Lari!

601 70 448
                                    

Sewaktu nyaman hilang, takut mengajak lari untuk datang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sewaktu nyaman hilang, takut mengajak lari untuk datang

Sudah sebulan lebih aku berada di rumah singgah yang disebut panti asuhan ini. Berkali-kali juga aku sudah memikirkan tentang jemputanku, entah yang datang ayah atau bunda. Dari kamar nomor tiga, aku kerap menghabiskan waktu dengan berdiri di tepi jendela. Berharap ayah atau bunda datang menjemputku. Aku memang punya banyak teman di tempat ini, namun semuanya menjadi membingungkan. Aku tidak begitu sadar bahwa ayah membuangku sewaktu itu. Harapanku masih begitu penuh bahwa ayah akan datang kembali menjemputku.


"Ibu, ibu. Kapan ayah datang? Katanya nanti aku akan dijemput lagi" tanyaku pada wanita paruh baya itu.

"Kala sabar, yah. Tidak lama lagi kok. Ayah Kala sedang sibuk di kantor barunya. Kantornya besar, uang ayah Kala udah mulai banyak sekarang. Nanti kalau udah tidak sibuk, dia pasti menjemput. Sabar, ya" balasnya.


Aku diam saja waktu itu. Aku mempercayai wanita paruh baya itu begitu saja. Akhirnya aku tetap menunggu ayah dan bunda setiap harinya. Hampir tiga hari sekali aku menanyakan kabar ayah pada wanita paruh baya itu. Tapi selalu dihidangkan jawaban yang sama. "Ayah sedang sibuk di kantor barunya"

Bulan kedua, rasa cemas datang menggerogoti kepala anak ini. Tidak lagi ia tampak ceria seperti dulu. Aku selalu saja menatap penuh harap dari jendela kamar nomor tiga yang berhadapan langsung dengan gerbang panti. Sudah dijadwalkan seperti makan kunjunganku pada tepi jendela itu. Tiga kali sehari, pagi saat baru bangun, saat makan siang dan beberapa menit sebelum tidur. Ayah dan bunda tidak kunjung menjemput. Hingga di suatu titik, nyamanku mulai hilang, telah dibawa lari oleh pikiran yang berisi rindu pada ayah dan ibu. Akhirnya aku mencoba pergi dari tempat ini.

Malam itu, tepat lima hari perayaan tahun baru, ayah dan bunda tidak kunjung menjemput aku. Aku menangis sementara anak-anak yang lain sedang tertidur lelap. Ketakutan mulai datang begitu kuat. Akhirnya, aku pergi diam-diam dari tempat ini. Melalui pintu belakang yang sudah rusak kunci gemboknya. Aku buka tiap pintu perlahan-lahan dan mencoba kabur dari tempat yang ayah sebut rumah singgah ini.

Seorang penjaga mengetahui perilakuku sehingga ia meneriaki dan mencoba mengejar aku. Aku lari secepat-cepatnya menjauhi panti itu. Kulalui jalanan sempit sekitar perumahan belakang panti ini agar bisa bersembunyi dari mereka yang mengejarku. Makin lama, aku mencoba berlari makin jauh. Yang terpenting aku bisa meninggalkan tempat ini dahulu.

Lepas sudah penjaga itu pergi, aku mencoba mengingat jalan pulang menuju rumah. Tiga puluh menit lebih jarak perjalan dari rumah ke tempat ini. Sehingga sangat sulit sekali untuk anak berusia 5,5 tahun ini untuk mengingat seluruh rute perjalanannya. Aku jalani saja semua semampuku. Hingga akhirnya, aku merasa begitu kelelahan.


"Ini dimana? Kenapa aku tidak sampai-sampai di rumah?" ujarku di sepanjang jalan.


Aku mulai berlari-lari lagi sembari memekik menyebut "Ayah" dan "Bunda" berharap mereka mendengar jeritanku di sepanjang jalan. Tapi sial, tidak satupun yang datang mendekati aku. Entah jam berapa malam itu, yang jelas jalanan tampak begitu sepi. Bahkan salah satu SPBU yang sempat aku lewati tampak tidak berpenghuni. Akhirnya, aku benar-benar kelelahan. Aku duduk di sebuah teras toko lalu tidak sengaja tertidur lelap di atas keramik dingin itu. Semua penglihatan buram, mataku tertutup dan aku tenggelam di dalam peristirahatan.

Ayah, Bunda, kalian kemana?

Benang KepalaWhere stories live. Discover now