Chapter 22. Sesuatu Terbuka

473 60 9
                                    

"Kita bahas ini sepulang kerja", perempuan dengan gelungan rambutnya yang khas resepsionis itu melepas perlahan genggaman tangan dari seseorang.

Orang tersebut adalah sekretaris cantik direktur yang sepertinya akan mengambil cuti karena peralihan pimpinan rumah sakit, "Apasih, ini cuma hal kecil. Aku cuma minta sehari. Apa salahnya cuma menginap di rumahmu?".

Jessi yang sedari tadi di hadang oleh Muthe tersebut, akhirnya menatap penuh kedua mata Muthe kemudian menepuk kedua bahu gadis itu dengan serius.

"Yang menurut kamu itu kecil, adalah hal besar buatku. Aku punya adik perempuan di rumah, dan-- aku gak bisa jelasin selebihnya soal sikap dia yang gak bisa nerima orang asing dengan cuma-cuma"

"Aku bukan orang asing?!", Muthe menyela.

"Muthe, ngerti dikit bisa gak sih? Kamu udah bukan anak kecil lagi. Toh urusan seperti itu bisa dilakukan tanpa harus melibatkan keluargaku. Aku harus balik ke mejaku"

Kali ini Jessi melepas paksa genggaman tangan Muthe yang awalnya menguat di lengan gadis resepsionis tersebut, kini melemah seiring kepergian sosoknya. Muthe menangis saat itu juga. Sore hari yang malang baginya. Angin pun berusaha menghapus air matanya. Fiony yang sedari tadi menunggu suasana sedikit renggang, akhirnya berjalan menemui Muthe dan memeluknya. Muthe menangis sesenggukan disana. Entah permasalahan apa yang sedang di alaminya, tetapi sepertinya Fiony tau inti permasalahannya.

"Shh.. kita ke parkiran aja ya yang sepi? biar kamu bisa nangis sepuasnya", tuntun Fiony yang hanya di balas anggukan oleh Muthe itu.

Fiony bisa melihat sisi Muthe sebagai gadis kecil yang rapuh hari ini. Melihatnya menangis dengan puas membuatnya sedikit iri. Ia ingin sekali merasakan tangisan yang menyakitkan itu. Alih-alih agar lega, juga membantunya untuk berhenti merasa terpuruk seharian.

Beberapa menit setelahnya, Muthe mulai mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Ia berterimakasih kepada Fiony yang masih setia menemaninya meluapkan emosinya.

"Kak, aku gak tau apa salahku. Emang aku gak sepenting itu ya? Di banding adiknya.."

Fiony memegang punggung tangan Muthe, "Apa yang udah terjadi? Ceritakan baik-baik".

Saat ingin mengucapkan sepatah kata, kelopak mata Muthe mulai berlinang air mata kembali. Sepertinya ia merasa sangat sedih. Baru kali ini Fiony ikut merasakan sakit seseorang hanya dengan lewat sorot matanya saja.

"Ini salahku sih. Aku maksa Jessi buat nginep sehari di rumahnya. Aku bingung, kak. Kadang dia seakan ngode aku buat terus ngerespon dia, tapi kadang dia berperilaku seolah-olah semua perlakuan itu gak berarti spesial dan khusus kepadaku"

Mendengar curhatan panjang nan lebar itu, Fiony jadi menemukan fakta bahwa Jessi sepertinya benar-benar tidak mengetahui hubungannya dengan Freya. Jessi memandang pertemanan mereka hanya lebih intim dari biasanya, dan ia tidak mempermasalahkan hal itu. Dan bisa disimpulkan bahwa ketertarikan Jessi kepada Muthe dari awal sepertinya memang sebatas ingin kenal dekat. Ya, walau di akui itu memang bisa sangat membingungkan karena effortnya luar biasa kepada Muthe tempo hari lalu.

"Mungkin kamu harus sedikit mengujinya biar tau niat yang sebenarnya apa. Bertingkah seperti gak ada yang terjadi aja, kalau dia notice berarti memang kalian harus ngobrolin hubungan kalian sedikit serius", Fiony hanya bisa membantunya dengan kalimat penenang. Ia tidak bisa memberikan solusi yang baik karena posisi Muthe masih sangat awal untuk memulai hubungan.

"Hmm.. kayaknya bener juga"

Muthe menatap ke langit sambil merasakan angin yang mulai terasa lebih dingin karena matahari mulai terbenam. Burung yang melintas diatasnya menyuarakan kepulangannya di angkasa. Membentuk keheningan yang tercipta untuk beberapa menit.

FREYANAWhere stories live. Discover now