Berbeda

613 57 356
                                    

Kata bunda, jika ingin menang melawan dunia, jadilah yang paling bisa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kata bunda, jika ingin menang melawan dunia, jadilah yang paling bisa. Jika tidak mampu, maka jadilah yang paling beda

Agustus 2005, lepas sudah aku menginjak usia enam tahun, ibu panti yang kerap kujadikan tempat menuai amarah mendaftarkanku ke sekolah dasar yang terhitung cukup jauh dari panti ini berada. Letaknya di desa kecil sebelah selatan Kota Pekanbaru. Sebuah desa yang masih penuh dengan rimbunnya hutan dan sedikit rumah warga serta banyak bangunan gereja. Sebab, Kristiani adalah agama dominan yang dianut hampir 80% masyarakat desa ini.

Sekolah ini tidak begitu bagus. Sebagian bangunannya sangat rapuh tak terurus, sebab dindingnya masih terbuat dari papan-papan yang sudah mulai rusak dimakan waktu. Pagarnya pun masih dari pagar kayu. Tidak jarang siswa kelas 6 kulihat kabur melompati pagar yang tingginya tidak seberapa itu. Beberapa dari mereka juga sempat merusak pagar agar dapat bolos dengan mudah. Sungguh tidak seperti sekolah yang pernah terpikirkan di benakku yang kukira berupa ruangan bersih berlantai keramik atau ruangan seni berisi puluhan alat musik, sekolah ini justru berisikan ruangan dengan kekacauan disertai genangan air hujan yang jatuh dari bolongan genteng tepat di atas kepala, entah berapa lama mereka lupa makna kata "perbaikan". Kegiatan belajarnya pun begitu kaku, dengan pengajaran yang hampir sama persis seperti metode pengajaran pada masa orde baru. Sungguh tidak pernah terlintas di ujung kepala, bahwa tempat di ujung dunia ini masih pantas disebut sekolah.

Aku diperkenalkan dengan ibu Erna, wanita paru baya yang menjadi wali kelasku. Sekaligus mengampu seluruh mata pelajaran kecuali agama, bahasa inggris dan olahraga.


"Kala, ibu panti menitipkan kamu ke ibu karena ia tidak bisa mengawasimu hingga pulang seperti orang tua anak-anak lain. Jadi ketika pulang, kamu menunggu di ruang kantor, ya. Ibu panti akan segera menjemputmu" ujarnya.

"Iya, bu. Terimakasih banyak" jawabku.


Minggu demi minggu, bulan demi bulan, aku mulai menginjak kelas satu. Anehnya tidak kudapatkan bahagia di sekolah ini. Pepatah tua itu ternyata salah, ia bilang bahwa masa kecil ialah waktu tanpa derita, anak kecil hanya akan disuguhkan waktu bermain dan bercanda. Sialnya, tidak kutemukan maksud pepatah tua itu di sini. Aku mulai memikul perasaan seorang diri, menghadapi takut yang datang sana sini, sewaktu-waktu aku menangis teringat ayah dan bunda, sewaktu-waktu aku membisu sendirinya, dan sewaktu-waktu saja aku bisa senang dengan tiba-tiba. Sungguh beban di kepala sepertinya sudah bertumpuk pada pundak kecil rapuh ini. Kepribadiannya berubah-ubah, kadang sedih kadang senang sendirinya. Sialnya, aku justru banyak sedihnya.

Sekolah juga berjalan seperti biasanya, sekaku biasanya. Tiap hari guru-guru ini hanya mengajarkan kami membaca, berhitung, mengeja atau bahkan mengajarkan berbicara. Sementara aku, masih menerka-nerka waktu untuk mampu beranjak dari ruang kelas berisik ini. Hingga suatu ketika, aku sempat tertidur saat mata pelajaran berhitung sedang berlangsung. Tiba-tiba sebuah kapur tulis yang tersisa setengahnya tidak sengaja melayang dan membentur kepala anak kecil ini. Itu adalah teguran yang pantas kami terima sebelum nada-nada generasi Z mulai menggema.

Benang KepalaWhere stories live. Discover now