Tuhan Itu Apa?

561 30 41
                                    

"Katanya, Tuhan ada dimana-mana, mendengarkan ribuan duka, menyeka jutaan tangis, mengobati ribuan luka, memberi hadiah manis. Sayangnya, Dia tidak mampir ke depan pintu kamar nomor tiga"

Diantara berbagai mata pelajaran yang telah kumakan dalam pikiran, aku paling menyukai materi yang diajarkan dalam kelas agama. Bukan tanpa dasar, ia berbeda dari hal lain yang sudah faktual ada di bumi. Sementara agama, mebawaku untuk menalar sesuatu yang berada di tepian nalar, memaksa untuk menerima sesuatu yang hampir tidak masuk akal. Hanya imajinasi dan kepercayaan bertubuh iman yang mampu membuatnya masuk akal.

Aku sudah beranjak dari kelas satu menuju kelas dua. Wali kelasku-pun telah berganti, kini ia bernama Yani. Wanita tua yang berwajah muram. Mungkin ia jauh lebih mematikan dibanding bu Erna yang kerap menyuruhku untuk maju ke depan kelas akibat beragam kesalahan yang telah kuperbuat. Wanita ini amat ditakuti siswa-siswi berbagai kelas. Aku ingat pertama kali ia menegurku di bulan september, itu adalah minggu kedua aku memasuki semester ganjil tahun 2006.


"Kamu Kala, kan?" tanyanya.

"Iya ibu, bagaimana ibu bisa tahu aku?" tanyaku kembali.

"Saya penasaran dengan kejutan-kejutan apa yang akan kamu berikan. Apakah bu Erna itu benar atau hanya membual" ujarnya.


Aku diam saja, sebab aku merasa tidak memberikan kejutan apapun pada waktu-waktu sebelum ini. Aku pun tidak tahu apa yang telah dibicarakan bu Erna pada guru-guru sekolah ini. Yang jelas, raut wajahnya yang begitu seram tentu akan mempengaruhi imajinasiku. Mengobrak-abrik caraku berpikir yang terasa bebas menjadi kaku dan berantakan. Semoga saja tidak.

Hari itu adalah minggu pertama bulan Oktober. Adalah kali pertama kami menerima pelajaran agama walaupun pada minggu sebelum-sebelumnya sudah santer terdengar informasi itu di seputaran murid-murid kelas dua. Aku peduli apa, aku berusaha mengikuti alur saja. Sebab tidak ada tempatku bersandar manabuh harapan. Yah hidup, jalani saja. Mimpi, lupakan saja. Jika ada, secukupnya saja. Begitulah pikiran anak kecil yang telah menginjak usia tujuh tahun itu.

Sungguh lucu kali pertama aku di ruang kelas agama. Seluruh siswa Muslim pindah ruangan. Sebab, sekolah ini didominasi umat Kristiani. Hampir 80% pula anak muridnya memeluk agama tersebut. Bodohnya aku tetap diam di kelas, padahal sudah puluhan kali kumandang salah seorang guru di depan pintu.


"Siswa-siswi yang beragama Islam silahkan pindah ke ruang kelas 2D, ruang kelas 2A, 2B dan 2C akan dipakai teman kalian yang beragama Kristiani" ujar guru tersebut di depan pintu.


Sebenarnya, bukan aku tidak ingin pindah. Aku tidak benar-benar mendengar teriakan guru itu sebab murid-murid ini sangat berisik berpindah dari ruang ke ruang, dari bangku ke bangku. Aku tetap diam saja, di posisi semula pada meja baris ke lima paling sudut belakang yang kini telah menjadi tempat favoritku sebab tidak ada siapa-siapa yang akan memperhatikan hingga ke ujung ini.

Aku mengikuti kelas agama Kristen ini dengan seksama. Kala itu, guru tersebut mengajarkan budi pekerti dan ajaran-ajaran kasih dalam agama Kristiani. Di awal kelas, ia membuka dengan mengajak kami semua berdoa. Sesekali ia juga menyinggung sejarah Yesus Kristus yang dalam kepercayaan asliku disebut Nabi Isa.


"Anak-anak, kalau ada dari kalian yang dijahati. Maka jangan sesekali kalian balas dengan kejahatan. Ingat ajaran Tuhan kita, jika pipi kanan ditampar, maka berikanlah pipi kirimu juga. Niscaya, dunia akan menjadi lebih baik jika semua manusia menerapkan ajaran Tuhan" ujarnya.

Benang KepalaWhere stories live. Discover now