23. Terluka

21 7 2
                                    

Kembali ke rumah, Bunga membiarkanku masuk. Namun, begitu aku menoleh, berharap dia menyusul langkahku, dia berbalik arah dan berjalan kembali menuju hutan.

"Ayah!" Aku berseru. "Mau ke mana?"

Bunga tidak menyahut, walau hanya berdiam sejenak sebelum kembali melangkah. Jantung ini berdegup kencang, perasaan takut menyelinap, sadar kalau hari telah gelap dan dia justru memilih untuk keluar. Teringat lagi akan peringatan dari wanita itu, cemas kalau ayahku dalam bahaya. Namun, sekeras apa pun panggilanku, Bunga terus melangkah.

Aku mengatupkan tangan ke dada, berharap cemas ayahku bisa kembali pulang dengan selamat. Makhluk buas itu barangkali sedang bergerak mencari mangsa.

***

Bunga belum juga pulang walau sudah esok tiba. Meski begitu, aku takut mencari ke luar rumah, mengingat Bunga secara tidak langsung memberi isyarat agar aku berlindung saja di rumah. Pada malam mendekati hari ulang tahunku yang kedelapan, aku justru diberikan kado berupa kabar buruk. Bunga pulang dengan langkah terhuyung. Tubuhnya dipenuhi dengan tetesan darah dan luka bekas tusukan.

Makhluk itu telah melukai ayahku!

"Ayah!" Aku bergegas menghampiri dan mencoba membopongnya masuk, meski dia jauh lebih tinggi dariku. Bersusah payah aku mencoba menjaga keseimbangan agar kami tidak terjatuh.

Bunga terbaring di kasur kamarnya, badan dia gemetar, tangan dia berlumuran darah. Aku ambil kain basah dan mencoba membersihkan setiap luka di badannya, paling tidak di bagian yang terlihat saja.

"Ayah kenapa?" Kucoba bertanya dengan nada tenang, meski di lain sisi merasa cemas. Makhluk berbahaya yang diperingati tadi, harusnya ayahku tidak nekat keluar.

Aku tahu, diriku tidak akan mendapat jawaban pasti, tapi aku rasa kami tetap bisa saling bicara dan memahami walau dengan bahasa yang berbeda. Bunga memang tidak bicara, tapi kucoba memahami maksud darinya melalui gerak badan atau isyarat darinya.

Kulihat tangan Bunga yang sudah bersih tapi tetap gemetar, dia angkat tangan dengan pelan hingga mendarat pada pucuk rambutku. Ketika jemari dia mengelus helai demi helai, dapat kurasakan jarinya menyentuh kelopak-kelopak bunga kecil yang menghias sebagian rambutku.

Bingung, aku tidak menunjukkan pergerakkan apa pun. Kutatap dia, meski dia tidak memiliki raut wajah, aku seakan merasakan kehangatan yang dia pancarkan. Jemarinya bergerak mengelus kepalaku dengan lembut. Setelah itu, tangannya turun kembali ke kasur.

Aku tidak mengerti maksudnya. Kuperhatikan lagi badan dia. Kulihat ada bercak darah di balik pakaiannya. "Ayah, biar aku periksa lukanya." Aku meminta izin sebelum bergerak.

Dari gerak kepalanya Bunga, terlihat anggukan pelan.

Aku angkat pelan dua lapisan baju yang membalut tubuhnya. Bercak darah membasahi sebagian bajunya, sedikit lengket pada kulitnya sampai aku harus bergerak sepelan. Saat memeriksa luka bagian badannya, terlihat lubang besar yang kuduga jadi sumber rasa sakit yang dia rasakan, belum lagi bekas tusukan menyelimuti raganya. Tidak tampak ada senjata tertanam di sana, tapi begitu banyak bekas tusukan, membuatku curiga kalau ini bukan serangan biasa. Ini serangan dari makhluk buas pemangsa manusia tadi.

"Ayah ..." Bibirku bergerak, hendak bertanya apa yang terjadi. Namun, aku kembali sadar jika Bunga tidak bicara. Kalaupun misal takdir membuatnya menyampaikan isi hati dan pikiran dengan cara yang sama denganku, aku yakin Bunga tidak ingin memberitahu, karena mungkin saja anaknya ini tidak akan paham. Aku ubah topik. "Apa yang harus kulakukan?" Masih kurang paham cara mengobati luka separah ini, tapi ingin sekali membantu.

Kepala Bunga bergerak pelan menuju arahku, memberi tanda kalau dia sedang menatapku. Dia menggeleng, seakan memberitahu kalau hal itu tidak diperlukan.

"Ayah, biar Nanala bantu." Aku cemas, meski tidak tahu cara mengobati luka, aku coba mengingat pengalaman waktu Ibu mengolesi luka kecilku dulu. Biasanya terjadi ketika usai bermain dan tidak sengaja terjatuh atau tergores. Meski sudah kuterapkan di bagian tangan Bunga, aku yakin di bagian tubuh lainnya perlu perawatan lebih. Akan kucoba membersihkan luka yang tersisa.

Segera aku berlari ke dapur, memikirkan segala cara untuk memulihkan lukanya. Kulihat beberapa tambahan kain yang bisa membersihkan darah, segera kuambil beserta sewadah air. Kembali ke sisi Bunga, aku bersihkan luka dalam pada bagian perutnya. Berharap semua yang kulakukan dapat mengurangi rasa sakit ayahku.

Aku amati bahasa tubuh Bunga. Sesekali berhenti atau memelankan gerakan ketika tubuhnya tersentak, barangkali akibat terasa pedih saat bersentuhan dengan kain basah. "Maaf." Dengan lembut, kembali kulanjutkan, memastikan dia merasa nyaman. Luka pada bagian perut hingga dada dipenuhi tusukan dalam, pikiranku kembali tertuju pada pemuda yang dulu kami temui di hutan.

Garu itu.

"Ayah, siapa yang menyakitimu?" Aku usap lembut bagian luka yang masih meneteskan darah, beberapa sudah mulai mengering kecuali bagian perut yang begitu dalam. Belum pernah kulihat seseorang terluka separah ini.

Dari ujung pandangku, tangan Bunga yang gemetar kembali mendarat lembut ke rambutku. Jemarinya menyusuri helai demi helai dengan pelan. Meski sesekali dapat kurasakan tangannya sedikit tersentak akibat rasa perih dari lukanya. Dia tidak menjawab, hanya terus melakukan hal yang sama selagi aku berusaha menolongnya.

Kucoba menenangkan diri, juga dirinya. Walau jantungku sedari tadi berdetak tidak beraturan, aku tidak ingin membuat Bunga cemas akan diriku dalam kondisi dia yang lemah. "Sedikit lagi." Aku tutupi dengan pelan luka di perut dia dengan kain, berharap dapat menghentikan penderitaannya.

Bunga tidak bergerak, tapi batinku bersuara seakan dia tersenyum selagi mengelus rambutku.

Aku merasa sedikit lega saat darah mulai berhenti menetes. Kututup kembali bajunya dengan dibaluti sejumlah kain bersih yang kutemukan di dapur. Melelahkan memang, tapi tidak ingin kubiarkan itu menghalangi untuk menolong ayahku. Kembali memandangi Bunga yang berbaring lemah, tangan dia masih di atas rambutku. Merasa cemas, aku pegang tangan bebasnya. "Ayah?"

Bunga membalas dengan gerakan perlahan mengelus rambutku, tanda dia masih di sisiku.

Aku sadar tidak dapat membantu lebih banyak, hanya bisa menutupi tubuhnya dengan selimut. Tidak ingin menjauh, kuputuskan untuk berbaring di samping. Kubaringkan kepala pada dada ayahku, merasakan detak jantungnya berdetak pelan, tanda dia sudah merasa tenang.

"Cepat sembuh, Ayah." Aku berucap pelan sembari memejamkan mata.

Ayahku balas dengan menempatkan tangannya ke punggungku, seakan merangkul aku meski dalam keadaan lemah.

Padahal, sebentar lagi akan tiba hari aku bertambah usia. Biasanya aku diberikan hadiah yang manis. Dahulu, Ibu juga selalu memberiku bunga sebagai hadiah atau sekadar menyiapkan makanan enak. Namun, sepertinya saat ini keadaan sudah berbeda. Aku tidak lagi tinggal bersama ibuku–setidaknya itu yang Bunga katakan secara tidak langsung–dan tidak pula diriku bisa bermain kembali bersama teman-teman sebayaku di tengah hutan ini.

Hanya Bunga yang kini merawatku dan aku tidak ingin kehilangan ayahku.

Buset, kemarin santai aja mendadak pulang babak belur gini aowkwkwk

Buset kuadrat, dari Agustus gak update karena anu, alhasil jadi gini. Tenang saja, aku sebenarnya cuma mau bersantai dan fokus promosi sendiri waktu itu mengingat ini karya perlu apresiasi lebih ihiy.

Oh ya, terima kasih bagi yang sudah menunggu dengan santuy, aku harap segala urusanmu dimudahkan. Berhubung ini bab akan dilanjutkan seperti biasa, jadi kalian tidak perlu cemas nyehe.

Sampai jumpa di bab berikutnya dan jangan lupa jadi manusia!

Wonderful World of Flower [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang