Chapter 4. Insiden

820 67 6
                                    

Freya meraba-raba meja di sebelah kasurnya untuk mencari remot AC. Masih dengan mata terpejam ia menggapai remot lalu mengarahkannya ke AC untuk mematikannya. Suhu kamar kini sangat dingin di banding semalam. Hujan yang belum berhenti sedari kemarin membuatnya khawatir dengan cuaca hari ini.

Cahaya yang terhalang gorden jendela kamar apartemen membuatnya berusaha membuka mata. Pagi sudah menyingsing, ia mengecek jam di handphone. Menunjukkan pukul 06.30 dan Fiony masih terbaring di sampingnya dengan mata tertutup. Sungguh hari yang melelahkan, ya? Dalam hati Freya berbicara sambil mengusap sekilas pucuk rambut perempuan di sebelahnya.

Freya berbisik sebelum beranjak dari kasur, "Morning, pacarku". Kepada Fiony yang hanya menggeliat seakan belum ingin bangun dari tidur indahnya.

Freya berjalan menuju dapur dan langsung menghangatkan ayam sisa semalam. Untunglah perkiraan dia benar bahwa pagi ini akan menjadi super lelah untuk memulai kegiatan.

"Hmm? Tagihan baru?"

Melihat secarik surat di atas meja makan, nampak belum di sentuh siapapun kecuali Fiony yang meletakannya dan kelupaan untuk memberitahu. Tagihan air yang tidak banyak serta tak menghabiskan gaji seperti listrik di bilik yang lumayan luas itu.

"Gak ku biarin dia bayar tagihan air di bulan ini sendirian lagi", gerutu Freya lalu melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam kantong celana pendeknya.

Begitulah aktivitas mereka setiap pagi, meski biasanya Fiony yang akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Namun, kemarin lumayan ramai pasien berkunjung. Menjaga di bagian pendataan betul-betul menguras tenaga dan kesabaran, membuat gadis itu masih terlelap di pagi yang sejuk ini.

"Kok ga bangunin aku sih"

Dan tuan putri akhirnya bangun.

"Baru mau aku bangunin", Freya beralasan. Ia masih sibuk mengurus ayamnya yang sudah siap dari air fryer dan memindahkannya ke piring.

"Baru mau bangunin tapi udah pegang sarapan"

Fiony memanyunkan mulutnya melihat perempuan di depannya itu hanya terkekeh melihatnya mengeluh. Tanpa basa basi, ia mengambil dua cangkir porselein. Masing-masing di beri tiga sendok bubuk coklat yang kemudian di kucuri air panas lewat dispenser satu persatu. Coklat panas kesukaan Freya setiap pagi telah siap. Freya tersenyum mendapati Fiony menyajikan minuman di atas meja makan.

"Thank u, cutie"

¤¤¤¤¤

3 hari berlalu..

Pagi ini aku melihat Jessi membawa banyak sekali barang dari luar di letakkan di bawah meja resepsionis. Ekspresinya yang serius membuatku kebingungan menonton kegiatannya yang menyibukkan diri.

"Gula jawa? Jes, yakali bawa gula jawa ke RS"

Aku menepuk jidat melihat kelakuan absurdnya, tiba-tiba dia berdiri. Sebelumnya jongkok karena habis menata barang bawaannya yang berantakan, "Titipan Muthe, aku bawain se-kilo".

Mataku membelalak mendengarnya. Seketika aku meringis menyadarinya. Jessi yang baik malahan terlihat sedang naksir dengan sekretaris direktur.

"Ngapain aja kemarin?"

"Maksudnya? Kok gitu pertanyaannya?"

"Astaga, aku tanya kegiatan dinasnya"

"Kirain aku sama Muthe-nya"

Aku mengerutkan dahi sambil menggeleng-gelengkan kepala menanggapinya. Jessi yang terkenal pendiam, kalem dan ramah senyum ini akan terlihat berbeda jika berhadapan dengan Muthe. Entah, apa yang membuatnya sangat effort untuk mendekati gadis tersebut. Atau jangan-jangan.. suka yang di maksud?

"Kak Fiony bukan?"

Lelaki berkacamata datang menghampiriku, ah dia koas baru. Anak didik Freyana setahuku karena sering melihatnya bertugas bersama.

Aku mengangguk memberikan senyuman, "Ya? Ada apa ya?". Jawabku memandanginya, ia memalingkan wajah sembari menarik nafas dalam-dalam.

"Dokter Freya- ah, maksud saya di cari dokter Freya. Eh! Di minta bertemu, m--maaf kak"

Dia sangat gugup, apa Freyana habis memarahinya? Wajahnya terlihat takut dan sangat memerah.

"Tidak apa-apa, hei? Kamu gapapa?", tanyaku khawatir sebab raut muka lelah serta memucatnya membuatku iba.

Jika benar ini ulah Freyana, aku akan memberinya pelajaran. Masalah apa yang dilakukannya sampai membuat anak orang pucat pasi begini. Meski begitu, aku berpikir kembali bahwa hanya dokter dan perawat yang tahu menahu mengenai hal seperti itu. Aku hanya tidak tega melihat koas-koas jaman sekarang banyak yang mencoba bertahan sendirian.

"Saya pergi dulu, kak"

Ia pergi ke arah ruang istirahat. Yah, menurutku lebih baik begitu. Mungkin benar dia sedang banyak pikiran.

"Jadi? Aku di tinggal lagi ni?", celetuk Jessi membuatku tergugah dari lamunan.

"Sebentar ajaa, aku bawain kopi deh"

Jessi mengangkat alisnya bersamaan dengan ekspresi jahil, "Oke setuju".

Aku menghela nafas lega melihatnya tidak memberontak lagi seperti sebelumnya. Aku berjalan menuju ruangan dimana gadis yang di maksud koas muda tadi. Tidak jauh, namun memakan banyak waktu. Sehingga, Jessi sering kesal jika ku tinggal sendirian di bagian penerima pasien. Ku ketuk pintu dengan sopan, lalu membuka pintu dengan mendorong gagangnya.

Belum sempat ia bicara, aku sudah memotongnya duluan.

"Kamu marahin koas baru lagi?"

Freyana mengernyitkan dahi keheranan. Aku mendekat ke arahnya dengan memutari meja kerjanya sambil berkacak pinggang menunggu jawaban.

"Aku gak marahin siapa-siapa, aku cuma mau peluk", tangannya meraih lenganku yang tadinya berada di pinggang kini berada di belakang punggungnya.

"Kata siapa aku marah-marah?"

"Tadi koas yang kasih tau aku mukanya kasian banget"

"Hm? Kasian? Emang gitu kali mukanya. Kok kamu gak sopan sih"

"Ih engga, orang mukanya kayak takut gitu ketemu aku"

Freyana terdiam sejenak, masih dengan tangannya yang melingkar di punggungku. Aku tak tau kenapa dia tidak menjawabku dan hanya terdengar deheman panjang darinya yang tidak aku mengerti.

"Aku--"

"Permisi, dokter Freya. Ini data yang dokter tadi butuhkan"

Seseorang masuk! Spontan kami berdua langsung saling menjauh dan merapihkan pakaian kami. Aku menelan ludah kaget dan berusaha menjauh sejauh mungkin dari jarak antara aku dengan Freyana.

"Ah, iya.. letakan saja di meja", nada suara Freyana terdengar parau dan panik. Aku tau dia juga tidak expect hal ini akan terjadi di Rumah Sakit.

"Maaf mengganggu perbincangan kalian- tadi saya..", perawat itu merasa terintimidasi dengan tatapan kami. Aku tidak memandanginya terlalu dalam kok, sepertinya..

"Tidak. Kami.. membahas dinas yang akan datang. Seperti yang kamu ketahui, Fiony sering di minta ikut oleh direktur"

"Saya mengerti, maaf dokter. Ada yang di butuhkan lagi?"

"Tidak, Ashel. Terimakasih"

Belum selesai juga, perawat itu menambahkan lagi. "Fio..ny? Mau ikut keluar?", aku reflek menatap Freyana kemudian memalingkannya kembali ke arah perawat bernama Ashel tersebut. Ya Tuhan, apa sebenarnya mau dia? Aku jadi salah tingkah begini.

"Dia masih ada urusan dengan saya"

Kali ini aku merasa Freyana menahan kesalnya kepada sang perawat, Ashel.

"B-Baik, saya duluan dokter.. mm-m Fiony", ia membalikan badan buru-buru dan keluar dari ruangan sesegera mungkin.

Aku menghela nafas takut sambil menahan tubuhku dengan memegangi ujung meja, "Habislah aku".

Bersambung..

FREYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang