Chapter 7. Adik Ipar

753 63 7
                                    

Wajah Fiony memerah, dadanya naik turun setelah menjelaskan dengan sekuat tenaganya tentang permasalahan kabar kepada Freya. Ia tergesa-gesa ke kamar, lalu menutup pintu lumayan kencang menandakan bahwa ia marah.

Freya mendesah dengan perasaan gelisah sembari memijat pelipisnya menahan pusing. Bajunya yang masih basah di biarkannya, ia memilih membereskan sepatu dan beberapa benda yang berantakan di ruang tamu. Perasaannya bercampur aduk, serta tidak tahu harus berbuat apa. Membiarkan Fiony mengurung diri, juga meredakan emosi sesaatnya yang membuat suasana menjadi runyam.

Freya mengecek handphone-nya dan melihat bahwa jam menunjukkan pukul 8 malam. Ia tidak jadi lembur karena miss-communication antara dia dengan sang pacar yang kini memilih menyendiri. Melihat notifikasi dari grup ramai menyebut dirinya untuk segera merespon, Freya hampir kehilangan kesabaran sehingga ia memilih ikut mematikan handphone-nya.

Pekerjaan sedang padat-padatnya. Dan kedua insan itu juga sama-sama kelelahan. Meski begitu, Freya berharap Fiony tidak terlalu lama memusuhi dirinya. Ia sedang membutuhkan support dari wanitanya.

"Hah.."

Freya melepas kemejanya yang basah, kemudian mencoba membuka pintu kamar perlahan. Tidak di kunci, syukurlah. Yah, tidak mau nekat tidur di luar karena besok ia masih bekerja dan bajunya masih basah. Toh, Fiony juga tau tentang hal tersebut dan tidak mungkin membiarkannya sampai demam.

Freya meletakan kemejanya di keranjang kotor dan naik ke bibir kasur menemui Fiony, "Fiony".

Ia memanggil pelan nama perempuan tersebut. Fiony masih memunggunginya dan tidak merespon apapun kecuali suaranya menahan tangis sambil sesenggukan.

Freya mendekat, lalu memeluk Fiony dari belakang tanpa mengucapkan apapun. Fiony merasa bersalah kepada Freya, tidak seharusnya dia marah dan melupakan hal penting yang harus dilakukannya hanya dengan mengabari secara singkat.

"Basah badanmu", keluh Fiony dengan suaranya yang bergetar sangat kentara habis menangis.

"Maaf, Piyo"

Freya memeluk Fiony semakin erat. Tidak peduli bahwa kausnya yang basah sampai bawahannya hingga mengenai kasur.

Fiony mengatur nafas perlahan agar dapat berbicara dengan lancar. Ia merasakan sedih yang tersalurkan dari gadis yang terlihat melepas kacamatanya itu. Ia membalikan badannya agar bisa memandangi wajah Freya dengan jelas.

"Aku egois, tadi aku pengen kita main ke taman waktu pulang kerja. Tapi kamu sibuk"

Freya tersenyum kecil dan dengan jemarinya yang mungil mengusap pucuk kepala Fiony dengan lembut. "Aku nyelesain laporan pasien hari ini, tau 'kan lagi rame banget tadi?". Jawabnya meyakinkan perempuan di depannya itu.

Fiony mengangguk.

"Aku gak seharusnya marah"

"Aku yang lupa waktu sampai gak makan siang tadi"

"Kamu gak makan siang?"

"Eh, makan siang bareng maksudnya"

"Kamu gak makan siang, Freyana?"

Freya bergeming sebentar melihat tatapan menyeramkan dari Fiony.

"Tadi 'kan aku nemu coklat--"

Belum selesai Freya bercerita, Fiony sudah beranjak dari kasur dan menarik badan gadis itu untuk duduk. Ia mengambil baju baru yang kering dan langsung memasangkannya di badan Freyana.

"Makan sekarang atau kita gak ngobrol sebulan"

¤¤¤¤¤

Hari-hari mulai berlalu. Libur semakin dekat denganku. Untungnya, Freyanaku yang gercep itu dapat mengambil cuti karena telah mengumpulkan laporan akhir lebih awal dan berencana untuk istirahat sebentar setelah bimbingan dengan koas nanti selesai. Aku tidak sabar menunggu pagi hari yang tenang menemani bangunku.

Meski begitu, aku harus menyelesaikan satu tugas penting yang sepertinya menjadi kewajibanku sekarang.

"Tunggu dulu disini ya Fiony, jangan buru-buru untuk balik bekerja"

Aku berada di ruangan direktur sekarang. Tenang, aku tidak sendiri. Ada Muthe yang sibuk mengurus data sedari tadi. Ah, kecanggungan kami selalu terjadi dan direktur rumah sakit itu selalu berharap kami mengobrol dengan nyaman di situasi seperti ini. Tapi, entah kenapa tiba-tiba Muthe berhenti mengerjakan tugasnya, kemudian melihat ke arahku.

"Jessi berangkat?"

"Berang- eh. Tumben kamu yang tanya duluan"

"Kenapa? Biasanya dia yang tanya?"

Aku terdiam seketika mendengar pertanyaan itu. Memang sudah betul kalau kami tidak mengobrol seperti biasa. Aku tidak mungkin membocorkan rahasia teman dekatku tersebut.

Muthe terlihat menghela nafas melihatku memilih untuk tidak menjawabnya.

"Kak Fiony gak pulang lagi liburan nanti?"

Aku keheranan. Jujur, kami tak pernah berbincang sedekat itu karena.. yah, aku melihat Muthe sebagai sekretaris yang harus di segani, di banding adik ipar yang ramah tamah seperti ini. Malahan aku tidak tau harus membahas apa karena, entahlah. Rasanya tak bisa di jelaskan. Kecanggungan kami berawal dari derajat yang lebih ku ketahui di banding kakaknya yang menikah dengan kak Aldo.

"Enggak. Aku malas pulang", jawabku seadanya.

Muthe menutup buku batik bergarisnya yang besar, "Ajak aku liburan".

Aku membelalak mendengar ucapannya. Ini betulan Muthe, 'kan? Kenapa rasanya aku tidak mengenal dirinya. Sepengetahuanku, dia sangat pendiam dan tak pernah mau mengajakku berbicara duluan.

"Muthe, kamu baik-baik aja 'kan?"

"Aneh ya? Aku berusaha dekat aja sih"

Aku menggaruk kepala bingung ingin membalasnya apa.

"Gak aneh sih.. canggung aja", kataku sembari melihatnya tersenyum. Senyum yang benar-benar asing di mataku.

Baru kali ini aku melihat gadis ini sumringah kepadaku, entah ada angin apa yang telah melewatinya sampai aku tak bisa mengenali Muthe yang biasanya.

"Aku mau terimakasih ke kak Fiony udah ngenalin aku sama Jessi"

Muthe menatapku penuh kebahagiaan yang sulit ku deskripsikan. Aku heran sekaligus kembali mengingat-ingat bagaimana Jessi bisa mengenal Muthe. Ah! Saat lebaran tahun kemarin. Ya, benar. Jessi mengunjungi rumahku yang kebetulan sedang ada keluarga dari istri kakakku, dan tentu saja Muthe ada disana.

Waktu itu, Jessi merengek terus-terusan memintaku untuk mengenalkannya kepada Muthe. Bahkan aku tidak mengenal siapa perempuan itu sebelumnya. Dan, ketika kembali ke rumah sakit kita bertemu lagi.

Pada saat itu aku hanya mengira bahwa Muthe saudara iparku entah apa hubungannya dengan kakakku, namun setelah pertemuan keluarga yang sering, aku baru mengetahui bahwa dia adalah adik iparku. Semenjak itu, dimana pun kami bertemu akan selalu terasa canggung. Bahkan di rumah sakit, kami tak pernah saling menyapa.

"Kak Fiony ngelamunin apa? Aku?"

Suaranya memecah keheningan dan membuatku sadar bahwa terbawa arus pikiranku sendiri lagi. Aku terkekeh.

"Nah, yuk. Kita harus bertemu tamu", pak Direktur datang lagi mengajakku untuk pergi.

Aku hanya pasrah meskipun sangat lelah harus menjadi orang yang di tunjuk berkali-kali hanya untuk menemaninya bertemu client. At least, aku tidak pernah mendapatkan hal atau perlakuan buruk darinya. Karena itu, aku masih dapat menerimanya. Walau yang sering keberatan adalah Freyana.

Tetapi, aku sudah mengabarinya sebelum kami berangkat menemui client penting direktur rumah sakit ini. Jadi, kami tidak akan bertengkar di masalah yang sama lagi.

Bersambung..

FREYANADove le storie prendono vita. Scoprilo ora