Basa-Basi Busuk

608 62 373
                                    

Aneh, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aneh, ya. Sebagian dari kita ingin bahagia di dalam kebohongan, sebagian lagi memilih menderita di dalam kejujuran. Yang lain minta dibohongi agar tidak sakit hati, yang lain minta kejujuran walau selepasnya hancur berantakan. Manusia memang se-menyedihkan itu.

"Ibu, aku dibuang, yah?"  teriakku di depan pintu kecil ruangannya disertai derasnya deraian air mata.

Sudah kalut perasaan anak ini musabab sebuah kabar telah disampaikan gadis 15 tahun itu. Hilang sudah separuh nyawa yang sebelumnya sempat utuh. Karena, jika saja apa yang dikatakan gadis itu benar maka aku harus memulai semuanya sendirian, dari titik ini. Merengek keras aku di depan wanita paruh baya itu. Memperhatikan kaki yang mulai merapuh sebab keluarga yang kusebut rumah sudah tidak lagi utuh. Dia hanya terdiam melihatku. Kepalanya merunduk, memikirkan basa-basi busuk seperti apa lagi yang ingin ia sampaikan padaku. Tipuan macam apa lagi yang akan ia gunakan untuk menghilangkan kecemasan yang aku rasakan. Anak kecil ini sudah terburu curiga oleh bohong yang sudah mereka tata. Ia segera berdiri dari meja kerjanya lalu menghampiri aku.

"Kala, kenapa bilang begitu? Siapa yang bilang kamu dibuang? Tidak kok, nanti kamu pasti dijemput. Ibu kan sudah janji" ujarnya.

Aku menunjuk gadis 15 tahun yang tadi mengejar aku. Dengan wajah yang sedikit tertunduk, ia melihat aku dengan ratapan sendu. Wanita paruh baya ini menatapnya seolah marah. Sementara aku memilih diam saja selepas pertanyaan itu. Yang ada hanya suara tersedu-sedu bersama tetes demi tetes air mata yang mulai membanjiri keramik panti asuhan ini.

"Kak Rania bilang apa ke kamu? Coba cerita ke ibu!" ujarnya.

"Kak Rania dibuang, kan? Hampir semua anak panti di sini dibuang, kan?"

Ia diam saja. Sepertinya sedang memikul alasan yang sudah bertumpuk di kepala. Memilah jawaban mana yang rasional untuk diberikan kepadaku.

"Kenapa ibu tidak bilang, dulu?" tanyaku sembari tersedu-sedu.

"Kala, kamu tidak dibuang. Percaya pada ibu"

"Kenapa ibu tutup-tutupi dari aku? Karena aku masih kecil?"

"Kala, bukan begitu, nak"

"Basa-basi busuk!!!" jawabku dengan nada yang mulai meninggi.

Setelah kalimat semi bentak itu, seketika aku berlari kembali menuju kamar nomor tiga. Mengambil selimut lalu menyelimuti diriku sepenuhnya. Menangis dibalik tempat tidur yang rasanya sudah tidak empuk lagi. Terisak di bawah selimut sembari memikirkan apa kesalahanku pada ayah dan bunda. Mengapa mereka memupuk tega hingga membuang aku jauh dari mereka? Apa benar aku anak yang mereka ciptakan dengan doa? atau justru bocah yang tidak pernah diminta hingga lahirnya disertai jutaan ucap serapah.

Sementara itu, di ruang kecil tempat aku bertemu dengan ibu panti tadi, mereka tengah beradu argumentasi. Seolah mampu menjadi mesiah untuk aku yang kadung tercekik realita.

"Rania, ibu tidak pernah mengajarkan kamu untuk membicarakan masalah pribadi anak-anak panti. Terutama anak-anak yang baru masuk. Mereka masih belum mengerti, Rania"

"Maaf ibu, aku hanya tidak tega melihat dia terus-menerus menangis dengan berbagai harap menunggu ayahnya di depan jendela" ucap gadis 15 tahun itu.

"Ibu mengerti tapi kamu harus bersabar, nak. Kala itu baru saja ditinggal orang tuanya. Kasihan dia"

"Tapi sudah hampir 3 bulan dia di sini, bu. Hampir satu minggu pula dia melarikan diri. Untung saja ibu menemukannya dengan selamat. Untuk apa terus diberi harapan? Kalau ayahnya tidak kunjung datang, aku yakin ia akan melarikan diri lagi untuk mencari ayahnya"

"Sabar Rania, dia masih sangat belia untuk tau semua itu" jawab wanita paruh baya itu.

"Dulu ibu menceritakan soal ibu kandungku saat usiaku delapan tahun. Apakah itu tidak terlalu belia?" tanya gadis itu dengan nada sedikit tinggi.

"Kamu sudah disini sejak masih bayi, Rania"

"Apa bedanya? Memangnya saat masih bayi aku paham? Ibu tidak tahu, kan? Bagaimana sedihnya aku saat ibu ceritakan itu? Tapi setelahnya, aku menata ulang semuanya. Aku tidak ingin lagi bersedih karena orang tua sialan yang memburu napsunya di penginapan. Lalu setelah hamil dan melahirkan, mereka membuang aku dengan semena-mena. Aku ingin Kala juga seperti itu, bu. Untuk apa dia memikirkan orang tua yang sudah jahat seperti itu padanya?"

"Rania, orang tuamu dan orang tua Kala itu berbeda"

"Apa bedanya? Sama saja mereka. Membuat anak saja mereka bisanya, melampiaskan napsu dunia. Setelah lahir, mereka tidak mampu bertanggung jawab. Orang tua macam apa mereka"

"Cukup, Rania!!! Cukup. Ibu tidak pernah mengajarkan kamu berpikir seperti itu" Jawab ibu panti sambil membentak gadis itu.

"Terserah, ibu. Ibu yang paling mengerti semuanya!" gadis itu beranjak pergi memasang wajah gusar pada wanita paruh baya itu.

Selepas beradu argumentasi, merasa paling benar dengan pendapat sendiri-sendiri, mereka berpisah untuk menghela napas menghapus amarah. Kak Rania menghampiri aku yang menangis sendu dibawah selimut sore itu. Ia mengelus kepalaku dari luar selimut. Membisikkan kata yang seharusnya aku tuntut pada ayah, bukan dia.

"Kala, maafkan kakak, yah. Kamu harus kuat, kamu masih punya kita" ujarnya.

Benang KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang