Ruang Penghinaan

546 34 62
                                    

Diobrak-abrik isi kepala dengan berjuta umpatan. Disiram hinaan tubuh yang bingung salahnya dimana. Tidak mengertikah kau, tuan? Kita hidup di dunia hina dina

Rumah seperti biasa, tidak pernah hilang suara berisiknya. Sunyi senyap jadi kado terindah yang dapat aku terima. Itu pun sangat jarang. Dalam sebulan, mungkin hanya lima hingga tujuh hari rumah dalam ketenangan. Tenangnya diapit sedikit cara. Kalau tidak karena ayah pergi jauh atau bunda terundang acara temu, sudah pasti cairnya uang pinjaman ayah akan jadi alasan mengapa rumah tidak lagi saling tuduh. Padahal, bunda sedang mengandung adik keduaku, anak ketiga mereka. Malang sekali nasibnya harus mendengar tiap umpatan tengah malam. Aku saja yang sudah lahir ke bumi delapan tahun lalu begitu sakit kepala, apa lagi dia yang masih renta dalam kandungan bunda.

Tidak ada cara lain bagiku untuk hidup selayaknya, selain mengikuti cara ayah untuk bisa menghasilkan uang lewat kepala. Tiap hari aku berkutat dengan materi sekolah yang itu-itu saja. Kabar kompetisi belum juga muncul di dua bulan pertama sekolahku yang lompat tingkat ini. 4A, adalah kelas anak-anak yang telah dikotakkan sekolah sebagai kelas unggul. Disebutkan bahwa mereka punya intelegensi lebih tinggi di banding anak-anak lainnya. Dan di sanalah aku berada, berharap manusia yang mereka sebut cerdas dapat bertingkah lebih beradap. Namun, sayangnya tidak.

Senin, 10 Agustus 2007 adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di ruang kelas 4 ini. Minggu pertama terkesan biasa saja. Kami memulai seluruh interaksi sekolah seadanya, secukupnya. Sekadar saling berkenalan antara siswa dan guru yang menjadi wali kelas ini. Ayah belum menjemputku waktu itu. Sehingga, anak-anak sekolah ini lebih mengenal aku sebagai anak terbuang. Sebagian yang lain juga mengetahui aku sebagai si yatim piatu. Mereka telah menganggap aku sudah tidak memiliki orang tua, sebab ayah dan bunda tidak pernah datang menampakkan wajah. Berbeda dibanding anak-anak ini yang masih diawasi orang tuanya. Diantar jemput, diberi uang, ditemani pengambilan rapornya, disuguhi gelak tawa. Tapi tidak denganku kala itu.

Jumat subuh, 24 Agustus 2007, tepat di hari ulang tahun ke delapanku. Di kamar nomor tiga panti ini, Anka menghampiri aku dalam tidurku. Ia tidak tampak seperti biasanya, kali ini ia terlihat lebih dewasa. Mungkin ia adalah pria berusia 20 tahunan. Aku bahkan terkejut memandang pertumbuhannya

"Kau siapa?" tanyaku dalam mimpi itu.

"Aku Anka, apa kau lupa?"

"Anka adalah anak seusiaku, tidak mungkin kau Anka"

"Anka ada dua, masa kecilmu dan masa depanmu" ujarnya padaku.

"Maksudmu?" tanyaku padanya.

"Kala, jangan pergi sekolah hari ini" ujarnya padaku di dalam mimpi.

"Kenapa?"

"Jika kau memaksa untuk sekolah, bawalah sapu tangan ini dan sedikit uang. Setidaknya kau bawa 10 ribu Rupiah" Jawabnya sembari memberikan sapu tangan putih dan dua lembar pecahan lima ribu rupiah padaku.

"Untuk apa ini? aku tidak mengerti" jawabku

"Apa yang kukatakan adalah yang baik buatmu" ujarnya.

"Tapi kenapa?" jawabku teriak.

Anka perlahan-lahan hilang dari mimpi itu. Pandanganku mulai muram lalu seketika aku terbangun di atas kasur yang tidak empuk ini disertai keringat yang merembes ke sana sini. Lantunan panggilan sembahyang juga ikut terdengar malam itu. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul lima. Aku beranjak dari kasur ini, diikuti anak-anak panti lain. Sebab, sembahyang adalah hal yang wajib dilaksanakan bagi penghuni panti beragama Islam.

Benang KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang