran demi lembaran itu dengan penuh keyakinan. Kubiarkan diriku kelaparan dari pagi hingga siang. Hingga, aku mulai terbiasa hidup seperti itu.

Benang KepalaWhere stories live. Discover now