Chapter 12. Keberangkatan Dinas

516 61 7
                                    

Fajar menyingsing disertai gerimis hujan bulan Oktober yang dingin. Pagi ini, sepasang kekasih yang sudah menjalin asmara dengan waktu yang lama itu berangkat lebih awal menuju rumah sakit. Freya akan pergi dinas ke luar kota bersama dengan beberapa rekannya dan direktur. Fiony sibuk sekali mengurus koper Freya yang semalaman tidak disentuhnya.

"Sumpah ya, kalo besok-besok kaya gini lagi-- aku gak mau urus deh", omelnya namun masih sambil melipat baju dan meletakkannya dengan rapih di koper.

Pasalnya, sehabis acara besar semalam di rumah sakit, Freya baru mengabari kalau ia akan pergi ke Jogja besoknya. Dan itu membuat Fiony hanya tidur selama 3 jam. Ia kesal, tetapi memakluminya karena kekasihnya itu memang sibuk sehingga mungkin saja ia terlupa untuk memberitahunya.

Freya yang baru saja mandi itu menggosok-gosokan rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Ia meringis sambil menggaruk dagunya yang tak gatal.

"Hehe, maaf Piyo"

Fiony hanya memanyunkan bibirnya, sementara tangannya masih asik berkutat di depan koper. Ia juga sambil mengecek microwave yang digunakannya untuk memanaskan croissant untuk sarapan Freya.

"Nggak masalah kalo dinasnya sehari, ini 5 hari, Fre? Beneran deh. Kamu harusnya kasih tau aku semalem"

"Iya sayang, iya maafin aku ya", Freya memeluk Fiony dari belakang sambil menenggelamkan wajahnya yang lembab di leher gadis yang dicintainya tersebut.

"Aslinya kalo lupa juga gapapa sih. Jadi aku gak usah berangkat", celetuk Freya masih mendekap Fiony.

"Maksudnya?"

"Gak mau pergi. Gak ada kamu"

Fiony menggerutu, "Freyana.. jangan becanda deh"

Namun, hal itu malah membuat perempuan yang belum selesai mengeringkan rambutnya tersebut tambah memeluk perut Fiony lebih erat. Erangannya terdengar lebih jelas di telinga Fiony dengan sangat dekat. Akhirnya gadis yang tadinya di penuhi dengan rasa khawatir dan kalut itu perlahan mulai menghembuskan nafas hangatnya ke udara. Ia tidak bisa keras pada Freya. Bagaimana pun juga, Freya lebih capai di banding dirinya.

"Kenapa manjanya pas aku lagi uring-uringan aja?"

Pancing Fiony untuk mengalihkan pembicaraan soal kerjaan agar Freya lebih nyaman. Freya mendongakkan kepalanya sedikit dan menaruh dagunya di bahu Fiony.

"Kamu kayak udah gak cinta lagi sama aku kalo udah marah tuh"

Fiony sontak terkekeh, "Dih, bisa-bisanya".

Freya ikut tertawa kecil sesaat setelah ia meregangkan pelukannya kemudian duduk di samping perempuannya.

"Apa aku bakal butuh kolor ini?", tanya Freya sambil mengangkat alisnya.

Fiony tertawa jahil setelah Freya menyadari bahwa beberapa barang yang dibawakan oleh Fiony sedikit aneh. Celana pendek khusus tidur bergambar corak macan dengan warna yang mencolok itu di angkat Freya.

Sambil mengerutkan dahi bingung, Freya pun mengetahui bahwa pacarnya ini pasti punya niat iseng untuk mempermalukannya.

¤¤¤¤¤

Mendung hari ini membuatku malas sekali untuk pergi makan siang di jam istirahat. Hanya ingin tidur siang sejenak karena badanku rasanya rontok semua setelah bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan semua barang bawaan Freyana yang akan dinas hari ini. Aku tak habis pikir dengan alasan Freyana yang 'sesantai' itu mengenai pekerjaannya. Atau semua dokter seperti itu ya? Aku tidak tau lebih soal pekerjaan yang akan dilakukannya sih. Cuma, kebanyakan dokumentasi dari hasil kerjanya adalah ia sering menjadi narasumber pada suatu seminar yang sepertinya diadakan oleh orang-orang elit dan kalangannya.

Sampai saat ini aku masih tidak mengerti kenapa ia lebih memilih hidup bersamaku daripada bahagia dengan jalan yang sudah diarahkan oleh orang tuanya. Freyana adalah gadis berbakat yang pintar, rajin, juga serba bisa. Ia sudah terlahir dengan pola hidup yang demikian. Ia anak pertama kesayangan mamanya. Ia sering cerita.

"No, dapetin kamu lebih susah daripada dapetin jabatan profesor"

Dia lawak kali ya??? Ingatan itu muncul setiap saat aku memikirkannya. Dia tidak melanjutkan studinya sebagai spesialis dan hanya berhenti menjadi residen saja. Dia sudah pasti bisa. Aku selama ini memperhatikannya belajar dan berusaha menggapai semua hal indah yang belum tentu orang lain bisa rasakan.

Huh, memikirkannya membuatku rindu padanya. Meski sebenarnya umur kita cukup berjarak, tapi ia adalah sosok yang lebih dewasa daripada aku. Pandangannya soal hidup lebih-lebih-lebih luas.

Di saat aku melamun di ruang resepsionis, tiba-tiba saja perasaan dingin yang menyetrum lewat dan menjalar dari punggung tanganku. "Heh, makan. Malah galau kaya anak ilang".

Ya, siapa lagi kalau bukan Jessi. Ia sengaja menyentuhkan espresso dinginnya agar aku terkejut seperti itu. Dengan helaan nafas yang sedikit berat, aku baru me-notice kalau ada seseorang di belakangnya sedang menatapku dengan tatapan datar.

"Eh", aku sedikit terkejut saat Muthe sang sekretaris ada disini.

"Ayo makan bareng. Muthe ngajakin nih"

Aku melongo pada saat itu juga ke arah Jessi yang malah dengan santainya menyedot es kopi yang ada di tangannya tanpa bersalah sedikit pun.

"Ayo kak", tawar Muthe lagi untuk memastikan kesediaanku.

Aku hanya manggut-manggut saja karena perasaan canggung ini tetap tidak bisa hilang. Apalagi Jessi yang menyebalkan ini malah sangat asyik berbincang ria dengan orang yang bisa disebut adik iparku itu. Mereka tertawa bersama dan ini hal yang belum pernah aku lihat tentang Muthe sebelumnya. Setiap bertemu dengannya, di acara apapun ia selalu diam dan memasang wajah dingin seolah tak mau di ganggu.

Kali ini aku melihat keceriaan dan kebebasan yang hangat dari tarikan bibirnya lebar. Ia terdengar sangat lembut dan bahagia di dekat Jessi.

"Tuh di tanya, kok diem mulu si? Sakit kah?"

Aku tidak sadar kalau mereka sedang berusaha memasukanku dalam percakapan mereka. Lebih tepatnya aku tidak mendengarkan pertanyaan mereka, hehe.

"Hah apa", ungkapku seperti orang linglung.

"Kata Muthe kenapa mukamu lemah, letih, lesu begitu. Tapi wajar sih, 'The. Dia selalu gini kalo lagi di tinggal Freya"

Celetuk Jessi yang lagi-lagi merasa tak berdosa itu. Aku membelalakan mataku dan menatapnya dengan tajam saat itu juga.

Muthe memiringkan kepalanya dam bertanya, "Freya? Dokter Freya?"

"Ah, iya. Maaf tidak sopan. Kadang aku lupa kalo dia dokter. Soalnya pas jaman sekolah bentukan dia gak mencerminkan dokter sama sekali".

Ku akui Jessi hari ini aktif sekali. Ia nampak jauh lebih senang akhir-akhir ini. Dengan sikap multi-tasking yang ia miliki itu, bisa mengobrol dengan spontan kepada Muthe yang padahal bisa di bilang baru dekat sekali saat-saat ini.

"Oh, ya? Kalian satu sekolah?"

"Ya. Dokter Freya kawan karibku semasa SMA. Dia sering sekali ngajakin aku makan gorengan di kantin tiga biji, tapi bayarnya cuma satu", Jessi dengan gayanya yang sembarangan ini kembali lagi.

Aku memotong pembicaraan mereka, "Sebar aib temen mulu deh. Apa mau ku sebar juga soal kamu yang pengen kenalan sama Muthe?".

Ya.. kata-kata itu tidak sengaja keluar dari mulutku. Entah karena lelah atau aku agak sensitif saja saat kisah tentang Freyana di buat sangat dramatisir. Namun, aku baru sadar bahwa yang kuucapkan itu membuat dua insan tersebut menatapku dengan ekspresi sama-sama terkejut.

Bersambung...

FREYANAWhere stories live. Discover now