1. Bunga Itu Baik

320 40 15
                                    

Satu bunga mekar.

Kelopak bunga ditebar.

Satu kelopak bunga yang gugur.

Satu pula permohonan yang hadir.

Bunga itu baik, dia selalu memberiku apa yang kubutuhkan. Makanan, tempat berlindung, hingga teman yang baik. Meski dia tidak bicara, kami seakan saling memahami. Tanpa perlu mengucapkan sepatah kata, aku seakan mengerti apa yang dia pikirkan. Pertemuan awal kami pun begitu berkesan bagiku, terlebih nasib yang kualami saat itu.

***

Jalanan yang dipenuhi daun kering serta tanah kulalui. Sudah beberapa waktu berlalu, hanya pemandangan itu yang kulihat. Tiada tanda kehadiran sosok yang kucari, bahkan jika aku menjerit pun tiada balasan.

"Ibu! Ibu!" Seruanku tidak dibalas selain dengan suara burung yang saling menyahut, entah apa yang mereka katakan.

Apa aku tersesat? Bagaimana anak sepertiku sanggup hidup sendirian di tengah hutan belantara ini?

Niatku sedari awal hanya ingin bermain. Aku biasa minta izin kepada Ibu untuk menjelajah sebentar keluar rumah. Ibu, berbeda dengan hari sebelumnya, justru yang menyuruhku untuk bermain. Aku bergegas keluar dari rumah sambil berlari ria tanpa memedulikan keadaan sekitar. Hingga beberapa saat berlalu, aku menyadari pepohonan mulai tampak memeluk jalanan yang kulalui, membuatku kesulitan mencari jalan keluar.

"Ibu!" Aku menjerit, mencari sosok yang satu-satunya kuharapkan.

Namun, tidak ada balasan.

Aku kembali berlari. Bersama air mata yang membasahi wajah, aku terus menyeru ibuku, berharap dia segera datang dan mencariku.

Daun demi daun kuinjak hingga menuntunku ke padang rumput yang bersinar di bawah sinar matahari petang. Padang itu begitu luas tapi juga sunyi. Hanya rerumputan kuning menyapu pandangan sambil menari mengikuti arah angin. Hingga pandanganku tertuju pada sosok bayangan dari kejauhan.

Pada petang yang cerah ini kami berjumpa, pandangan kami bertemu dan terasa tidak asing, walau aku juga meragukan firasatku sendiri. Aku yakin dia memang sedang menatapku, meski tidak bermata. Tubuhnya lebih tinggi melebihi Ibu, sementara wajahnya hanya terdapat bunga besar menutupi. Dia mendekat, aku tidak juga bergerak untuk menjauh. Begitu jarak kami menipis, dia berlutut di depanku. Posisi kami mulai sejajar, saling bertatapan. Tangannya terulur, hendak menyentuhku.

Aku merasakan kehangatan menyelimuti tanganku. Terasa seakan diilindungi dan yakin jika sosok di depanku ini bukan ancaman. Aku cukup lama mendiamkannya, tapi dia tidak juga menunjukkan pergerakan lain, seakan menunggu respons dariku.

Wujud makhluk di depanku memang tampak janggal. Aku tidak bisa menebak apakah dia sebangsaku atau bukan. Tubuhnya persis seperti manusia biasa, hanya dengan bentuk kepala yang aneh. Tidak bicara, hanya bergerak sebagai isyarat.

"Siapa ... kamu?" Aku antara takjub sekaligus takut melihat sosok seperti dia. Tangan kami masih saling bersentuhan, dia pun dengan pelan melepas pegangan.

Dia tidak bicara sama sekali. Bunga besar yang menjadi kepalanya itu masih menghadap padaku. Kelopak bunga putih dan biru yang menghias kepalanya mulai bergerak menyentuh wajahku.

Aku bergidik, tapi tidak sanggup bergerak. Hendak kabur, tapi kaki ini tetap kaku. Aku tidak tahu apa yang dia inginkan saat ini. Dia tidak memiliki wajah, sangat sulit menafsir kehendaknya.

Kelopak-kelopak bunga itu perlahan menjauh, membuatku lega sekaligus cemas apa yang akan dia lakukan setelah ini. Tangannya bergerak ke rambut pirangku, perlahan membelainya lembut, memberi isyarat jika aku tidak perlu takut padanya. Di balik helaian rambutku yang dipenuhi kelopak bunga putih, dapat kulihat bunga-bunga kecil itu berjatuhan ke tanah. Jantungku yang sedari tadi berdegup kencang kini perlahan semakin tenang. Aku merasakan kehangatan yang dia pancarkan. Kelopak bunga yang berjatuhan tadi perlahan menyerap ke dalam tanah, setelah itu tidak terlihat lagi wujudnya.

Aku melirik sosok berkepala bunga itu. "Bunga?" Aku tunjuk dirinya, menebak jika itu namanya. Tidak mungkin bisa mengenalnya tanpa nama.

Dia mengangguk, sepertinya memang itu nama dia selama ini, atau justru dia lebih senang dipanggil seperti itu.

Bunga. Itu namanya.

Bunga lalu berdiri, tangannya terulur padaku.

Aku menoleh ke belakang, mencari sosok yang kuharap menungguku di sini. Namun, beberapa waktu berlalu, tiada tanda kehadirannya lagi. Seakan aku telah ditinggal pergi sejak lama.

Bunga masih dalam posisi yang sama, menungguku. Bahkan ketika matahari mulai terlelap diiringi dengan bunyi serangga memenuhi hutan.

Mulai ragu, aku kembali bertanya padanya. "Apa Ibu akan mencariku?"

Mengingat kembali, aku tidak mengerti kenapa waktu itu kutanyakan padanya. Padahal bisa jadi Bunga bahkan tidak pernah mengenal ibuku. Namun, aku begitu ketakutan hingga satu-satunya tempatku merasa aman hanya Bunga yang bahkan begitu berbeda dari makhluk yang biasa kulihat.

Bunga menggeleng.

"Kenapa?" Aku merinding membayangkan jika Ibu tidak mencariku.

Bunga hanya diam.

Aku menatap sekeliling. Rerumputan kuning yang menghias pandanganku perlahan terlihat gelap di bawah langit malam. Jika aku nekat berjalan seorang diri di tengah hutan ini, sudah pasti aku akan ditangkap monster jahat yang bersemayam dalam hutan.

Aku menatap Bunga, sedikit terbata karena ragu. "Apa aku boleh menginap?"

Bunga mengangguk. Dia menarik kelopak bunga yang menempel di kepalanya lalu menyerahkan selembar padaku.

Kelopak bunga itu putih dan licin. Ukurannya pun cukup panjang dan besar hampir bisa menutupi tanganku secara keseluruhan. Aku maklum, tinggi Bunga memang melebihi orang dewasa yang kukenal. Bila dibandingkan, tinggiku hanya setinggi pinggangnya.

"Ini untukku?" Aku menatap Bunga, ragu apa yang sebenarnya dia maksud.

Bunga mengangguk. Kelopak bunga yang tadi tercabut, kini tumbuh kembali di kepala bunganya.

Kelopak bunga yang kuterima perlahan menyatu dalam tanganku, tidak terasa aneh ketika itu menyentuh kulitku. Namun, tetap saja semua ini terasa janggal bagiku.

"Bunga." Aku menatap sekeliling, hari sudah semakin gelap. "Aku ingin pulang."

Bunga mengangguk, dia mengulurkan tangan.

Aku raih tangannya. Kami pun berjalan bergandengan melewati rerumputan kuning di bawah sinar bulan. Langkah kaki Bunga yang agak lamban membuatku semakin takut kalau misalkan kami akan diterkam. Namun, tampaknya binatang di hutan ini masih terlelap sehingga tidak mengincar kami waktu itu.

Menembus gelapnya hutan, aku akhirnya menemukan gerbang hidup baru.

Untuk awalannya, kubikin lebih santai saja dulu, sebagai pemanasan. Oh ya, kebetulan cerita ini publish di tengah bulan suci Ramadan. Selamat berpuasa bagi yang sedang melaksanakan.

Perihal bab pertama yang anu ini, tentu akan berlanjut ke bab berikuutnya. Namun, ke depannya, keahlian kalian diuji dengan rangkaian anu yang akan kusampaikan lewat cerita wadidaw ini. Jadi, tunggu saja selagi bab berikutnya dan seterusnya tiba. Nanti kalian akan menemukan kejaiaban yang selama ini dicari layaknya dunia dalam dongeng sosmed eh sebelum tidur.

Bagi yang sudah baca cerita ini, terima kasih dan sampai jumpa nanti!

Wonderful World of Flower [On Going]Where stories live. Discover now