Chapter 15. Liburan

472 60 2
                                    

Fiony mengemasi beberapa stoples kaca yang terbuka di ruang tamu. Nampak berantakan terasa seperti ada orang sedang berkunjung. Dan kenyataannya benar, keluarga jauh Fiony tengah berkumpul di rumahnya dalam rangka liburan natal dan akhir tahun. Terdengar cukup awal baginya melihat saudara-saudaranya menikmati liburan.

Ia menghela nafas sambil mengeratkan penutup di stoples terakhir yang dikemasnya. Ia juga ingin liburan. Pertengahan tahun kemarin ia sudah berbincang dengan seseorang yang spesial baginya untuk melaksanakan liburan.

Namun, pekerjaan sangatlah sibuk. Bahkan untuk menikmati hotpot berdua saja, mereka tak pernah sempat. Jadwal memang tidak bertabrakan. Justru di akhir tahun ini banyak sekali dokumen dan laporan yang harus dikumpulkan. Di tambah jam kerja mereka yang menjadi semakin lama, atau anggap saja lembur. Padahal musim hujan seperti ini sangat mengasyikan untuk pergi ke pemandian air panas, sambil berbelanja mencari diskon akhir tahun.

"Fiony! Mutiara mencarimu!"

Suara yang cukup melengking bersumber dari ruang tengah menuju kepadanya. Fiony mengernyitkan dahi dan sedikit mengingat bahwa ternyata Muthe juga mengunjunginya.

¤¤¤¤¤

"Kak Fiony dapat jatah libur lama?", tanya Muthe spontan saat aku menemuinya di sofa ruang keluarga.

Aku memanyunkan bibir sembari sedikit mengangguk. Jawaban itu menunjukkan keraguan. Bisa di bilang iya, tetapi bisa juga tidak. Kenapa, karena aku belum mendapatkan informasi jelas sampai kapan aku mendapatkan cuti libur. Bisa saja esok hari aku harus berada di rumah sakit. Ya, begitulah. Bekerja di rumah sakit banyak sekali kejutannya. Harus siap tepat waktu dan mengesampingkan keluhan.

"Sepertinya iya. Aku belum tanya kepala perawat lagi.. bagaimana denganmu?"

Tanyaku balik. Ah, aku baru ingat kalau Muthe adalah seorang sekretaris. Apa pekerjaan seperti itu ada liburnya? Aku tidak tau. Semoga saja pertanyaanku tidak menyinggungnya.

"Ya. Aku dapat holiday seminggu. Sangat mengejutkan, bukan?"

Hmm.. di pikir-pikir, meski kami tidak secanggung dulu-- aku tetap merasa segan untuk mengobrol dengannya. Entahlah. Bahasanya yang formal, seringkali membuatku gugup. Ada yang berbeda dengan dirinya dan teman-temanku yang lain. Tone bicara serta gaya pengucapannya sangat ramah. Khas sekali seperti orang penting.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk kepadanya, "Beruntung deh kamu. Semoga aku bisa sepertimu".

"Ayo liburan kak"

Ajaknya tiba-tiba. Seperti biasa, selalu ada hal yang di luar pikiranku muncul darinya. Muthe menatapku dengan tegap lurus dan meyakinkan. Dia benar-benar soal ucapannya.

"Maksudmu?"

"Kak Fiony bakalan ke Bali bareng Dokter Freya, 'kan?"

Aku panik dan segera menutup mulutnya tanpa aku berpikir panjang. Spontanitas yang alami langsung mengambil alih ragaku. Bagaimana tidak, Muthe terang-terangan menyebut nama Freyana di tengah keramaian ini. Untung saja tidak ada yang me-notice-nya, kuharap begitu.

Aku beranjak dari sofa, kemudian menarik lengan Muthe untuk menuju ke ruang tamu. Kurasa tempat ini lumayan aman dan terhindar dari orang-orang yang tidak sengaja mencuri dengar percakapan kami. Aku mencoba mengatur nafasku agar tidak berlomba-lomba untuk keluar.

"Jangan sembarangan bahas tentang rumah sakit ya. Maaf soal tadi"

Muthe memperhatikan wajahku sebentar, kemudian mendekatkan bibirnya ke telingaku.

"Aku sudah tau tentang kalian, kak. Jangan khawatir", mataku melotot hampir keluar saat gadis di sampingku ini membisikan kalimatnya.

"E-Eh?"

"Dokter Freya sudah cerita. Toh, mustahil menyembunyikannya dariku. Tentang dinasnya tempo lalu, aktivitas kak Fiony yang selalu di panggil olehnya. CCTV ruang periksa juga aku yang bertugas menghapus"

Aku menganga seketika. Punggungku bersandar di kursi ruang tamu sambil menegakkan kepalaku yang baru saja terasa berkunang-kunang. Muthe sangat mengerikan, maksudku-- aku tidak menyangka hal itu semua bisa tertangkap basah oleh sepasang matanya. Dadaku seperti tertimpa benda yang sangat berat sehingga menjadikanku kesulitan bernafas.

Melihatku speechless, perempuan berponi sejajar itu malah terkekeh memandangiku. Aku layaknya tak bertenaga untuk sekedar meliriknya, hanya bisa menenangkan diri sambil menahan gemetar.

"Tidak apa. Percayalah padaku. Aku juga ingin berterimakasih lagi telah mengenalkanku kepada Jessi", katanya yang memperjelas niatnya tentang kedekatan mereka akhir-akhir ini.

"Kamu.. udah tau semuanya?"

"Ehem. Apakah ada masalah?", Muthe menaikkan alisnya.

Tentu saja masalah. Jantungku nyaris berhenti berdetak sebelumnya.

Aku menggenggam telapak tanganku cukup erat untung menopang diriku agar tidak melemah, "Tolong rahasiakan ya".

"Tentu. Tidak ada yang tahu selain aku"

"Jessi?"

"Entah. Kukira kalian dekat"

"Kenapa menyukai Jessi?"

Muthe memalingkan wajahnya serta menatap langit-langit untuk mengalihkan pandangannya. Dapat di lihat bahwa ia sedikit panik dengan pertanyaanku.

"Aku tidak bilang aku menyukainya"

Aku akhirnya bisa menghela nafas dengan perlahan. Seketika aku tertawa kecil mendengarnya malu-malu untuk mengakuinya. Sejauh ini, aku memang tak pernah mendapat pernyataan khusus dari kawan karib Freyana itu. Obrolan terakhir kami soal Muthe hanyalah seputar kemiripannya dengan adiknya yang berjarak 7 tahun tersebut.

Sungguh, aku masih tidak dapat menyangka bahwa seorang Muthe tahu mengenai hubunganku dengan Freyana. Dan gadis berkacamata itu juga tidak mengatakan apapun kepadaku. Melihatnya menyembunyikan keresahan saja tidak pernah. Benar-benar seperti tidak ada yang terjadi. Namun, ku akui Muthe memegang ucapannya dengan baik.

Walaupun pertemuan kami selalu singkat, tapi aku tidak pernah dengar desas-desus mencurigakan yang bersumber dari dia. Paling cuma Ashel yang masih ku curigai hingga saat ini jika membicarakan soal kedekatanku dengan Freyana.

"Oke, kembali soal Bali. Aku mau ikut kalian liburan"

Ah, benar juga. Aku baru ingat jika Muthe menawarkan dirinya untuk ikut berlibur dengan kami. Yah, sebenarnya tidak masalah. Rencana kami juga sebetulnya memang ingin merayakan akhir tahun di Bali dengan suasana ramai. Meski cuma kak Indah sih yang baru aku ajak.

"Aku akan ajak, jika Freyana juga setuju. Soalnya kami belum booking hotel atau villa dan semacamnya. Kita juga belum jelas membicarakan soal tempat yang akan menjadi rekreasi"

Ungkapku kepadanya. Aku tidak ada unsur menolak atau membuatnya tersisih dengan jawabanku. Tapi, karena pure aku masih ragu dengan plan liburan kami. Aku tidak mendapat tanda-tanda cuti liburan untuk Freyana. Ia belum bisa mengabariku dari kemarin karena masih sibuk di rumah sakit. Meninggalkan apartemen membuatku gelisah karena merasa semakin jauh darinya.

Muthe manggut-manggut, "Aku bisa bantu cari tempat rekreasi. Aku diperbolehkan ikut, bukan?"

"Iya, tentu saja boleh"

Aku juga tidak tahu menahu soal alasan Muthe yang sepertinya sangat menginginkan liburan bersamaku dan Freyana ini. Namun, kurasa tidaklah buruk jika menambah kuota anggota untuk berlibur di pulau yang indah itu. Barbekyu dan api unggun akan seru jika member-nya banyak, 'kan.

"Oke. Aku akan kirim link ide tempat yang bagus untuk kita kunjungi"

Bersambung...

FREYANAWhere stories live. Discover now