Dibalik Ayah II

525 33 62
                                    

Saat baik dan buruk sedang bertikai di dalam kita. Detik siapa yang akan kita bela?

Setelah jemputan terakhir itu, aku merasa sedikit aneh pada ayah. Seperti terjadi sesuatu padanya. Kali ini tiba-tiba ia menjadi rutin mengantar dan menjemput aku. Setiap aku bertanya alasannya, ayah selalu menjawab dengan alasan urusan kerja. Sehingga aku tidak perlu menghabiskan uang untuk membayar jasa angkutan umum.

Berbeda dengan ayah dan perubahan baiknya, suasana sekolah masih tetap saja sama. Ruang kelas, anak-anaknya, bahkan yang paling kubenci adalah tiap percobaan perampasan Simon terhadap aku. Suatu ketika lepas sudah ayah mengantar aku di tanggal 15 November 2007, Simon dan gengnya tiba-tiba menghadang aku tidak jauh dari gerbang sekolah. Ia menyeretku menuju sisi sepi samping sekolah ini. Seperti biasa, ia meminta jatah yang ia sangka miliknya. Dan saat itulah pertama kali aku mencoba memberanikan diri untuk menolaknya.

"Heh, anak pungut. Setorannya mana?"

"Maaf, kak. Kemarin kan sudah, kenapa sekarang harus setoran lagi"

"Aku tidak mau tau. Setiap kau bertemu aku, kau harus setoran" jawabnya.

"Kalian memang kurang ajar, ya. Apa maksud kalian memeras aku" jawabku memberanikan diri.

"Hah? Ulangi perkataanmu" jawabnya sembari menyodorkan kepala dan telinga di depan wajahku.

"Aku tidak bisa jika harus memberi kalian uang tiap hari" jawabku.

Tiba-tiba pukulan mentah mendarat di wajahku hingga aku hampir terjatuh. Aku ditahan oleh dua anak buahnya. Lalu anggota geng yang satunya merogoh seluruh saku yang terletak pakaianku, dari celana hingga baju. Sementara Simon, ia sibuk mengutak atik tasku. Mereka mendapati sisi rahasia di dalam tas tempat aku menyimpan tabunganku dan mereka dapati uang yang cukup banyak itu. Dengan beringas mereka ambil semua uang itu.

"Banyak juga uangmu, yah. Kalau begini, kau kubebaskan untuk tidak setoran sebulan" ujarnya sembari tertawa.

"Kak, biar aku bayar kau tiap hari tapi jangan ambil semua tabunganku" jawabku sambil menangis.

"Sudah tidak usah banyak bicara. Terimakasih untuk uang yang banyak ini"

Ia pergi begitu saja setelah seluruh uangku raib oleh mereka. Aku terduduk lemas di tempat ini. Uang yang kucoba tabung sejak berada di panti dan untuk membayar taruhanku dengan ayah sudah hilang semuanya. Aku menangis tersedu di tempat ini hingga bel sekolah berbunyi, tanda jam pertama akan segera dimulai. Aku menyeka semua air mata dengan lengan bajuku, lalu kucoba tenang dan pergi menuju ruang kelas.

Sepulang sekolah, kudapati pemandangan yang tidak biasa. Ayah terkadang memang berlakon seperti monster dalam hidupku. Tangannya yang ringan acap kali membuat wajah bunda memar, namun kali ini sangat berbeda dari biasanya. Di depan gerbang, kudapati ayah menampar simon dan anggota gengnya.

"Berani-beraninya kalian menghajar anak saya. Bukankah sedari awal sudah saya peringatkan?" bentak ayah pada mereka.

"Ampun, pak. Tidak akan saya ulangi lagi" jawab mereka sembari menundukkan kepala.

Tiba-tiba, tangan ayah yang ringan muncul kembali seperti biasanya. Dengan kerasnya, ayah menampar wajah mereka satu per satu di depan gerbang itu disaksikan anak-anak lain yang menonton sikap amarah ayah.

"PLAKKKKKKK"

"Anak anjing kalian semua. Kembalikan seluruh uang yang telah kalian rampas dari anak saya!!!" ujar ayah dengan nada tinggi.

Benang KepalaWhere stories live. Discover now