Chapter 20. Salah Paham

591 64 7
                                    

Freya menarik paksa smartphone yang sedang di genggam oleh gadis dengan rambut gelombangnya yang cetar tersebut. Ashel terkekeh menyadari bahwa Freya sedikit sadar akan kelakuannya. Meskipun kepalanya terasa berputar-putar, Freya masih dapat mengendalikan dirinya. Ia mematikan ponsel tersebut dan duduk kembali ke sofa. Ashel bergerak sangat mulus kemudian menempelkan dagunya ke pundak Freya.

"Udah lama kita ga kaya gini. Kamu gak kangen, Fre?", ungkap Ashel sambil memanyunkan bibirnya.

Freya mendorong tubuh perempuan yang kini sedang memeluknya itu untuk menjauh. Freya tak bisa membuka mata karena masih sedikit pusing dari pengaruh alkohol.

"Jangan kelewatan ya Chel, inget kita gak lagi di Tangerang"

Adel datang dan menarik tubuh Ashel tanpa beban. Tak bisa dipungkiri, badan dokter spesialis mata tersebut merupakan satu-satunya yang terkuat diantara mereka. Adel memangku Ashel sambil sedikit menggodanya. Mereka berdua saling memandang mata masing-masing dan tertawa ria bersama. Freya melenguh sambil memegang kepalanya dan mencoba mengambil botol yang ada di atas meja.

Freya meracau sembari sedikit terbata-bata, "Sialan lo, Del. N-Nipu gue ya lo? Kenapa isinya kaya tinggi banget?"

"Nggak, kok. Lo-nya aja yang udah lama gak minum", Ejek Adel sambil mencibirkan mulutnya di depan wajah Ashel.

Ashel yang mendapati ekspresi kesal wanita yang sedang memangkunya itu, spontan berdiri dan meraih botol yang ada di genggaman Freya.

"Parah banget. Freya udah gak kaya dulu, lemah"

Freya mendongak sambil menyipitkan matanya, "Jangan samain gue dengan kalian".

Ashel tertawa lepas mendengar racauan dari gadis yang terkenal sebagai dokter hebat dan jenius di kalangan rumah sakit tersebut. Kini, Freya terlihat sangat berantakan. Rambutnya acak-acakan, kemejanya terpasang tidak beraturan, jelas sekali kalau ia baru saja menghabiskan waktu bersama dengan Adel dan Ashel di ruangan itu. Lebih tepatnya, di tempat karaoke. Karena, benar adanya jika hal seperti ini tidak pernah tersentuh lagi oleh Freya. Karena suatu alasan.

Adel menenggak sekali lagi minuman yang memabukkan tersebut, kemudian memperhatikan Freya dengan seksama. Entah kenapa ia merasa telah berhasil melakukan sesuatu meski tidak bertujuan seperti itu.

"Apa harus gue undang yang lainnya juga?"

*SKIP*

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Freya tertatih-tatih berjalan menuju apartemennya setelah Adel mengantarnya pulang dari tempat karaoke. Freya yang masih sedikit sempoyongan itu, berjalan menaiki lift dan menuju kamar dengan segera.

Sesampainya disana, ia awalnya bertaruh jika pintu kamar akan di kunci oleh Fiony karena kesalahpahaman yang di rasa belum terjelaskan olehnya. Ponsel kekasihnya tidak bisa di hubungi kembali, sudah pasti sengaja di nonaktifkan. Tapi, sangat mengejutkan ternyata pintu kamar tidak di kunci. Freya cepat-cepat mengganti kemejanya dengan baju tidur dan menghempaskan diri ke kasur. Fiony memunggunginya, ia berusaha untuk membujuk gadis itu.

"Piyo, marah ya?"

Tidak ada jawaban dari Fiony. Freya bisa melihat air mata yang mengering di pipi gadis tersebut. Terasa kasar dan menyakitkan. Freya menghela nafas sambil mengacak-acak rambutnya. Ia pasti sudah sangat gila telah mengiyakan ajakan Adel tentang karaoke di sore hari.

"Piyo, biarin aku jelasin semuanya ke kamu", ucap Freya sambil memeluk erat Fiony dari belakang.

Namun, tidak di sangka. Fiony melepas jemari perempuan yang sudah tidak berkacamata itu, sehingga rengkuhannya pun melemah. Fiony menjauhkan tubuhnya dari Freya.

"Kamu bau alkohol, aku jadi gak bisa tidur nanti"

Responnya yang membuat Freya sedikit tersentak dan bingung harus melakukan apa setelah ini.

Fiony terlihat sangat marah kepadanya hingga tak mau menatap matanya. Tetapi, agak mencurigakan karena Fiony tidak langsung memarahinya dengan keras tentang perilakunya tersebut. Minum alkohol adalah kebiasaan buruk Freya dari jaman sekolah menengah atas, dan harusnya Fiony tidak tau soal hal itu. Karena, Freya berhenti minum saat masuk kuliah. Dimana mereka baru kenal dan berpacaran. Kesimpulannya, Fiony seperti tidak mempermasalahkan kelakuannya yang salah.

"Piyo, denger dulu. Aku mau jelasin sesuatu"

Tetapi, tidak ada jawaban dan simpati dari gadis yang habis menangis tersebut. Freya merasa sangat menyesal karena telah membohongi Fiony. Ia sengaja tidak jujur jika ia pergi bersama Adel dan Ashel karena takut gadisnya khawatir. Ada hal yang sangat rumit dijelaskan kepada Fiony sehingga membuat Freya melakukan hal-hal semacam itu. Selama mereka menjalin hubungan, Freya tidak pernah membohongi Fiony, bahkan hal sekecil apapun. Dan sekarang, ia merasa gugup karena merasa sepertinya setelah ini akan muncul sesuatu yang tidak terduga di antara mereka akibat kebohongannya tersebut.

¤¤¤¤¤

Aku bangun pagi-pagi sekali untuk bergegas menuju rumah sakit dengan sangat awal. Tanpa membangunkan Freyana, aku lebih memilih sibuk sendiri dan mengurus kebutuhanku dan membiarkannya tetap terlelap di tidurnya. Kejadian kemarin membuatku tidak ingin membicarakan apapun tentang masalah itu. Persetan dengan sebutan bahwa aku memilih lari dari masalah di banding mendengarkannya menjelaskan alasan.

Entahlah. Rasanya sakit melihatnya bertingkah di luar kebiasaan begitu. Namun, pikiranku yang konyol sempat mengatakan, "at least.. aku juga bisa di ajak mabuk. kenapa harus sama wanita lain". Oke, itu sangat unexpected thought dariku yang sepertinya muncul karena efek kecewa.

Baru saja aku menghabiskan sarapanku, suara langkah kaki dari kamar menuju ruang tamu menarik perhatianku. Freya dengan muka bantalnya terlihat sangat terkejut denganku yang sudah siap dan rapih untuk berangkat kerja.

"Kenapa gak bangunin aku? Mau nyetir sendiri?", tanya Freyana dengan raut wajah sedikit kesal.

"Aku di jemput Dokter Adel"

Aku membalasnya singkat. Sesudah membereskan bekas sarapanku, aku mengambil tas yang letaknya di kamar, melewatinya tentu saja. Ketika aku keluar dari kamar, Freyana mencegatku dengan menarik pergelangan tanganku cukup kuat. Aku bisa melihatnya menahan amarah setelah mendengar jawabanku.

"Jangan konyol, Piyo. Aku gak bakalan izinin kamu berangkat bareng dia"

Tegurnya membuatku ingin tertawa saat itu juga. Apa ia lupa ya semalam dia kemana? Rasanya ingin mengumpat, namun aku terlalu malas untuk berdebat di pagi hari. Jadi, aku menarik paksa tanganku dan berkacak pinggang di depannya.

Aku menatapnya tajam, "Menurutmu aja".

Aku meninggalkan Freyana dan tidak lagi membahas apapun. Marah, aku sangat marah. Tetapi, aku jelek sekali untuk mengekspresikan perasaanku. Bahkan, ia masih sempat menahanku untuk tidak pergi dengan orang lain di saat dia tidak sadar bahwa ia bersama wanita lain semalam. Dan orang itu adalah Ashel. Aku yakin suara yang ada di telepon kemarin adalah Ashel. Suara Dokter Adel lebih berat, maka tidak mungkin jika yang memegang ponselnya adalah Dokter Adel.

"Mood masih jelek, 'kah?", Dokter Adel menyapaku sesaat sampai di parkiran dekat lobi.

Meskipun begitu, aku merasa Dokter Adel cukup baik terhadapku.

Bersambung...

FREYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang