24. Bunga Memberi Kado

44 6 2
                                    

Fajar telah tiba, aku melepas pelukan dan memeriksa kondisi Bunga. Harapan agar kondisi ayahku membaik setelah semalaman beristirahat. Namun, keadaan Bunga tidak juga membaik. Dia masih terbaring lemah di kasur dalam keadaan berselimut, gemetar sementara darahnya telah mengering di bagian luka yang dibaluti kain-kain. Dikuasai kecemasan, aku sentuh tangannya, terasa sedikit dingin. Kulit dia pucat sedari kemarin, belum terlihat tanda dia bergerak.

"Ayah." Aku berucap cemas.

Tangan Bunga dengan pelan membalas genggamanku, tanda dia masih bersamaku.

Aku menarik napas lega. "Ayah mau sarapan?" Aku tahu dia tidak makan jenis makanan yang sama denganku, tapi setidaknya hari ini ada sinar matahari untuknya.

Dia tidak merespons. Namun, aku tahu dia masih mendengarku. Barangkali jawabannya, "tidak." Namun, dia harus makan agar lekas pulih.

Aku melihat sekeliling, ingat jika Bunga senang duduk untuk berjemur. Mataku tertuju pada jendela yang tertutup gorden, di situlah cahaya matahari akan menerpa. Aku buka gorden itu, membiarkan matahari menyinari ruangan ini beserta Bunga, meski posisinya sedang membelakangi.

"Ayah, ini ada matahari." Aku mendekat, dengan lembut mencoba membalikkan badannya yang tinggi. Namun, dia terlalu berat.

Bunga menumpu badannya dengan tangan, dia membalikkan badan dengan gemetar. Begitu berhasil menghadap matahari, dia berbaring lagi, membiarkan cahaya matahari menyinari tubuhnya. Yang aku tahu, ini kegiatan disenangi Bunga setiap hari. Bahkan di musim gugur yang mulai dingin ini, setidaknya masih ada secercah cahaya baginya.

Tetap duduk di sisi Bunga, aku genggam tangannya. Ingin memberikan rasa aman seperti yang dia lakukan padaku. Bunga membalas dengan menggengam tanganku. Selama beberapa saat hening, kami tidak saling bicara, hanya memperhatikan keadaan sekitar yang masih dipenuhi dedaunan jingga berguguran.

Duniaku kini terasa berat ditambah sebentar lagi akan tiba musim dingin, aku biasanya akan disediakan minuman hangat oleh Ibu. Meski saat ini, semua bajuku rupanya telah disediakan Bunga di lemari, aku tetap membutuhkan air hangat sewaktu-waktu. Namun, dalam keadaan sekarang, rasanya tidak pantas bagiku untuk meminta.

Perutku keroncongan.

Kulihat kepala Bunga bergerak pelan, tangannya menunjuk ke arah pintu, barangkali bermaksud menyuruh aku pergi dapur. Aku menafsirkan kalau dia menyuruh untuk segera makan.

"Ayah tidak ikut makan?" Aku kembali bertanya, berharap dapat membantunya barang sedikit. Aku tahu kalau Bunga hanya makan dari sinar matahari, tapi kukira makanan lain setidaknya dapat sedikit membantu dia untuk pulih.

Bunga tunjuk ke arah jendela yang memantulkan matahari, barangkali itu makanannya yang utama. Ingin sekali aku tahu apa saja yang ayahku santap, agar bisa membantu memulihkan dirinya. Namun, sepertinya saat ini dia hanya mengandalkan sinar matahari.

Berat hati aku lepas genggaman, tapi tidak ingin menentang dengan tidak segera melangkah menuju dapur. Dalam ruang penyimpanan di sana, tersimpan beberapa makanan yang telah diawetkan. Meski sebagian besar berupa daging tanpa tulang yang sepertinya tinggal siap dipotong kecil, aku ingat kalau semua itu harus dimasak. Biasanya Bunga langsung memberiku makanan yang telah siap saji. Namun, saat ini tentu aku tidak bisa menyuruhnya, apalagi berani memasak sendiri. Kututup kembali lemari penyimpanan dan bergerak menuju lemari lain.

Saat mata menyusuri lemari makan di sebelah sana, terlihat sejumlah buah yang masih disimpan. Aku tahu jika Bunga dapat mengendalikan beragam tumbuhan, mungkin saja dia menumbuhkannya untuk berjaga-jaga. Ayahku bisa kubilang pria yang selalu siap siaga, walau melihat keadaannya saat ini sungguh tidak terduga bagiku. Barangkali dia sudah menerka sejak awal atau aku yang kurang bersiap.

Wonderful World of Flower [On Going]Where stories live. Discover now