6. Selimut dan Kalkun

67 13 2
                                    

« ??? »

Lagi-lagi, daganganku tidak laku. Padahal saat ini, sudah sewajarnya semua orang membeli selembar selimut, gunanya tentu untuk menghangatkan diri di musim dingin. Apalagi pada malam nanti akan jauh lebih menyakitkan bila tidak memakai penghangat.

"Selimut! Selimut! Ayo, dibeli!" Seruanku menggema secara percuma, karena semua orang tampak tidak mendengarnya. Meski aku keraskan suaraku, tidak juga ada yang menoleh bahkan melirik sejenak.

Aku menarik napas. Bersabarlah, ini baru seminggu sejak musim dingin, barangkali akan ada yang tertarik membeli selimut ini setelah pedagang lain kehabisan bahan. Kuharap begitu.

Kalau aku tidak berhasil menjual selimut ini, bagaimana aku bisa terus mengirit demi bertahan hidup? Uangku tersisa beberapa lembar saja, itu pun belum tentu cukup untuk membeli makanan yang membuatku kenyang.

Aku kembali duduk. Lelahnya berseru terus menerus. Begitu kakiku terlipat, kudengar sosok berjalan menghampiriku. Bayangannya berhasil menutupi seluruh badanku.

"Oh, kau mau beli?" Aku begitu bersemangat hingga tidak sadar wujud asli dari calon pembeliku.

Sosok berkepala bunga. Tingginya bahkan melebihi orang dewasa di sekitarku. Anehnya, sekelilingku yang tadinya lumayan ramai ini malah tidak terkesan peduli. Padahal sosok ini sudah tidak wajar dari wujudnya.

"Halo." Aku coba menyapa.

Tidak ada balasan. Dia hanya berlutut dan menunjuk selimutku. Oh, sepertinya dia mau membeli.

"Mau beli?" tanyaku, penuh harap. Aku tidak peduli makhluk apa lagi ini, selama dia bersedia membeli daganganku.

Dia mengangguk. Syukurlah.

Aku langsung menyerahkan selembar selimut itu. "Nah, sekarang bayar!" Aku lalu memberitahu jumlah uang yang harus dia serahkan, meski harganya tidak sampai separo dari harga selimut yang biasa dijual di pasaran. Diriku rela menurunkan harga agar ada yang bersedia membeli.

Sosok itu mencabut sehelai kelopak bunga yang menempel di kepalanya. Warnanya putih dan ujurannya cukup menutupi telapak tangan. Dia serahkan itu padaku.

Baru saja hendak berkomentar, kelopak bunga ini bersinar dan meresap ke tanganku. Namun, tidak ada yang terjadi setelah itu, aku bahkan tidak merasakan apa pun. Aku mendongak untuk melihat sosok bunga ini, menuntut penjelasan.

Sosok itu menangkup kedua tangan, seperti tanda sedang memohon. Dia mengangguk lalu menunjukku. Gerakan yang aneh. Memang memohon bukan hal yang biasa kulakukan sepanjang hidupku. Menyedihkan hidupku, tapi aku tidak negitu memohon belas kasih pada orang lain. Hanya dengan berdagang caraku menyambung hidup. Begitu melihat gerakan dari sosok berkepala bunga, aku jadi merasakan perasaan yang telah lama terkubur.

Meski tidak begitu paham maksudnya, kucoba jawab saja. "Maksudmu, kau memohon padaku?"

Dia menggeleng. Oh, berarti apa yang mirip dengan memohon tadi?

Kutebak sekali lagi. "Berharap?"

Dia mengangguk.

"Oh, baik, sebentar." Aku akhirnya paham.

Kucoba berharap sambil menutup mata untuk penghayatan yang lebih kuat. "Aku ingin makanan lezat yang tidak pernah kurasakan sebelumnya." Begitu bayangan apa yang kuimpikan telah tersampaikan melalui permohonan tadi, aku akhirnya kembali membuka mata dan bertatapan dengan sosok berkepala bunga.

"Jadi, apa sekarang?" Aku bertanya.

Sosok itu berdiri, dia mengangguk kemudian berpaling. Aku heran akan tingkahnya. Dia mungkin tidak dilahirkan untuk dapat berbicara, tapi setidaknya dia mau menghabiskan sedikit waktu bersamaku. Sudah lama tidak ditemani orang asing di luar keluargaku, rasanya hatiku sedikit tersentuh.

Wonderful World of Flower [On Going]Where stories live. Discover now