Rumah Singgah Katanya

635 71 443
                                    

Perasaan, rumah itu penuh cinta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perasaan, rumah itu penuh cinta. Mengapa justru disini isinya luka?

Sudah setahun ayah dikurung dalam penjara besi. Kini, sudah bebas dia untuk kembali bertualang menuai mimpi-mimpi. Hampir juga aku berusia dua tahun saat ayah berhasil bebas dari kurungan itu. Masih sangat belia. Berjalanpun baru saja aku bisa. Perkembangan bayi ini tidak sama sekali bisa dilihat oleh ayah. Tidak apa, aku mengerti sulitnya. Sebab, sebagian sulit itu juga bersumber dari aku. Andai saja aku tidak lahir waktu itu, sudah pasti mereka hanya cukup berpikir untuk makan siang dan malam serta membayar sewa bangunan tempat mereka bernaung.

Ayah mulai menata kembali hidupnya. Mulai meringkuk lagi sebagai salah seorang karyawan fotocopy. Dengan otak yang pernah menyandang gelar sarjana, dimanfaatkannya kesempatan itu untuk mengetik beberapa artikel kritik tajam pada pemerintah khususnya DPR saat baru saja presiden itu berganti. Dipinjamnya mesin tik pemilik fotocopy tempat ia bekerja. Terkadang dibawa pulang oleh ayah sehingga malam-malam rumah kami cukup berisik diisi oleh suara mesin tik. Kerap juga bayi ini terbangun malam-malam karena suara mesin itu. Bila mahakarya itu selesai, ayah akan mengirimkan tulisan-tulisan itu ke media massa. Beberapa tulisan diterima, lahir banyak kritik dialektika kala tulisan itu terbaca oleh mereka-mereka yang lebih ahli. Ayah tidak peduli, bukan urusan kritik saja yang menjadi pikiran utamanya melainkan honor dari media massa untuk menghidupi aku dan bunda. Peduli apa ayah pada manusa-manusia sok tahu itu.

Tulisan itu terbaca oleh salah seorang guru besar universitas swasta di kota kelahiranku. Ia memanggil ayah dan merekomendasikannya untuk menjadi dosen di kampus tersebut. Sungguh, seyum lebar mekar kembali di wajah ayah yang jarang kulihat tertawa. Padahal, ia adalah mantan narapidana. Putus sudah harapan kerjanya saat masuk penjara. Jangankan mengajar di universitas, bekerja di toko kecil saja tidak yakin ayah diterima sebab riwayat kejahatan tersebut. Tapi ternyata, lain sudah apa yang disebut oleh takdir.

Dua tahun ayah mengajar di kampus itu sejak 2001 hingga 2003. Baju kerjanya membuat kebanggan pada nenek karena pernah bermimpi salah satu anaknya dapat hidup layak dan bekerja dengan baju rapi seperti itu. Pelan-pelan, ayah juga mulai menabung dari hasil kerjanya. Entah untuk membeli rumah, atau untuk masa depan kita. Yang jelas, begitu tenang dua tahun tersebut.

Hingga pertengahan 2003, rencana penerbitan undang-undang baru tentang guru dan dosen santer terdengar di berbagai telinga tenaga pendidik terutama ayah. Sebab, pada naskahnya disayaratkan seorang dosen harus bergelar master atau S2. Di saat yang sama juga, ayah telah lebih dulu memikirkan perihal itu. Ayah melanjutkan pendidikan S2 nya ke universitas terbaik negeri ini di Yogyakarta dengan tabungan yang sedari dua tahun lalu ia kumpulkan serta dengan sedikit bantuan beasiswa Supersemar dari pemerintah.

"Semua akan baik-baik saja. Aku hanya pergi paling lama dua tahun" Ujar ayah pada bunda.

Ayah kembali meninggalkan kami di rumah gubuk reyot ini. Ia pergi jauh sekali. Dari Pulau Sumatera tempat kami berada hingga ke Yogyakarta tempat ia berkuliah. Sepanjang peninggalan ayah, bunda juga mulai kembali bekerja. Aku lagi-lagi dititipkan pada tetangga. Tapi tidak apa, memang saat itu hidup sedang sulit-sulitnya, bukan? Bunda akan pergi pagi sebelum jam 8 lalu kembali pulang malam sebelum jam 8 malam juga. Toko ke toko, rumah ke rumah sudah ia kunjungi karena ia bekerja sebagai salah seorang sales produk elektronik..

***

Itu adalah kali pertama aku melihat ayah menangis saat pulang dari Yogyakarta. Belum sempat kakinya beristirahat di rumah gubuk rusak sewaan kami, ia meringis tersedu-sedu sambil dipeluk oleh bunda yang juga ikut menangis. Aku diam saja di depan pintu rumah waktu itu sebab tidak mengerti apa yang terjadi pada mereka. Aku ikut bersedih, hanya karena melihat mereka berdua menangis.

Ayah ditipu oleh salah seorang kakak bunda atau pamanku yang tinggal di Provinsi Bengkulu kala itu. Itu adalah pertengahan 2004 saat telepon jadul merek Nokia mulai ramai di pasaran Indonesia. Heiii, jangan kau lihat androidmu yang saat ini kau genggam. Telepon itu tidak sebagus milikmu saat ini.

Pamanku meminta ayah membelikan telepon tersebut sebanyak 100 paket untuk kebutuhan di Bengkulu dan sisanya dijual kembali. Paman menjanjikan untung hingga hampir dua kali lipat sebab belum banyak telepon tersebar di tempat ia tinggal. Namun, ayah harus membelikannya dengan semua uang ayah terlebih dahulu sebab alasannya waktu itu karena uang paman sedang dikelola oleh sahabatnya untuk usaha. Ia bahkan berjanji akan mengirim kembali uang dan keuntungan untuk ayah saat telepon yang dipesan tiba.

Ayah mencari uang tambahan sana sini. Mulai dari meminjam teman kampus, uang hasil kerja part timenya hingga meminta bunda mengirimkan sedikit uang demi bisa membeli telepon titipan paman. Sabtu, 15 Mei 2004 adalah kali kesekian bunda menelpon ayah di Wartel (Warung Telkom). Setiap 2 kali sebulan tepatnya pada hari sabtu, bunda akan singgah sebentar ke Wartel untuk menghubungi rumah kos suaminya. Di hari itulah ayah meminta bunda untuk mengirimkan hampir semua tabungan hasil kerja bunda pada ayah.

Sialnya, lepas sudah ayah kirimkan semua telepon itu, paman hilang kabar. Berkali-kali ayah singgah di wartel untuk menghubungi kantor dan telepon rumah paman tapi tetap saja tidak ada kabar. Hanya tersisa puluhan ribu uang ayah di waktu itu. Hutangnya juga lumayan banyak pada kawan-kawannya. Sungguh kacau sekali apa yang ia hadapi kala itu.

Ayah tetap bekerja paruh waktu dan mencari sampingan lain di Yogyakarta. Hingga pada suatu masa, ayah tidak mampu membayar hutang bahkan uang sewa rumah kosnya. Ayah bahkan tidak sanggup untuk membayar uang kuliahnya. Kala itu, ayah juga sedang mengambil penelitian tesis tentang Kepulauan Riau. Namun, karena tidak adanya dana, ayah terpaksa untuk menghentikan keinginannya untuk berangkat meneliti tempat tersebut.

Puncaknya, di akhir 2004, ayah benar-benar mengalami kesulitan keuangan. Tidak sama sekali keluarganya ingin membantunya. Salah seorang teman ayah yang juga merupakan polisi memberikan ayah sedikit uang untuk pulang kembali ke rumah, Kota Pekanbaru. Ayah tidak punya pikiran lain, sebab di kota ini kami juga memiliki masalah keuangan, rumah sewa yang belum terbayar, hutang bulanan bunda dan banyak masalah lainnya. Akhirnya, ayah kembali ke kepulangannya di kota ini.

Ayah melepas seluruh pakaian sarjana yang ia punya. Membuang segala rasa malu. Lalu ia memilih menjadi pedagang ikan segar di pasar tradisional setelah kejadian itu. Ayah juga sudah terlihat sangat berbeda semenjak kepulangannya dari Pulau Jawa. Kini, ia lebih keras dan suka marah-marah. Tangannya juga lebih ringan saat memukul bunda.

Kala itu beberapa bulan sejak ayah bekerja di pasar ikan, aku begitu sering melihat malam-malam suram. Aku melihat ayah dan bunda saling memaki dari balik kelambu. Tidak begitu jelas kudengar perdebatan mereka. Yang jelas, tidak jauh dari urusan ekonomi dan saling menyalahkan terkait itu. Terutama pada kakak bunda yang menjadi penyebab kehancuran ayah. Hingga satu teriakan keras, tangan kasar ayah menyentuh pipi bunda. Lebam sudah wajahnya malam itu. Lalu ucapan bercerai mulai berkumandang di mulut keduanya, bersama bunda yang telah banjir berlumur air mata.

Dua hari setelahnya, entah apa yang mereka bicarakan, tiba-tiba ayah bersikap baik kepadaku. Belum sampai usiaku enam tahun kala itu. Ayah membawaku menuju salah satu rumah yang cukup bagus. Begitu luas dengan puluhan kamar-kamar dan ramai anak-anak seusiaku. Dengan jelas tulisan pada bagian depan bangunan tersebut berupa "Panti Asuhan". Aku yang masih belum mengerti apa itu tetap saja datang dengan tersenyum bersama ayah, sesampai disana ayah juga menyuruhku untuk bermain dengan anak-anak di sana. Sementara ayah berbicara dengan seorang ibu-ibu paruh baya.

Belum bulat satu jam aku bermain dengan Robbi, salah seorang anak panti sini, ayah hilang entah kemana. Aku mencari-carinya di tiap ruangan hingga ke lapangan. Hingga ibu-ibu paruh baya tadi mendatangiku.

"Kala, sekarang ini rumah kamu yah" ucapnya.

"Tapi ayah kemana, bu? Aku masih punya rumah dengan mereka" tanyaku sembari menangis

"Kamu dititip di sini sebentar, nanti kalau ayah kamu sudah tidak sibuk, kamu akan dijemput. Senang-senang sama teman teman di sini yah"

Aku menangis setelah ditinggal oleh ayah di tempat ini. yang jelas sebelum ayah pergi, ayah bilang bahwa ia akan membawaku ke rumah singgah yang begitu seru. Apakah ini rumah itu? Apakah rumah ini untukku sendiri tanpa ayah dan bunda? Aku mulai sendirian di usia yang begitu muda ini. Sialan!!!

Yang bertikai mereka, yang dibuang malah saya. Lucu, ya...

Benang KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang