21. Sebuah Apel

21 7 0
                                    

Nyaris saja aku terpeleset kalau saja tangan wanita itu tidak meraihku. Dia tarik aku hingga kembali ke posisi berdiri tegak, meski masih merasa sedikit tegang, aku berusaha tenang. Melihat kedatangannya yang amat mendadak membuatku sedikit resah. Aku tidak pernah mengenal maupun melihat wanita ini sebelumnya.

"Maaf." Dia melepas genggaman dan mundur selangkah.

Aku memaafkannya, lagi pula kupikir itu tidak disengaja.

Wanita itu tampak seperti manusia biasa, layaknya penduduk di desaku dulu. Dia membawa sebuah keranjang yang menggantung di tangan kirinya.

Dia mengambil sebuah apel dari keranjang dan menyodorkannya. "Aku kebetulan memetik beberapa buah hari ini untuk keluargaku. Kamu mungkin ingin mencobanya."

Meski buah itu tampak segar dan menggiurkan, aku berusaha menolak dengan lembut. "Maaf, aku kenyang."

Aku belum bisa percaya padanya, meski terlihat tidak berbahaya, hati nuraniku berkata seakan aku tidak boleh menerima berian orang asing. Namun, hati berkata lain saat melihat Bunga untuk pertama kalinya. Aku justru merasa dialah tempat paling aman bagiku, barangkali karena kami bersatu dalam ikatan batin.

"Eh, sepertinya kamu ingin membuat pai apel, ya?" Aku coba mengalihkan perhatiannya sedikit agar dia tidak tersinggung.

Wanita itu menggigit apel itu. "Ya, sudah lama aku tidak membuatnya. Kami semua suka pai. Kamu mungkin ingin mencicipinya nanti di rumahku."

Lagi-lagi, aku ragu menerima ajakannya. "Tapi, rumahku lumayan jauh dari sini. Aku takut berjalan sendirian ke rumahmu."

"Kukira kamu penduduk di desaku." Wanita itu menyahut. "Semua orang kukenal, tapi aku belum pernah melihatmu."

Aku jadi ingat waktu Bunga pernah menunjuk gunung, di sana aku melihat suatu pedesaan. Barangkali wanita ini salah satu penghuninya. Teringat kembali saat diriku menyampaikan keinginan untuk berkunjung ke sana, tapi Bunga menggeleng. Entah kenapa dia tidak ingin membawaku ke sana, tapi kutebak karena jaraknya memang terlalu jauh untuk sekadar kunjungan sejenak.

Aku membalas ucapannya. "Bukan, aku tinggal bersama ayahku, lumayan jauh dari sini."

Wanita itu melihat sekeliling, seakan mencari sesuatu. "Di mana ayahmu? Kamu sendirian ke sini?" Kudengar dari nada suaranya terkesan cemas.

Aku kembali menoleh ke tempat Bunga duduk, tapi begitu mataku tertuju ke batu tadi, tidak kutemukan ayahku. Sedikit gugup, kucoba jawab pertanyaan wanita itu. "Tadi Ayah di sekitar sini."

Wanita itu menatapku lagi, kulihat dia masih saja terlihat cemas. "Kamu sebaiknya jangan berlama-lama. Dalam hutan ini ada makhluk pemangsa manusia."

Jantungku berdegup kencang, ingatanku kembali ke bayangan hewan-hewan buas yang mungkin berkeliaran di area hutan. Tanpa Bunga, aku merasa resah.

"Makhluk apa?" Aku bertanya.

"Aku tidak tahu pasti, tapi setiap manusia yang masuk semakin jauh dari titik ini tidak pernah kembali," jawabnya. Matanya mengarah ke jalan tempat Bunga duduk tadi. "Tidak kusangka kalian berani ke sini."

"Kamu sendiri?" sahutku, terkesan aneh kalau dia berkata begitu sementara kami berdua berada di tempat yang dimaksud.

"Aku melihatmu dari jauh, kupikir kamu tersesat." Dia membalas. "Niatku ingin mengajakmu serta ayahmu untuk berlindung di desa kami darinya. Kalau makhluk itu sampai mencium bau kalian, dia mungkin akan pergi ke desa kami."

"Untuk apa memancingnya?" Aku waktu itu bingung, bukankah berbahaya?

Wanita itu tersenyum. "Kami sudah persiapkan segalanya. Kalian akan kami lindungi seperti saudara sendiri."

Wonderful World of Flower [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang