Makanan Sisa

604 65 422
                                    

Separuh saja bekas gigitan, makanan dibuang, jadi kotor berantakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Separuh saja bekas gigitan, makanan dibuang, jadi kotor berantakan. Dipungut kembali, makanan sisa ditelan bagi yang kelaparan. Dunia menyedihkan!

Malam mulai beranjak sedikit terang. Aku dibangunkan kumandang subuh yang tidak pernah ayah dan bunda ajarkan. Entah malaikat mana yang mengajak berteman, suara panggilan Tuhan menarikku untuk datang ke pilar-pilar rumah ibadah. Sembahyang seperti orang dewasa, seolah paling tahu semua. Diam saja mendengar imam bersuara, tidak mengerti harus berucap apa. Aku mengikuti iramanya sekalipun belum pernah membaca kitab-kitab yang pernah terdengar di telinga. Entah yang mana yang benar, dari Taurat, Zabur, Injil hingga Al-Qur'an. Tidak satupun terpampang tulisanya di wajahku yang berusia hampir enam tahun. Yang jelas rumah ibadah pertamaku adalah ritus muslim, di tempat ini. Tanpa mengerti ritual apa yang diajarkan oleh agama-agama yang mereka sebut itu suci.

Di pelataran rumah ibadah itu, aku kembali terbaring lelah selepas para jemaah pulang semuanya. Satu-satu bapak-bapak dan ibu-ibu melihat anak kecil ini di depan teras masjid. Tidak heran sepertinya mereka karena tidak jarang juga anak kecil main subuh-subuh ke rumah ibadah bersama ayah atau sahabat karibnya. Setelahnya pulang, anak-anak itu pergi ke jalanan bermain petasan atau berlarian.

Jam pada dinding rumah ibadah itu menunjukkan pukul delapan. Tiga jam aku tertidur di rumah ibadah ini. Kembali aku telusuri jalan-jalan yang kuingat di ujung kepala. Dari jalan sempit hingga jalanan luas, dari laju kendaraan yang sedikit hingga ramai kendaraan di tiap ruas. Hingga aku sampai di jalan arteri besar yang tidak begitu kutahu namanya. Sudah berjam-jam aku berjalan namun tidak juga kunjung sampai ke rumah. Aku dimana?

Sepertinya itu tengah hari, matahari tepat di atas kepala. Jalananku sangat panjang, tidak kunjung aku sampai menuju pulang. Anak kecil terlunta-lunta di jalanan. Kejahatan macam apa ini? Sungguh jika benar sebelum hidup manusia telah ditunjukkan kisah hidupnya, pasti aku sedang tertidur saat menonton kisah hidupku. Kalau masih waras, sudah jelas aku tidak akan memilih untuk hidup dan dilahirkan.

Jalan yang panjang, tidak kunjung sampai. Aku kehausan, perut mulai berbunyi meminta beberapa suapan. Teringat bunda pernah menyuapi aku makanan yang tidak begitu nikmat namun membuat aku bertenaga. Sekarang, aku sudah benar-benar lelah. Aku haus, lapar, lelah, sedari kemarin aku belum menikmati makanan apa-apa. Aku juga tidak begitu hapal jalan menuju panti kembali. Entah sudah berapa jauh kaki anak kecil ini melangkah, berjalan sedari malam bertemu pagi lalu sekarang sudah hampir malam lagi.

Malam aku masih berjalan, menyusuri jalanan besar ini. memegang perut yang rasanya sudah tidak karuan. Menahan sakit yang sudah tidak tertahankan. Sesekali aku lihat kiri-kanan. Baru tahu aku makanan juga ada yang dijual, kukira hanya dimasak di rumah lalu dimakan bersama keluarga. Hingga sepertinya malam itu sekitar pukul 10, kulihat seorang pria tua membuang sebungkus barang yang kukira itu makanan.

Aku mengamatinya dari sela-sela tiang listrik yang cukup besar. Menunggunya pergi berangkat dari tempat itu. Selepas ia pergi, segera kudatangi tempat sampah tadi. Bersaing dengan kucing jalanan, kecoa, tikus dan ribuan bakteri. Mengambil sisa-sisa sampah yang masih kuanggap sebagai harta. Penyambung hidup yang hampir saja tiada. Kubuka bungkus makanan yang terlipat acak itu. Kulihat banyak nasi berwarna kuning yang masih baik untuk disantap. Kulihat juga tulang-tulang ayam dengan sedikit daging yang masih tertempel. Mungkin itu adalah ayam goreng yang sudah hampir habis semua dagingnya, tersisa sedikit bersama tulang rawannya. Kunikmati santapan malam itu di dalam gang sempit yang tidak dilewati siapa-siapa. Begitu lahap aku makan makanan sisa. Mau bagaimana lagi? Ini lebih baik terjadi dari pada aku harus mati.

Selepas sudah aku nikmati semua makanan itu, kulihat seorang pria dewasa mulai mendatangiku dari kejauhan. Entah dia ingin berbuat baik atau jahat, aku ketakutan. Kutinggalkan sampah kertas nasi bekas makananku lalu lari sekencang-kencangnya. Aku ketakutan, aku takut orang-orang jahat akan mencelakai.

Hampir 10 menit aku bolak balik memastikan pria itu apakah mengejar atau tidak. Syukurnya, ternyata ia sudah tidak ada dalam jarak pandangku. Aku kembali ke jalan arteri lagi lewat jalan sempit acak yang aku pilih sebab aku harus keluar dari gang sempit ini. aku menyusuri jalan besar itu kembali. Sesekali, pengendara motor yang tidak seberapa melihatku dari tengah jalan. Tiap pandangan itu membuatku ketakutan, sebab bisa saja mereka berhenti lalu membawaku entah kemana. Padahal aku hanya ingin pulang ke rumah.

Aku begitu lelah dalam perjalanan ini. Sudah sepanjang ini kakiku berjalan, namun belum juga aku menemukan ciri-ciri rumah tempat ayah dan bunda tinggal. Aku berada di antah-berantah. Hilang sudah tersesat entah kemana, dan akupun mulai menyadari bahwa aku telah berjalan jauh tidak tau arah.

Malam itu, entah jam berapa. Yang jelas sudah sangat sepi pengendara di kota ini. Hujan turun dengan derasnya. Kutampung beberapa tetes hujan dengan tanganku lalu aku puaskan dahagaku yang semenjak subuh, siang hingga malam belum tersiram seisi tenggorokan. Begitu yakin aku tidak bisa melanjutkan perjalanan ini sebab malam itu dingin sekali. Naluriku juga meyakinkanku untuk beristiharat malam ini. Lalu kembali melanjutkan pencaharian ayah bunda esok pagi. Akhirnya di sebuah teras gedung yang cukup besar, aku duduk lalu terlelap pulas di atas keramik yang dinginnya tidak karuan.

Aku mencari ayah dan bunda. Yang hilang itu aku atau mereka?

Benang KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang