8. Maafkan Aku

40 8 2
                                    

«???»

Pekikan tangis menggema. Begitu menyakitkan hingga nyaris membuat gendang telingaku pecah. Jika anak itu masih saja menangis, aku bersumpah akan menyumpal mulutnya sekarang!

Aku berlari menuju kamarnya. Bocah itu menangis lagi, entah apa maunya sekarang. Suaranya tidak pernah membiarkan telingaku tenang barang sejenak. Setiap kali dia ada, selalu saja berisik.

"Heh! Diam!" Aku tarik tangan bocah itu, menatapnya tajam.

Dia terenyak, saat itulah tangisnya terjeda. Matanya bengkak akibat terlalu lama menangis, sementara mulutnya ternganga. Mata cokelatnya terpantul wajahku yang dipenuhi bara api kemarahan. Dia harusnya paham betapa lelahnya aku mendengar jeritan dari dia.

"Nangis saja terus! Kau pikir Ibu bisa kembali hidup kalau kau menangis, ha?" bentakku. Aku lepaskan tangannya dengan keras. "Kalau kau menangis sekali lagi, bakal Abang buang!"

Bocah itu berlutut di lantai, dia tutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dapat kudengar isak tangisnya yang lirih, berjuang menahan diri agar tidak menangis lagi.

"Abang jahat!" serunya.

Aku berpaling dan melotot ke arahnya. "Dasar cengeng! Gara-gara kamu, Ibu jadi tewas!"

Dia balas seruanku dengan isak tangis.

"Diam!" Kubentak dia sekali lagi. "Kalau kau tidak minta mainan itu, sudah pasti Ibu tidak akan mencuri!"

Wajah adikku mulai memerah, sementara dia meringkuk di lantai, memeluk lututnya.

"Menangis saja sepuasnya, biar nanti Abang buang!" ancamku

Aku sebenarnya juga berduka atas kematian Ibu, pikiranku begitu kacau sejak mataku menangkap bayangan Ibu yang tergantung di atas sana. Namun, aku sendiri tidak sanggup memikirkan cara untuk menenangkan kami berdua. Tali gantungan yang mengikat leher Ibu terus tergiang.

"Ibu." Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut bocah itu. Dia ucapkan berkali-kali dengan gemetar.

Aku pun meninggalkannya, membiarkan bocah itu kembali meratapi dirinya.

***

Lututku kujadikan satu-satunya menopang badan selagi menahan air mata menetes. Mengapa hingga kini aku tidak bisa berhenti merasakan duka? Harusnya aku tidak menangis, itu tidak akan mengembalikan Ibu. Namun, tetap saja tangisku pecah. Kutahan mulutku agar tidak bersuara. Tidak ingin mempermalukan diri dengan sikap seperti itu.

Aku tidak boleh menangis. Aku harus tegar. Tidak pantas bagiku untuk meratapi nasib dan meringkuk dalam duka mendalam.

Ibu, kenapa kau harus pergi?

Harusnya kau tidak menyerahkan diri pada kepala desa, harusnya kau ambil saja harta pria itu. Dirimu tidak pantas digantung depan khalayak umum, membuatku tak berdaya meski darah terasa mendidih. Kau meninggalkan keluargamu dalam duka dan kesusahan.

Ibu, harusnya kau habisi saja pria itu. Jangan biarkan dia menyimpan harta rampasannya itu terlalu lama. Dia lebih pantas untuk–

Tangisan adikku kembali terdengar. Sebagian dari hatiku yang awalnya terbakar amarah berganti jadi gemetar. Hatiku terasa pedih setiap mendengarnya. Aku tidak pernah ingin melihat adikku menangis, apalagi sampai ketakutan menyaksikan kematian ibu kami. Dia tidak pantas menjadi yatim piatu. Dia tidak pantas menerima semua penderitaan ini.

Aku bangkit dan bergerak menuju kamarnya. Harus kutenangkan sebelum menciptakan keributan di desa.

Aku buka pintu kamarnya. "Sudah, sudah, jangan menangis!"

Wonderful World of Flower [On Going]Where stories live. Discover now