3. Suatu Hari Bersama Bunga

101 23 9
                                    

Aku selama ini janji yang Ibu maksud. Tidak heran segala hal tentang bunga selalu melekat pada hidupku. Rambut dipenuhi kelopak bunga putih, saat lahir dikelilingi bunga, bahkan saat pamit pun diiringi dengannya.

Aku mestinya hidup bersama Bunga. Aku bagian darinya selama ini. Lantas, apa yang Ibu inginkan? Kenapa dia tidak kunjung menjemputku?

Mataku kembali tertutup, menahan campuran perasaan akibat segala kisah yang tidak diketahui ini. Begitu pandanganku kembali ke waktu saat ini, kulihat Bunga masih berdiri di depanku. Jarinya yang lembut masih menggeggam tanganku, memberi rasa aman dan tenang. Meski tidak bicara, aku seakan paham apa yang dia rasakan. Ketika mataku tertuju padanya, dapat kurasakan getaran hati. Seperti pandangan penuh kasih yang diberikan Ibu selama ini.

Bunga melepas genggaman. Dia berlutut, memberiku isyarat untuk menatap ke arah yang dia tunjuk.

Aku menunduk, terlihat gundukan tanah biasa di bawah sana.

Bunga meletakkan tangannya ke tanah, tidak lama, tumbuh sebuah bunga putih yang mekar seakan sudah lama tumbuh di tanah ini.

Aku terkesima dengan keajaiban yang terpampang di depanku. "Cantik sekali."

Belum sampai di situ, Bunga mengayunkan tangannya dengan pelan. Bersamaan dengan gerakan tangan, muncul rangkaian bunga lutih tumbuh dengan subur di sekitar kami.

Aku dekati salah satu bunga dan menyentuhnya. "Boleh kupetik?" Ketika Bunga mengangguk, aku petik satu.

Baru aku sadar, ada satu tangkai bunga yang masih melekat di telinga kananku, bunga dari rumahku. Perlahan kucabut dan diamati dengan saksama. Bentuknya persis sama dengan bunga yang seketika mekar tadi.

"Bunga." Aku panggil dia. "Ini bungamu?" Kuserahkan setangkai bunga dari rumah tadi padanya.

Dia terima, bunga itu tampak kecil di tangannya. Bunga letakkan ke tanah, saat itu juga bunga tadi mekar kembali dan menyatu di tanah seakan tidak pernah dicabut sebelumnya.

Aku tidak menutupi kekagumanku. "Dari mana Bunga dapat kekuatan ini?" Kupetik bunga yang tumbuh di rambutku. "Sepertinya seru mempunyai kekuatan bunga."

Bunga hanya menunjuk dadanya, mungkin maksudnya dirinya sendiri.

"Dari dalam diri?" tebakku.

Dia mengangguk.

Aku terpesona akan semua keajaiban ini. Seakan pengalaman indahku di desa bukan apa-apanya lagi. Seperti ada ikatan yang kuat antaraku dan Bunga.

Bunga lalu menggendongku ke pelukannya. Aku turuti tanpa perlawanan. Dapat kudengar detak jantung darinya, membuatku kian yakin kalau dia memang hampir tidak ada bedanya dengan manusia biasa. Tubuhnya yang tinggi membuatku merasa seperti sedang memeluk pohon. Sementara badan dia terasa hangat layaknya manusia biasa.

Dengan pelan aku elus kelopak bunga yang menghias kepalanya. Sedikit licin, aku jadi penasaran apa fungsinya sampai dia bersedia melepas itu dari kepalanya. Dia balas dengan mengelus pelan rambutku. Hatiku terasa hangat ketika dia memperlakukanku dengan penuh kasih ini. Aku balas dengan memeluknya.

Bunga membawaku ke rumah kecil yang terletak di dekat area ini. Selagi dia melangkah, dari balik tubuhnya, terlihat bunga-bunga putih yang tumbuh menghias halaman depan. Tampak indah disinari rembulan.

Aku menoleh untuk melihat pintu kayu yang berdiri di depan kami. Tingginya hanya sampai leher Bunga yang mana membuatnya harus sedikit menunduk saat akan masuk. Dia sentuh pintu itu sekali, pintu kayu itu terbuka dan memperlihatkan isi rumah yang begitu sederhana. Setidaknya dalam rumah, ruangnya dua kali lebih tinggi dibandingkan pintu. Berarti sosok tinggi seperti dia bisa tinggal di sini dengan nyaman. Kuperhatikan di sekeliling ada meja makan, sofa kuning yang cukup luas, serta karpet bermotif bunga matahari. Tidak lupa ada dua jendela menghias ruangan di depan itu.

Bunga menutup pintu dan masih mengendongku menuju sebuah kamar yang terletak di pojok ruangan. Dia perlihatkan sebuah kasur besar dilengkapi dua bantal dan selimut. Aku diturunkan lalu diberi isyarat untuk naik ke sana.

Kasurnya tampak jauh lebih besar dan luas dibandingkan kasur kamarku dulu. Ketika aku berbaring, perasaan nyaman dan kantuk mulai membaluti pikiranku, membuatku terbuai.

Bunga mendekat, dengan pelan mengangkat badanku hingga kepalaku terbaring ke bantal. Dia tarik selimut sambil mengelus dahiku, seakan mengucapkan selamat malam.

Aku balasi dengan senyuman. "Selamat malam, Bunga."

Dia kemudian meninggalkanku di kamar ini, membiarkanku dalam keadaan nyenyak.

***

Mataku terbuka ketika matahari mulai menyambutku. Dari balik jendela, terlihat salju-salju yang turun. Aku kucek mata cokelatku dan mengamati kamar baruku. Berbeda dengan malam tadi yang terkesan kosong, kini telah dipenuhi dengan bunga-bunga indah dengan berbagai warna. Tercium aroma harum khas tumbuhan yang menghias paru-paru. Aku pun bangkit dan mengamati kamar sekitar, mengagumi setiap bunga yang menghiasi kamar.

Pintu kamar diketuk. Ketika kupersilakan masuk, Bunga harus membungkuk sedikit lantaran setiap pintu di rumah ini terlalu pendek baginya. Dia membawakan sebuah daging yang dibakar. Bentuknya cukup besar dan aneh akibat terlalu dihancurkan hingga membentuk seperti gundukan tanah.

"Ini untukku?" Aku bertanya.

Dia serahkan piring dipenuhi daging itu kepadaku. Tentu saja tanpa berkata-kata.

"Makasih!" Aku yang dari kemarin sore belum makan langsung lahap menghabiskannya di kamar ini, tepat di depan Bunga. Begitu selesai, aku tersenyum simpul padanya. "Enak sekali!"

Bunga membalas dengan menepuk pelan kepalaku. Dia ambil kembali piring tadi dan pergi. Aku amati, kalau ternyata hanya kamarku yang dipenuhi bunga saat ini, sementara di luar ruangan, tampak persis seperti malam tadi.

Begitu Bunga kembali, aku tanyakan padanya. "Kenapa kamarku penuh bunga? Kemarin, sebelum aku pamit, rumahku juga dipenuhi bunga."

Bunga diam saja, barangkali sedang berpikir.

Aku serta merta menebak. "Oh, kamu tidak bicara. Padahal aku ingin mengenalmu."

Bunga hanya membalas dengan kembali menyentuh rambutku, kali ini dia ambil setangkai bunga dari rambutku, mengubah yang mekar menjadi bersinar.

Aku tidak begitu memusingkannya, toh barangkali Bunga lakukan semua ini agar aku semakin dekat dengan bunga-bunga. Tanpa ragu, aku raih pemberiannya itu dan meletakkannya di meja. "Bunganya cantik, tapi aku tidak tahu namanya. Bentuknya memang tidak biasa, sama sepertimu."

Bunga diam saja.

"Bunga, aku jadi penasaran, dari mana kamu dapat daging ini?" Aku kembali ingat akan sarapanku tadi.

Bunga memegang tanganku. Persis seperti kemarin, pandanganku berubah menjadi suasana yang jauh berbeda. Alih-alih menampakkan masa laluku, justru terlihat kelopak bunga berguguran di sekeliling kami. Begitu Bunga lepas genggaman, dia ambil satu bunga putih dan meletakkannya ke mata kananku.

Saat mataku terpejam, terlihat pemandangan berbeda dari biasanya, aku merasa seperti berada di dunia lain. Layaknya sedang menjelajah tempat baru walau di saat yang sama hanya diam di tempat, menyaksikan semua berjalan. Dari semua ini, dapat kudengar suara-suara asing yang mulai bercerita.

Hai hai! Kembali ke bab ketiga dari cerita ini. Gimana menurut kalian? Masih kurang jelas? Ya, iyalah, masih bab awal. Namun, ke depannya bakal lebih anu sehingga memacu otakku sendiri untuk lebih santuy dalam menulisnya nanti.

Apa jadwal update cerita ini? Dengan pedenya aku tanya diri sendiri, ternyata jawabannya saat aku gabut aja. Kalau aku lagi gak gabut, mungkin gak ada update.

Jangan lupa vote dan komen, ya! Supaya cerita ini rame dan tidak hening / sunyi kayak si Bunga wkwkwk

Sampai jumpa di bab berikutnya atau di sosmed lain kalau ketemu!

Wonderful World of Flower [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang