Chapter 8. Orang Penting

616 60 8
                                    

Freya mengangguk kecil tanpa memberikan tatapan atau bahkan melirik lawan bicaranya pun tidak. Ashel yang hanya mengantarkan laporan pemantauan pasien itu sangat berharap dokter di depannya mengatakan sesuatu sebelum ia pergi. Namun, tak satu kata pun keluar atau bahkan menanyakan keberadaan Ashel 'pun di hiraukannya. Gadis itu melengos pergi begitu saja dari ruang laboraturium.

Ya, hari ini Freya berada di laboraturium menemani Indah sang laborat yang sedang menjalankan tugasnya. Freya tidak berada di jam kerja sekarang, dan ia tau kalau pacarnya tengah ada dinas di luar kota, sehingga hal tersebut membuatnya merasa kesepian. Antara kesal karena sang direktur selalu menunjuk Fiony menjadi asisten berpergiannya, ia juga gabut sendirian. Pasalnya, Jessi masih sibuk di ruang pendaftaran seperti biasanya.

Indah melihat sekilas raut muka Freya yang bosan serta tak bersemangat. Ia terkekeh mendapati itu, tak lama ia memberi secarik brosur yang menarik perhatian dokter galau tersebut.

"Bali?"

Indah seraya mengangguk, "Ya, kata Fiony kalian mau berlibur kesini". Hening sejenak sebelum ia melanjutkan ucapannya kembali.

"Aku dapat itu dari anak direktur", ucapnya sembari melakukan aktivitasnya kembali.

Freya mulai mengamati brosur yang di berikan Indah dengan seksama. Villa, tempat rekreasi, dan juga secarik tiket eklusif yang menyelip diantara kertas tebal tersebut. Freya mengerutkan dahinya mencoba berpikir tentang tiket yang di pegangnya.

"Kak Indah lagi deketin anak direktur?"

Sontak hal itu membuat wanita berjas ikonik tersebut tak sengaja menjatuhkan tabung reaksi yang membuat suara lumayan bising. Freya semakin menaikkan kedua alisnya.

"Sejak kapan kak Indah deketin anak direktur deh", Freya sungguh terkejut merasa pernyataannya benar.

"Heh, bicaranya hati-hati ya. Gak ada aku deketin anak orang penting"

"Terus ini apa?"

Freya menunjukkan selembar tiket yang menjadikan ia lebih yakin dengan ungkapan sebelumnya. Indah menoleh dan melihat benda itu di layang-layangkan oleh Freya. Ia menghela nafas menyadarinya, sambil memejamkan mata sebentar kemudian ia memberikan sebuah senyuman terpaksa.

"Dia mengajakku kesana memang, tapi aku menolaknya. Cuma, dia ingin aku bawa brosur itu tanpa tau jika tiketnya masih disana"

Freya hanya ber-oh-ria saja mendengar penjelasan tersebut.

"Huh, untung gak pecah. Padahal meja tua ini terasa kasar dan tidak rata"

"Hehe. Maaf ya kak, habisnya aku kaget. Perasaan kak Indah masih pacaran sama Jesslyn"

"Sssttt perhatikan bicaramu, Freya. Ini bukan apartemen kalian yang bebas manusia berkeliaran"

"Loh, kok tau aku udah di apart?"

"Fiony yang cerita", Indah mengeluh menanggapi sang dokter yang tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dulu Freya adalah anak didiknya.

Freya mengenyam bibir seperti memikirkan sesuatu. Indah membereskan beberapa cairan yang tumpah di atas bukunya.

"Jadi kalian memang sangat dekat ya"

Celetuk Freya mulai memperhatikan brosurnya kembali. Ia tertarik dengan harga diskon yang lumayan oke di banding tempat yang ia dan Fiony rencanakan sebelumnya. Laboran itu melirik Freya, ia kebingungan dengan pertanyaannya.

"Siapa?"

"Kak Indah"

"Sama? Anak direktur?"

"Fiony, astaga. Anak direktur mulu. Jangan-jangan beneran ada sesuatu nih"

Indah memberikan tatapan mematikannya sekarang, Freya terkekeh melihatnya. Alih-alih takut jika mantan dosennya itu marah, yah sebenarnya Indah tak semengerikan yang terlihat. Marah 'pun paling seram adalah saat ia mendiami seseorang.

¤¤¤¤¤

"Fio, kamu baik-baik saja?"

Ah, aku melamun lagi. Jujur, aku sungguh kelelahan hari ini. Dan direktur rumah sakit menyebalkan ini tidak berhenti mengajakku berjalan jauh entah tau ada dimana aku sekarang.

"M-Maaf pak, ada yang perlu saya bantu?", ujarku mencoba untuk kembali sadar ke kenyataan. Aku melihat ekspresi wajah pria tua itu seperti menyimpan sesuatu tentang perilaku diriku hari ini.

Aku khawatir ia akan memecatku, sepertinya ia tidak suka dengan performaku kali ini. Tak selang beberapa lama, seseorang datang dan membuat suasana menjadi berubah. Aku melihat seorang laki-laki berkacamata yang sebelumnya pernah ku lihat. Aku seperti mengenalinya. Tapi, dimana?

"Sepertinya asisten anda kelelahan, bagaimana kalau kita istirahat sejenak di kafe ayah saya?"

Wah, orang penting. Tak kusangka orang itu ternyata anak CEO kaya raya seperti di film-film. Tetapi, wajahnya sangat tidak asing. Dan aku masih berusaha mengingat siapa lelaki ini sebenarnya.

"Begitukah, Fio? Sepertinya aku terlalu memaksamu bekerja ya hari ini"

"Ah, tidak pak. Saya baik-baik saja, maafkan saya soal tadi pak", aku membungkuk memberi hormat.

Orang itu masih memperhatikanku dengan setia, ada yang dipikirkannya pasti. Entah mengapa, tatapan itu mengingatkanku akan sesuatu. Namun, aku sungguh tak tau momen apa itu.

"Mari, kak Fiony"

Aku tersentak kaget saat ia memanggilku 'kak'. OH! Dia si koas didikan Freyana. Astaga, pantas saja aku pernah melihat dirinya sebelumnya. Wah, aku sungguh tak menyangka bahwa ia adalah anak CEO dari tempat mewah dan sebesar ini. Freyana jika mengetahui hal ini akan sama bungkamnya sepertiku. Untung saja dia tak melakukan hal aneh-aneh seperti yang kubayangkan. Huhu, aku terlalu berburuk sangka tentang pekerjaannya.

"Kak Fiony ingat aku, 'kan?"

Ketika kami berjalan menuju lift, lelaki itu mengajakku bicara kembali. Aku menoleh canggung mendengarnya memanggilku seperti itu.

"A-Anda tak seharusnya memanggil saya seperti itu"

"Sepertinya anda harus mulai membiasakan diri tidak terlalu formal pada asisten dan rekan kerja lainnya, pak direktur"

Perkataannya barusan membuatku kebingungan sekaligus takut. Apa yang sebenarnya ia lakukan? Kenapa seberani itu dengan sang Direktur. Aku merasa sangat tidak aman sekarang.

Direktur rumah sakit itu tertawa renyah mendengar pernyataan dari pria berkacamata di sebelahku. Kami menaiki lift dan berencana turun ke lantai dua. Di dalam ruangan yang sempit, keheningan tercipta lagi.

"Fiony adalah anak yang baik. Dia sangat konsisten dengan pekerjaannya. Maka dari itu ia terlihat sangat sopan", Pak Direktur membuatku salah tingkah. Jangan hujat aku karena aku suka mengeluh jika mendapat tugas darinya, plis T_T

Direktur melanjutkan ucapannya, "Ngomong-ngomong, sepertinya kalian saling kenal".

Aku masih terdiam tak menyahut sedikitpun perbincangan mereka. Namun, sedikit ku lihat gestur tubuh dari anak CEO itu menyetujui pendapat sang direktur. Hal tersebut membuatku ingin menepuk jidat sekarang.

"Wow, sangat kebetulan. Kita jadi lebih mudah untuk berbisnis"

Ya, sudah pasti itu menjadi peluang besar untuk Direktur Rumah Sakit yang gila kerja tersebut. Aku tak berpikir negatif mengenai dirinya lho ya, plis anggaplah ini sebagai keluhan para pekerja suruhan seperti biasanya :)

Aku mendengar anak dari CEO itu ikut tertawa mengikuti alur perbincangan para orang-orang kaya. Kami sudah sampai di lantai dua dan bergegas menuju kafe yang ingin di tuju.

Bersambung...

FREYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang