15. Sore Tenang Bersama Bunga

35 7 4
                                    

Rasa lega memenuhi hati ketika kami berhasil pulang dengan selamat. Kami melintasi daerah sekitar rawa yang familiar, tanda rumah kami kian dekat. Bunga dengan pelan menurunkanku di antara dedaunan merah yang menutupi tanah. Matahari sore kini tampak lembut, sisa dari pagi yang begitu terik.

Dia berlutut sehingga wajah bunganya mencapai ketinggianku. Bunga mengulurkan tangan dan memperlihatkan sekuntum bunga kuning.

"Makasih!" Aku meraih bunga itu dengan riang. Warna kuning selalu membuatku gembira karena selaras dengan rambutku. Aku letakkan satu di bagian atas rambut, menjadikannya topi kecil.

Bunga balas dengan mengelus pelan pipiku sebelum menuntunku kembali ke rumah.

Kami kembali masuk. Karpet merah segera menyambut pandanganku. Tidak lupa dengan sambutan kecil dari cahaya matahari yang menembus melalui dua jendela. Bunga melangkah membuka lemari yang terletak di tengah ruangan, dia keluarkan sebuah handuk kuning dan menyelimuti badanku.

Meski masih sedikit dingin, aku merasa hangat saat dia di sisiku. Terlebih ketika Bunga dengan lembut mengeringkan sisa-sisa rambutku yang masih sedikit basah. Meski kekuatan angin darinya sukses membuatku kering, aku tetap merasakan sisa sensasi dingin.

Bunga selesai mengeringkanku, dia kembali menggantung handuk tadi di depan rumah, tepatnya pada pagar depan sana yang tidak begitu tinggi. Kuperhatikan dia berdiri sejenak, membiarkan cahaya matahari menyelimuti badannya sebelum berbalik.

Dia menepuk pelan pucuk kepalaku lalu melangkah kembali ke rumah.

Masih mengingat kejadian tercebur tadi, baju kami masih basah dan perlu diganti. Bunga memberi isyarat dengan menunjuk ke kamarku, aku menebak kalau dia menyuruh untuk berganti pakaian.

Tanpa ragu, aku ke kamar dan membuka lemari. Meski di dalamnya tidak ada perubahan banyak sejak tinggal bersama Bunga, aku tetap senang ketika dia menyediakan banyak jenis pakaian untukku, terlebih warnanya kebanyakan terdiri dari kuning yang selaras dengan rambutku.

Aku raih salah satu piyama putih dengan motif bunga, meski baju ini belum pernah kukenakan, kain dan ukurannya tetap nyaman bagiku. Pikiranku melayang kembali ke bayangan masa lalu yang pernah Bunga tunjukkan.

Saat itu, aku baru dilahirkan dan Bunga ada di sana, merangkul dan membelai rambutku. Namun, hanya itu yang kutahu. Sementara penggalan kisah di masa lalu tentangnya tidak pernah terlintas dalam memori, hanya dia muncul saat hari pertama aku menghembuskan napas ke dunia dan beberapa waktu lalu.

Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar dan mencari Bunga. Kulihat ayahku tengah duduk di sofa ruang tengah tadi, membiarkan tubuhnya diselimuti sinar matahari sore yang masih tersisa. Dia sudah berganti pakaian, meski tetap warnanya serba putih dari baju hingga celana, mungkin itu warna kesukaannya.

Aku dekati dia dan meraih tangannya yang terbaring di sisi sofa. "Ayah sedang apa?" Meski jelas dia tidak akan menjawab secara lisan, aku tetap ingin membangun suasana ceria dalam rumah ini.

Kepalanya perlahan menoleh ke arahku, dia balas dengan membelai rambutku sebelum menunjuk ke arah sinar matahari.

Melihat ke arah yang dia tunjuk, walau tidak begitu memahami, aku mencoba menikmati momen keheningan ini bersama ayahku. Pikiranku kembali ke piyama yang kukenakan. "Ayah dari mana beli baju ini?" Aku hanya bergumam, tentu tidak akan mendapat jawaban langsung darinya.

Sepertinya Bunga mendengar ucapanku, dia menyentuh pelan ke dadanya sendiri.

Aku mencoba memahami. "Ayah bisa membaca pikiran?" Kutebak, mengingat sejumlah mimpi tentang orang-orang itu.

Bunga menggeleng.

Aku mencoba berpikir kembali. "Apa karena Ayah merasakan ... ikatan batin?" Aku menebak, mengingat perasaanku selama ini kala berjumpa dengannya di hari itu.

Bunga hanya membelai rambutku, barangkali jawaban itu kurang tepat.

Namun, aku tetap tersenyum, merasa kalau jiwa kami terpaut dalam ikatan keluarga yang tidak akan terputus. Barangkali dia tahu dari seseorang yang kenal baik denganku, aku jadi ingat seseorang. "Bagaimana dengan Ibu? Apa dia baik-baik saja?"

Bunga mengangguk, membuatku sedikit lega.

Terakhir kali kulihat Ibu tampak seperti biasa, dia menyuruhku untuk bermain dan aku sendiri malah tersesat di tengah hutan hingga bertemu dengan Bunga. Namun, ketika ayahku menunjukkan ingatan masa lalu itu, barangkali mereka berdua pernah terikat janji dan akhirnya aku mendapat giliran untuk diasuh Bunga. Terdengar sedikit aneh bagi aku yang masih kecil ini, tapi kucoba memahami.

"Jadi kangen Ibu," ujarku. "Boleh kita kunjungi nanti?"

Bunga menggeleng.

"Kenapa?" Sedikit kecewa mendengarnya, tapi aku mungkin tidak akan paham. "Ayah marah dengan Ibu?"

Bunga tampak menunduk, dia menggeleng pelan.

Aku masih bingung, apa alasan Bunga dan Ibu memutuskan untuk hidup terpisah? Mengapa tidak serumah saja seperti orang tua lain?

Pikiran lain terlintas dalam benakku. Aku memberanikan diri bertanya lagi. "Apa Ibu dan Ayah ... berpisah?" Mungkin ini urusan orang dewasa yang seharusnya tidak aku ketahui saat ini. Namun, sebagai anak mereka, rasanya janggal tidak memiliki orang tua secara lengkap.

Tidak kusangka, Bunga perlahan mengangkatku ke pelukannya, membiarkan kami berdua duduk disirami cahaya mentari sore yang sebentar lagi tenggelam. Bunga masih mendekapku, jantung dia berdegup dengan tenang. Tangannya membelai rambutku, membuat aku terbuai dalam pelukannya.

"Aku merindukan Ibu." Aku mengungkapkan perasaan sambil memegang jemari Bunga, berharap dia memahami diriku.

Bunga balas dengan memelukku erat, barangkali dia sendiri juga tidak bisa menjelaskan padaku. Biasanya orang dewasa menyembunyikan banyak hal, tenggelam dalam lautan renungan yang mungkin tidak akan kupahami hingga waktunya tiba.

Aku hargai privasi Bunga dengan duduk bersamanya tanpa bertanya lebih banyak. Barangkali ada sesuatu yang terjadi antara kedua orang tuaku sehingga mereka memutuskan untuk menjalani hidup dengan pilihan masing-masing, tanpa perlu bersama lagi. Meski aku belum memahaminya saat ini, barangkali saat beranjak dewasa, aku akan memahami kehidupan di sekelilingku. Untuk sekarang, barangkali tugasku hanya menjadi anak berbakti pada orang tua, meski kini hanya Bunga yang ada untukku. Namun, di sisi lain aku juga berharap terbaik untuk Ibu di luar sana. Dia mungkin merindukanku juga, kuharap kami dapat bertemu kembali dan bersatu menjadi keluarga yang utuh.

Kala matahari tenggelam menyisakan kegelapan malam, Bunga dengan lembut menggandeng tanganku ke kamar. Dia membungkus aku dengan selimut lalu mengelus rambutku, membiarkan aku semakin terbuai dalam alam mimpi.

Saat jiwaku kembali melayang ke alam mimpi, aku membayangkan keadaan keluargaku yang utuh. Bersama Bunga dan Ibu, kami berjalan bergandengan menyusuri hamparan rumput kuning di suatu sore, membiarkan angin mengelus pelan raga kami dalam kebersamaan.

Semakin dalam menuju alam mimpi, aku berharap suatu saat nanti kami dapat bersatu kembali menjadi keluarga yang utuh. Jika orang lain masih takut akan penampilan ayahku, aku yakin perlahan dia akan diterima dan menjadi bagian dari desa kami tanpa perlu merasa cemas akan kehadirannya, karena Bunga selalu ada untukku dan aku tidak ingin dia maupun Ibu terpisah. Mereka berdua adalah segalanya bagiku.

Ketika kegelapan perlahan menyelimuti pandangan, aku masih merasakan pelukan hangat dari Bunga. Dia selalu memastikan aku merasa aman dan nyaman bersamanya. Gelapnya malam tidak akam membuatku takut karena aku yakin ayahku akan selalu menjagaku.

Wah, habis bab awikwok yang rada anu, sekarang balik ke bagian yang santainya ya gak sih?

Btw, karena sudah mulai anu, aku bakal tetap lanjutin ni cerita biar makin anu. Lengkap sama sejumlah ilustrasi yang aku pesanakn khusus pembaca cerita luar binasa ini. Sampai jumpa nanti!

Wonderful World of Flower [On Going]Where stories live. Discover now