18. Tengah Malam yang Sunyi

35 8 3
                                    

Aku terbangun, merasakan keheningan janggal menyelimuti rumah. Terlihat dari balik jendela nampak bulan masih menyinari langit gelap, tanda masih malam. Biasanya ada perasaan akan kehadiran Bunga di rumah ini, tapi sekarang terasa dingin lagi hening.

"Ayah?" Aku coba panggil dia, biasanya Bunga akan segera datang untukku.

Namun, hanya keheningan menyambut. Beberapa saat kutunggu, tidak juga terlihat tanda pintu dibuka dan menampilkan sosok yang aku tunggu. Di mana dia?

Dengan gemetar, aku bangkit dari kasur, mengendap-endap menuju pintu lalu membukanya perlahan. Terlihat dari celah pintu kamarku yang terbuka, sedikit pemandangan dari luar ruangan, meski aku belum terbiasa dengan kegelapan. Begitu mendekat, kulihat kamar Bunga yang pintunya terbuka lebar, menyisakan kasurnya yang kosong.

"Ayah?" Aku kembali memanggil. Alih-alih mendengar bunyi khas dari langkah kakinya, tidak ada balasan atas panggilanku.

Kian cemas, aku melangkah menuju ruang tengah, berharap menemukannya di sofa favoritnya. Namun, dia tetap tidak di sana.

Seisi rumah yang gelap dan hening membangun suasana mencekam di hati. Ingatan buruk tentang masa laluku yang tersesat di hutan kembali menghantui. Hatiku bergetar menyadari bahwa aku telah ditinggal sendirian lagi.

"Ayah!" Aku mencoba memanggilnya sekali lagi, berharap dia segera datang. Namun, sama saja.

Aku berusaha menenangkan diri di tengah kegelapan. Terdengar suara-suara binatang dari dalam hutan sana mengisi kesunyian, tapi semua itu masih membuatku merinding. Pikiranku kembali memunculkan kemungkinan terburuk.

Bayanganku kembali ke masa beberapa hari lalu, tepatnya hari ketika kami pulang dari sungai.

Pemuda itu.

Dia yang memegang garu kembali melintas dalam pikiranku. Tidak, aku harap dia hanya kebetulan lewat dan terkejut melihat ayahku, tanpa ada niat untuk menyakitinya. Aku coba mengalihkan pikiran dengan kemungkinan lain. Barangkali Bunga sedang mencari udara segar di malam hari, atau mungkin sekadar berjalan-jalan guna mengisi waktu selagi aku tertidur.

Namun, pikiran buruk masih menguasai. Terlebih saat teringat betapa gigihnya orang itu mencoba melukai Bunga. Aku tidak mengerti mengapa dia ingin menyakiti ayahku, padahal selama ini dia merawatku dengan penuh kasih sayang.

Aku mengatur napas, mencoba menenangkan diri dan menatap ke arah depan. Pemandangan berupa pintu tertutup menyambut pandanganku, membuat aku merasa gelisah. Hati kecilku berharap kalau di balik pintu ada sosok Bunga yang kembali pulang dengan selamat. Aku memutuskan untuk tetap menunggu, meski pikiran begitu kalut.

Namun, beberapa waktu berlalu dan tiada tanda apa pun di balik pintu. Aku merasakan kantuk kembali merayap, tapi pikiranku mendesak agar tetap terjaga dan memastikan keberadaan ayahku. Tanpa ragu lagi, kuraih gagang pintu–tidak terkunci!

Pikiranku akan kemungkian terburuk berkecamuk. Gemetarnya raga ini tidak menghalangiku untuk berjalan menuju bagian luar rumah dan mencoba mencari ayahku. Semua perasaan campur aduk menguasai pikiran, menyebabkan aku tanpa ragu terus berjalan hingga dekat ke batas hutan.

"Ayah!" Aku berseru, berharap dia segera kembali dan menyambutku. Namun, suara ini hanya terbawa angin dan lenyap begitu saja tanpa adanya balasan.

Aku amati rawa yang memantulkan sinar bulan, berharap dapat jawaban atas keberadaan ayahku. Desir angin membelai leherku, membuat bulu kuduk berdiri. Lagi-lagi, pandanganku kembali menyusuri sekeliling dengan cemas, mencari tanda kemunculan sosok yang dirindukan.

Aku ingat siang itu untuk belajar mengikhlaskan kepergian Ibu, l kini hanya tersisa Bunga untukku. Namun, dia tidak di sini lagi. Jantungku berdegup kencang, tidak ingin hal buruk terjadi sampai memisahkan kami.

Kami baru saja berpisah, tapi cukup membuatku gelisah. Aku tidak pernah setakut ini, terlebih mengingat masa lalu saat Ibu senantiasa menemani malamku. Saat aku bermimpi buruk, dia akan berbaring di sisiku agar aku bisa kembali tidur dengan nyenyak.

Bunga kadang tidur di sisiku, tapi lebih sering kubiarkan diri terhanyut dalam mimpi melewati malam dengan sendirian tanpa rasa takut. Hati ini diliputi keyakinan, tahu bahwa selama Bunga ada, dia pasti akan menjagaku. Namun, kini semua justru tersisa keheningan.

Di mana dia?

Aku kian cemas, melihat sekeliling sambil berharap dapat menemukan bayangan ayahku. Namun, hingga kini belum ada tanda kedatangannya. Kutarik napas dengan perlahan, mencoba tenang. Bagiku, ditinggal sendirian di tengah hutan bukan suatu pengalaman yang baik, terlebih untuk anak seusiaku.

Bayangan akan masa lalu kembali menyelimuti pikiran. Kala aku menyusuri hutan dengan sendirian, diliputi rasa cemas dan takut akan nasib di balik kegelapan sana. Namun, saat itu juga Bunga muncul dan menuntunku ke tempat baru yang aman.

Karena aku janji yang Ibu maksud. Aku yang mesti kembali kepada Bunga saat waktu yang disepakati telah tiba. Kini, Bunga telah menjadi bagian dari hidupku, aku tidak sanggup membayangkan nasibku tanpa dia.

Ujung mataku menangkap bayangan dari kejauhan. Pepohonan rindang yang menutupi raganya dari pantulan sinar bulan perlahan mengikis, secara samar menampilkan sosoknya. Langkah kakinya yang pelan menuntun dia semakin dekat, sosoknya yang terselimuti bayangan sedikit demi sedikit kian kentara di bawah sinar bulan.

Bunga!

Tanpa ragu, aku berlari ke arahnya. Kulihat dia juga mempercepat langkah sambil merentangkan tangan. Ketika jarak kami kian menipis, Bunga menyambut pelukanku. Dia angkat lalu mendekapku erat.

"Ayah!" Aku peluk lehernya. "Dari mana saja?"

Bunga belai rambutku, meski tidak paham secara pasti, aku yakin dia mungkin tidak ingin aku mencemaskannya.

"Ayah kenapa pergi malam-malam?" Segera aku ungkapkan kegelisahanku. "Aku tidak mau ditinggal sendiri!"

Bunga mengangkatku pelan, membuat posisi pandangan kami jadi sejajar. Aku cemberut, mengungkapkan kecemasanku selama ini, berharap dia segera paham dan tidak mengulangi kejadian menakutkan ini.

"Pintu rumah juga belum dikunci!" Aku menambahkan. Ingat betul pesan Ibu kalau rumah yang aman adalah yang terkunci. Membiarkan tempat tinggal terbuka seperti tadi jelas berbahaya.

Bunga yang masih mengangkatku, kembali melangkah ke rumah. Setibanya di dalam, dia kunci pintu dengan aku yang masih melekat dalam pelukannya, tidak ingin melepas dia setelah semua kegelisahan ini.

Bunga duduk di kasurku, dengan lembut kembali membaringkan diri bersamaku. Meski bentuk kasurnya begitu manis dan empuk, pikiranku masih kacau akibat kegelisahan yang masih tersisa dalam hati.

"Ayah janji tidak bakal pergi?" Aku berharap cemas, tidak ingin ditinggal sendirian apalagi di tengah hutan ini.

Bunga balas dengan mengelus rambutku. Meski sedikit cemas akibat kepergian mendadak tadi, aku perlahan sedikit lega melihatnya kembali.

Memastikan dia tidak akan pergi lagi, aku raih jemari Bunga dan menggenggamnya erat. Ayahku tidak bergerak, membiarkan aku menyalurkan perasaanku.

"Ayah kenapa diam-diam pergi?" Aku bertanya. Meski tahu betul dia tidak akan menjawab secara lisan, aku ingin dia setidaknya bisa memahami rasa cemas yang menyelimuti hatiku.

Bunga menutupi badanku dengan selimut kuning sebelum kembali mengelus rambutku, membuat aku kian tenggelam dalam buaian dan kegelapan.

Aku menguap dan mencoba kembali tidur, membiarkan rambutku merasakan kehangatan dari sentuhan darinya. Tangan ini masih bersentuhan dengan jari Bunga, memastikan dia tidak pergi lagi. Hatiku kian tenang saat dia masih tetap di sisiku, hingga kesadaranku kembali ke alam mimpi.

Habis bab anu, langsung lanjut ke adegan yang santuy lagi. Sekarang, kalian bakal mikir nih, kok begini dan begitu? Tentu, aku sudah menyiapkan diri untuk melanjutkan ceritanya, lengkap dengan jawaban atas pertanyaan tadi. Untuk saat ini, mari kenbali bersantai~

Wonderful World of Flower [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang