Selamat Datang di Dunia

629 61 328
                                    

Merengek keras, muka suci

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Merengek keras, muka suci. Bersiap mati, para pendatang bumi

Syahdan, tepat satu tahun tiga bulan sejak dilangsungkannya pelengseran Presiden Kedua Republik Indonesia. Tepat 15 bulan aksi 98 berkecamuk, dari Medan, pulau Jawa hingga tengah senayan, manusia berganti riuh melempar batu dan serapah pada pemerintah yang tidak becus mengelola negara. Bayi kecil ini lahir dalam kecamuk massa yang masih terasa di rumah dukun kelahirannya. Ekonomi belum begitu bangkit, ayah miskin dan bunda terlunta hilang yakin. Aku lahir, nyawaku dititipkan pada dukun tersebut sebab tidak punya uang untuk membayar jasanya. Mereka pergi meninggalkan bayinya bahkan tanpa Adzan yang sempat dikumandangkan oleh lelaki yang menjadi ayahku itu. Tidak lama memang, beberapa bulan saja aku ditinggalkan. Bunda juga kerap datang memberi makan berupa asi yang entah di dalamnya ada cinta atau tidak sama sekali.

Kejam memang tahun tersebut. Minyak goreng yang harganya 1.800 Rupiah, bisa-bisanya menyentuh angka 10.000 Rupiah. Uang Dollar yang awalnya dihargai 2.600, tiba tiba melonjak jauh hingga 26.000. Nilai inflasi sampai menyentuh angka 77. Barang-barang naik, masyarakat menderita. Yang miskin makin miskin, yang kaya jadi miskin. Rusak sudah bumi Indonesia, begitu banyak kematian sebab kelaparan. Dan yang di atas, masih sempat-sempatnya bertahan dalam jabatan walaupun akhirnya mundur juga. Orde baru, runtuh sudah setelah kumandang Reformasi bergulir di sepanjang negeri. Raja itu turun dari tahtanya sebab sudah tidak mampu ia mencegah amarah tiap manusia akibat ulahnya.

Anak ini, ikut lahir dalam bayang bayang krisis negara bersama jutaan anak lainnya yang mungkin juga sama menderitanya. Dititipkan pada dukun untuk mencari pundi uang walau dengan berhutang. Masih kulihat baik ayah menebus aku. Hingga saat ini, walaupun jutaan buruknya masih terpampang di kepala, tetap saja aku tidak benar-benar bisa membencinya sebab ada baik yang masih tersisa dari tubuh gelap itu. Sebab masih ada kilauan emas dalam tumpukan sampah di dalam sungai.

Tangisan pertama bayi ini mungkin dengan jelas didengar oleh ayah dan bunda. Namun tangisan kedua dan seterusnya, dihibur oleh wanita tua dukun beranak itu. Hingga usiaku 4 bulan, bersama pundi rupiah yang ayah dapat dari bekerja dan pinjaman sana-sini, aku akhirnya dibawa pulang ke rumah sewa yang sudah reyot hampir rubuh. Sedikit sekali tangan ayah menyentuh kulitku, hanya beberapa pelukan hingga usiaku belum tuntas satu tahun. Ia dibawa paksa oleh petugas hukum berbaju coklat sebab ayah kedapatan mencuri dan memukul orang.

"Sudah miskin, kriminal pula. Lahirku mungkin bersama iblis yang gagal ditolak bala"

Meskipun tidak lama, setahun dalam jeruji besi sungguh teramat memalukan untuk ayahku yang kala itu bergelar sarjana. Meskipun sebentar, tetap saja bunda bekerja seperti mati. Meninggalkan rumah dan menitipkan aku dengan tetangga. Ia terlunta-lunta bekerja memungut rupiah. Dari karyawan toko baju hingga tukang cuci rumahan, sudah sempat ibu rasakan sebab ditinggal berjuang sendirian oleh suaminya yang ada di bilik besi. Andai aku sudah lebih sedikit dewasa waktu itu, mungkin aku yang akan turut serta mencari rupiah atau mungkin juga mencari uang dengan membunuh mimpi dan orang-orang.

Dikisahkan oleh bunda sebelum meninggalkan rumah, bahwa siangku yang berusia satu tahun sudah mulai memakan nasi yang ditumbuk halus dan diberi sedikit garam atau bumbu dapur semacamnya. Tidak ada susu formula atau sereal bayi yang kelihatan nikmat itu. Mahal sekali harganya untuk bunda. Tetangga kami yang menyuapi aku tiap sendok makanan murah itu. Bunda akan pulang malam, lalu kadang ia lupa mengambil aku dari rumah tetangga sebelah rumah reyot ini. Pagi buta jika ia teringat, bunda akan melihat aku ke sebelah, menitipkan beberapa lembar ribuan pada tetangga lalu menghiburku dengan beberapa "ciluk ba" kemudian hilang lagi bayangannya entah kemana.

Kelahiranku tidak disambut dengan syukuran kecil-kecilan apa lagi pesta meriah. Bahkan, lahirku-pun membuat susah. Belum cukup ayah bunda mengisi perut mereka yang kelaparan, sudah datang aku yang juga ikut meminta makan.

"Anak itu sepertinya membawa sial, kenapa kau mau membantu merawatnya?" Ujar salah satu tetangga pada orang yang mengasuhku selepas bunda pergi.

Belum tahu anak ini makan sendiri, belum juga ia bisa mengeja sudah disediakan ruang fitnah yang begitu besarnya. Tidak habis sangka, bagaimana jika bunda yang mendengarkannya saat itu. Walaupun ujungnya, jelas terpampang di telinga bunda. Suara-suara makian dari mereka kepada aku.

"Bayar sewa saja tidak mampu. Suami seorang kriminal, berani-beraninya punya anak dan melahirkan. Kapan kalian kayanya? Atau jangan-jangan anak itu yang membawa sial?" Ucap pemilik rumah sewa ini kepada bunda.

Ahh sudahlah, belum juga bayi ini lancar bicara, bisa-bisanya dihujam banyak fitnah. Atau jangan-jangan benar adanya? Datangku membawa sial bagi mereka, ayah dan bunda.

Lucu sekali bunda, sambutanku ke dunia dengan jutaan penderitaan. Derita itu datang tiba-tiba atau aku yang membawa mereka?


Benang KepalaWhere stories live. Discover now