Chapter 3. Ayam

873 75 7
                                    

"Mau mekdi, Fre"

Fiony melirik ke arah restoran cepat saji di kiri jalan, kebetulan mereka berada di arah jalan yang sepadan jadi tidak perlu menyebrang. Restoran tersebut sering mereka kunjungi karena letaknya dekat dengan apartemen kediaman mereka. Freya memarkirkan mobil ke tempat yang telah disediakan. Suara berisik kendaraan langsung memenuhi gendang telinga kedua gadis tersebut.

Dengan perlahan, Freya membukakan pintu mobil untuk perempuannya yang tersenyum kegirangan. Tangannya menengadah, Fiony menggenggamnya tanpa pamrih.

"Beli buat besok sekalian gak sih? Biar gak usah susah-susah bikin sarapan pagi nanti", ujar Freya menguatkan genggaman gadis disebelahnya itu.

"Kamu gak suka masakanku ya?"

Sahut Fiony dengan suara sedih. "Biar kamu gak cape bangun pagi, Piyo", sela Freya dengan menghela nafas berat.

Fiony terkekeh, ia suka menggoda Freya dan membuatnya merasa kesal. Responnya yang lembut membuat dirinya tenang. Perhatiannya, adalah satu hal yang selalu diincar setiap mereka menghabiskan waktu bersama.

Freya yang berada di depan kasir mulai memesan, "Paket PaMer 5 ayam-nya 1 ya kak, tambah float yang coca-cola 1"

"Tambah float?", Fiony mengernyitkan dahinya.

"Gamau?"

"Buat aku?"

"Itu 'kan kesukaan kamu"

Terkejut sedikit, meskipun kejutan tersebut selalu hadir dari Freya tetap membuatnya tak siap setiap kali di beri perlakuan manis seperti ini.

"Cuma aku, kamu pasti gak pernah pesen"

Gerutu Fiony membuat gadis di sampingnya melirik dan memutar wajahnya untuk menatap seksama kedua mata Fiony. "Aku bekasmu aja", jawaban khas Freya yang akan selalu di dengarnya.

Sebenarnya, Fiony tahu alasan Freya hanya memesan satu minuman untuknya adalah karena Fiony akan mengeluh selepas pulang dari restoran bahwa ia menginginkan sesuatu yang ia sukai. Perempuan berkacamata itu hapal dengan kebiasaannya, walau yang ia inginkan sebetulnya melihat binar mata bahagia dari sang kekasih mendapat barang pemberiannya.

¤¤¤¤¤

Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul 11. Aku menepati janjiku untuk menonton film bersama Freyana. Awalnya aku menawarkan untuk melakukannya besok karena melihatnya menguap dan berbicara mengenai badannya yang pegal-pegal.

Di kamar kami yang dingin dari udara AC, tertutup selimut dan saling merangkul membuat kehangatan yang dapat mengalahkan dinginnya. Kami memantengi laptop dengan film yang sudah di putar untuk menemani malam kami setelah beraktivitas lumayan berat seharian ini.

"Ngh, ngantuk"

Keluhnya menurunkan kepala dari bantal dan mulai lebih dekat ke tubuhku. Harum parfum samponya menusuk ke sela-sela lubang hidungku. Ia memelukku kian erat.

"Filmnya?"

Aku mengelus pucuk kepala Freyana. Ia sangat menggemaskan saat ini.

"Mau tidur", ucapnya dengan nada suara yang sudah serak. Aku tak bisa memaksanya. Dia kelelahan setelah seharian berlari kesana-kemari di ruang UGD hingga mendapat peringatan berkali-kali tak membuatnya jengah.

Aku tersenyum, "Ayo tidur".

Hendak aku bangun dari tempat tidur untuk menutup laptop dan meletakannya di meja samping kasur, Freyana tidak mau melepaskan rengkuhannya. Dadaku berdegup kencang saat itu juga. Ia suka sekali membuatku salah tingkah sendirian.

"Laptopnya nanti kena kepala kalo disini"

"Bentar, aku sedang mengisi energi"

"Freyana?"

"Aku cuma mau peluk bentar"

Semakin erat, malah semakin membuatku melemah. Aku terpaksa membiarkannya tenggelam dalam selimut yang tebal dengan aroma yang di penuhi oleh sentuhan kulit kami.

Tampak aku melihat kedua kantung matanya yang menghitam dan raut muka lelahnya yang tak dapat di bendung lagi. Dia wanita yang sangat kuat. Berhasil menyembunyikan capai dan kesahnya di hadapanku dan orang lain. Entah mengapa, melihatnya begini selalu membuatku ingin membuatnya nyaman setiap hari. Senyum manis dan anggukan yang ia selalu berikan kepadaku membuatku puas telah membahagiakannya.

"Aku yang taruh sini", tiba-tiba ia terbangun dan mengambil laptop lalu meletakannya ke atas meja. Tanpa mengatakan apapun ia kembali tidur dan membelakangi tubuhku.

"Hm..?"

Aku bingung campur kesal, kenapa ia tiba-tiba mencuekiku setelah menahanku untuk tidak beranjak dari tempat tidur. Dengan amarah yang aku pendam, segera aku menghentakan selimut hingga menutupi leherku dan ikut membalikan badan memunggungi dirinya.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar tawa kecil dari belakang kemudian datang tangan yang melingkar di perutku.

"Cie kesel"

Ejeknya membuatku tambah kesal. Aku melenguh malas dan tak mengindahkan pelukannya. Ia menarik tubuhku untuk lebih dekat dengannya. Aku yang terbawa oleh tarikan tersebut hanya bisa diam karena kuatnya pelukan dari Freyana. "Aku cape, Piyo. Mau istirahat kaya gini yang lama".

Suaranya yang melemah menjadi sangat dekat karena tepat di belakang telingaku. Memerah seketika, aku hanya diam.

Berusaha merespon tapi aku terlalu malu untuk membalasnya. Aku hanya mengelus punggung telapak tangannya yang berada di perutku.

"Jahil sih"

"Kamu bau ayam soalnya"

"Kok gitu?!"

"Hehe"

Bersambung...

FREYANADonde viven las historias. Descúbrelo ahora