Chapter 16. Bali

421 54 3
                                    

Freya menenteng koper berwarna merah dan memasukkannya ke dalam mobil kemudian menuju halte bus kota untuk menjemput seseorang. Bajunya yang rapih, parfum yang semerbak, serta rambutnya yang tertata dengan kuncir kuda andalannya, telah siap untuk menemui sang pujaan hati. Hari ini adalah hari yang sangat ia tunggu-tunggu sedari lama. Tentu saja, berlibur ke Bali bersama Fiony.

Karena Fiony habis pulang ke kota asal untuk berlibur bersama keluarganya, mau tidak mau mereka bertemu di halte pada hari H.

Tiket sudah di pesan, penginapan sudah di urus semua oleh Freya. Kini mereka tinggal menuju bandara bersama untuk terbang ke Bali. Selama perjalanan menjemput Fiony, gadis berkacamata itu sedikit khawatir dengan macetnya jalan raya kota. Akan sedikit menimbulkan keterlambatan untuk sampai. Namun, itu tidak mempengaruhi keberangkatan pesawat mereka. Jadwal terbangnya ialah pukul 15.00 sore, sedangkan Freya berangkat cukup pagi untuk menghindari macet.

"Huh, semoga tidak ada kendala cuaca"

Akhir-akhir ini hujan sering mengguyur jalanan kota tanpa mengenal waktu. Hawa dingin tidak menjadi masalah Freya. Ia hanya takut itu mempengaruhi keberangkatannya nanti.

Sesampainya di halte, buru-buru ia menurunkan kaca dari jendela mobilnya.

"Maaf, macet"

"Kamu udah minta maaf 3x di telepon"

Freya terkekeh, "Hehe"

Fiony segera beranjak masuk ke dalam mobil agar tidak memperlambat perjalanan mereka menuju bandara.

"Udah sarapan, 'kan?", tanya perempuan dengan pakaian gaun berwarna putih yang di lapisi jaket denim.

"Aku beli onigiri tadi di minimarket. Sisa dua kalo kamu mau"

Fiony menggeleng sambil tersenyum. Tak sengaja ia melihat cup kopi yang berembun di samping setir mobil Freya. Gadis yang sedang mengendarai mobil tersebut menyadarinya.

"Takut ngantuk di jalan. Gak sempat tidur tadi jam 4 pagi"

"Aku gak bilang apa-apa???", Fiony menggembungkan pipinya.

"Jaga-jaga kalo kamu ngomel"

¤¤¤¤¤

Kami berhenti di tempat parkir yang sudah disediakan. Rekan kerja Freyana akan mengangkut mobil ini pulang. Kebetulan temannya bekerja di bandara ini, meski mereka harus berbincang agak lama dan membuatku mati gaya menunggu mereka bercengkrama.

Aku hanya scroll chat menunggu balasan dari Muthe dan kak Indah yang akan berpartisipasi di liburan kami kali ini. Sudah sejam lamanya mereka mengabarkan jika telah berada di jalan menuju bandara.

Aku yang bosan itu izin kepada Freyana untuk mencari booth penjual minuman untuk melegakan dahagaku. Saat aku sedang mengantri beli, Muthe meneleponku dan menanyakan posisiku. Untunglah aku masih berada dekat dengan pintu masuk bandara, sehingga memudahkan orang untuk mencari nantinya.

Tak lama, aku mendengar suara seseorang memanggilku.

"Kak Fiony"

Aku menoleh dan tersenyum, "Muthe. Kamu ma-- astaga! Kenapa anak itu ikut juga?".

Aku sungguh kaget melihat Jessi yang sudah berada di belakang Muthe sedang menarik ujung bibirnya ke arahku. Sekali lagi, dengan polosnya dan merasa tak berdosa ia malah memilih menyibukkan diri untuk menata barang bawaannya. Aku bisa melihat bahwa mereka hanya membawa satu koper. Pikiranku mulai melambung jauh. Tidak mungkin jika pakaian mereka berdua ada pada satu koper seperti itu.

"Aku sudah bilang Dokter Freya", jelas Muthe.

Jujur aku sedikit gugup dengan Jessi. Persoalan Muthe yang tahu tentang rahasiaku dan Freyana, membuatku merasa tidak mampu bersosialisasi dengan baik dengan teman dekatku.

"Kamu parah banget Fio. Kalian mau liburan gak ajak-ajak. Coba kalo Muthe gak kasih tau"

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal itu. Sedikit merasa tidak enak, namun juga bingung sekaligus khawatir dengan perjalanan kami setelah ini menuju Bali. Setelah mengambil pesanan, kami berjalan menemui Freyana yang sepertinya sudah selesai mengobrol dengan temannya tersebut. Aku menyodorkan perempuan itu minuman yang sebelumnya sudah ku beli.

Sambil menyesap minumannya, Freyana mengajak kami untuk menuju ruang tunggu dekat dengan tempat Check - In.

"Nerbener ya Fre. Mau ke bali ga ngomong", celetuk Jessi yang sepertinya masih merasa tidak adil.

"Karena kemarin masih rencana. Aslinya mah yang mau ke Bali si Adel. Dia mau di tugasin kesana"

Aku tau kalau jawaban itu aslinya adalah alibi. Namun, berita soal pemindahan tugas Dokter Adel membuatku sedikit penasaran. Beberapa bulan terakhir, aku jadi sedikit sering mengobrol dengan dokter spesialis itu. Ia tidak hanya pandai, namun juga pintar sekali merayu. Aku menghargai sikap baiknya yang menawariku untuk periksa tanpa memungut biaya. Kapan lagi check-up mata gratis dan full pelayanan lagi (hehe).

"Kalian gak bawa apa-apa?"

Muthe bertanya kepada kami.

"Kami bawa koper. Untuk keperluan lain bisa beli saat sudah sampai di tempat penginapan nanti"

Yah, sebetulnya itu kebiasaan kami. Entah aku atau Freyana yang dinas, jarang sekali membawa barang yang banyak dan membebani. Selain meringankan bawaan, juga lebih mudah begini. Jika butuh tinggal beli apa yang di butuhkan.

"Standar orang elite beda ya, Jess"

Muthe membuat kami tertawa dengan obrolan ringan sembari menunggu waktu berjalan hingga sore hari mendatang.

Aku takut kak Indah batal ikut. Sebelumnya ia tidak ada libur akhir tahun karena tidak ada laboran pengganti di rumah sakit. Karena sebetulnya, aku rindu menghabiskan waktu bersamanya seperti dulu semasa kuliah. Pada awalnya, aku memang hanya menginginkan liburan sederhana sambil sedikit reuni kecil-kecilan. Tak di sangka akan menjadi seramai ini.

"Maaf ya aku telaaat"

Suara lembut itu menghampiri kami yang sedang membicarakan pekerjaan secara singkat tadi. Kak Indah datang sambil menjinjing kopernya dan melambaikan tangan ke arah kami. Yang membuatku salah fokus, adalah pria berjas rapih khas sekali seperti orang berderajat tinggi berada di belakangnya. Menatap kami tanpa berkedip sekali pun.

"Aman kak, belum check-in kita", ujarku masih melirik pria itu.

"Ah, begitu. Oh iya, maaf ya kalau kalian jadi salah fokus. Ini Pak Oniel, putra direktur rumah sakit kita. Dia cuma mau berangkat bareng aja, katanya kebetulan ada perlu di Bali"

Hmm hehe, kalo pun ada perlu bisa gitu ya jam terbangnya barengan. Hihi. Kak Indah ini kalo udah panik plus gugup, pasti seribu kalimat akan keluar untuk memberi alasan. Meski begitu, kami masih takjub bahwa yang di bawanya adalah anak direktur. Betul. Kalian tidak salah dengar. Anak direktur rumah sakit. Dia sangat tinggi, melebihiku sudah pasti. Wajahnya tidaklah sangat mirip dengan ayahnya, namun beberapa hal bisa membuat kami notice jika ia adalah anak direktur.

"Kita bertemu kembali, Pak Oniel. Saya Freya, dokter umum di rumah sakit".

Pak Oniel dengan nama lengkapnya Cornelio Verniso itu tersenyum dan menerima salam ramah Freyana.

"Yah, aku tak menyangka akan mengenali beberapa dari kalian. Terutama sekretaris direktur kita", ia mengerlingkan matanya pada Muthe.

Baik. Disini yang tidak di kenal hanyalah aku dan Jessi. Kami saling menggenggam tangan dan memberi senyum yang rapuh.

Bersambung...

FREYANAWhere stories live. Discover now