25. Menyelamatkan Bunga

47 8 16
                                    

Cahaya mentari menerangi ruangan dengan hangat, tetapi kehangatannya tidak menyentuh kulit dingin Bunga yang terbaring di sisiku. Aku masih melingkari tangan di sekitar Bunga sejak semalam, tapi tidak juga tampak ada perubahan. Kepalanya yang berbentuk bunga tampak layu terbaring di bantal, tanpa lagi mekar seperti biasa. Sementara badannya masih diam dibalut selimut bersamaku, meski tidak lagi gemetar, dapat kurasakan dingin dari kulitnya yang kini pucat. Terasa tak berdaya menyaksikan ayahku seperti itu.

Aku duduk dengan perlahan, mencoba mencerna suasana hatinya pagi ini. Dia tampak tenang, tanpa menunjukkan gerakan saat aku coba membangunkan dengan sedikit menggoyangkan tangannya. "Ayah?" Hanya suaraku yang memecah keheningan pagi. Saat aku remas tangan Bunga, sentuhan dingin dari tangannya masih terasa sejak kemarin. "Ayah?"

Tidak ada balasan.

Detak jantungku berdegup kencang, napas terasa berat beriringan dengan cemas menyelimuti hati. "Ayah!" Panggilanku menggema, berharap ayahku segera bangun.

Namun, Bunga tetap tidak menyahut. Dadanya bergerak naik turun dengan samar, tangan dia terbaring di bagian perut bekas luka malam itu, masih terlihat bercak merah di balik kain yang menutupi lukanya. Aku baringkan kepala pada dadanya, memastikan dia masih bersamaku. Terdengar detak jantung pelan, seakan menyahut panggilanku meski hampir tidak terdengar–napasnya kian melemah.

Dunia terasa berhenti berputar, sadar jika ayahku harus segera diselamatkan, tahu betul jika kami tidak bisa hanya saling mengandalkan satu sama lain. Dia tidak bisa dibiarkan seperti ini lebih lama, nyawanya dalam bahaya. Jika aku kehilangannya ...

Muncul ingatan akan beberapa hari lalu, tepatnya pada pertemuan di sungai. Pikiranku tertuju pada manusia di luar sana.

"Ayah, Nanala mau..." Aku ingin menyampaikan keinginan untuk membantu, tapi mengingat dia sedari kemarin tidak ingin aku pergi jauh membuatku ragu. Bunga mungkin akan mencegahku lagi, sementara keadaan akan memburuk jika dia terus menolak bantuan.

Tidak ingin membuatnya cemas, aku kembali merapatkan selimut pada Bunga, berharap memberi kehangatan selagi aku pergi. Melihat ayahku tidak bergerak untuk bereaksi, aku yakin dia masih terlalu lelah untuk bangun. Tidak boleh diganggu, dia harus beristirahat.

Dengan berjinjit, aku melangkah keluar dari kamar, menoleh sebentar untuk memastikan kondisi ayahku. Dia masih terbaring dibalut selimut, tampak tidak menyadari kepergianku nanti. Meski tidak ingin Bunga tahu, aku merasa perlu meminta izin walau hanya dengan berbisik. "Ayah, jaga diri." Kututup pintu dengan pelan, berharap dia tidur dengan nyaman.

Pintu rumah terbuka, menampilkan pemandangan halaman depan dihiasi rawa memantulkan sinar matahari pagi. Tanaman penghuni hutan terlihat damai menyambut pagi, beriringan dengan kicauan burung dan suara binatang kecil. Belum pernah aku melangkah ke luar rumah tanpa Bunga, terakhir itu terjadi saat hari pertama kami bertemu.

Ya, aku masih ingat hari itu. Saat Ibu menyuruhku untuk pergi bermain, gembiranya hati mengira pada akhirnya bisa leluasa bermain, tanpa menyadari aku mungkin tidak akan kembali. Barangkali pula kedua orang tuaku telah berjanji jika suatu saat nanti aku akan tinggal dengan salah satu dari mereka, tanpa memahami mengapa. Ingat saat Ibu mengirim surat padaku melalui perantara Bunga, berpesan untuk menjaga diri baik-baik. Kini, aku mungkin telah mengambil risiko melangkah menuju kedalaman hutan seorang diri, tanpa mengingat sepenuhnya rute pulang.

Aku harus pergi, demi ayahku.

Hutan yang menutupi area sekitar rumah memang tidak seseram dahulu saat aku pertama kali menginjakkan kaki di sini, tanpa Bunga di sisiku suasana dalam hutan yang tenang membuatku waspada. Teringat akan pertemuan dengan beruang berbunga, meski kemudian dipertemukan dengan beragam binatang dan tumbuhan yang begitu cantik. Hanya saja, dunia terasa berbeda saat aku melangkah seorang diri tanpa didampingi orang tua. Tidak dapat menerka bahaya tengah mengintai atau itu semua hanya dalam pikiranku.

Mengingat seseorang yang pernah aku jumpai waktu itu, kuharap bisa menemukan jejak yang dia tinggalkan waktu itu. Mencari dari pepohonan tempat dia dulu pernah memberi tanda, aku coba mengamati sekitar sembari berjuang mencari jalan pintas saat ada kayu besar menghalangi jalan. Sedikit sulit untuk memanjat, tapi aku tidak ingin membuang waktu, Bunga harus segera diselamatkan.

Saat mencoba turun dari kayu besar yang menghalangi jalan, tubuhku terguling hingga terhempas, erangan pelan lolos dari bibir saat merasakan kerasnya tanah. Mencoba kembali bangkit meski sedikit bergetar dipengaruhi rasa kejut dan takut. Setidaknya belum ada binatang buas seperti beruang yang tengah berkeliling hutan.

Suasana hutan di pagi hari, meski tampak serupa dengan hari sebelumnya, aku memandang nanar keasrian di depan mata yang seharusnya memberi kesan tenang. Jantung terasa ingin bergerak keluar selagi langkahku kian dekat menuju sebuah pohon yang tampak mencolok di antara pepohonan sekitar. Ada tanda. Itu pasti darinya.

Aku menarik napas, berusaha menenangkan diri sembari memandang tanda yang wanita itu berikan pada pohon. Pikiranku langsung tertuju pada bayangan desa tempatnya tinggal, barangkali orang di sana dapat membantu, teringat saat dia memberitahu tentang makhluk itu.

Makhluk yang selama ini bersemayam di hutan, mendengarnya sudah membuat bulu kuduk meremang. Belum pernah aku belajar untuk melindungi diri, terlebih dalam situasi asing di tengah hutan sendirian diiringi bayangan makhluk berbahaya yang akan memangsaku. Ini alasan Bunga sering keluar rumah, dia berjaga di sekeliling hutan, memastikan makhluk itu tidak mencoba mencapai rumah.

Keraguan kembali menyelimuti hati, amankah jika aku membiarkan Bunga tidur sendirian di rumah sementara dia sakit? Namun, kalau aku tidak bergerak, kondisinya akan memburuk. Dia keluargaku yang selama ini dicari, setelah sekian tahun hidup dalam misteri akan keberadaan ayahku, menyadari betapa dia menyayangiku selama ini. Ibu mungkin juga akan sedih jika tahu ada hal buruk terjadi padanya.

Aku meneruskan langkah, tanda-tanda memandu jalanku menuju tempat pertolongan entah di mana, satu demi satu yang menghias pada setiap belokan di antara pohon seakan menyeruku untuk tidak membuang waktu. Kaki masih gemetar setelah jatuh dipengaruhi rasa takut, berharap cemas dapat tiba ke sana dan menyelamatkan ayahku.

Begitu langkahku semakin jauh dari tanda pertama, terlihat bayangan manusia dari kejauhan. Tangannya melambai ke arahku. "Hei!" Suara yang familier, jantungku berdegup kencang mendengar suara yang aku tunggu.

Wanita itu berdiri di tengah hutan, di tangannya masih menggenggam keranjang kecil dipenuhi beberapa jenis buah. Dialah yang memberiku tanda pada setiap belokan.

Aku berlari mendekat, tanpa ragu memohon dengan berseru. "Tolong, ayahku! Dia terluka parah!" Aku gemetar sembari menahan air mata, rasa takut yang tertahan sejak awal aku melangkah keluar rumah bercampur padu dengan perasaan cemas akan kehilangan.

Wanita itu memandangku, wajahnya menatap tajam sementara air mata menghias pipinya. "Kau harus segera pergi, makhluk itu telah menghancurkan desaku!"

Buset dah, udah lama bet gak update. Mohon maaf banget karena aku terkens suatu penyakit yang disebut sebagai writer's block yang belum ditemukan obatnya kecuali melawan sendiri.

Anyway, untuk bab terbaru ini memang mengaitkan beberapa bab sebelumnya tentunya. Pada masih ingat gak? Kalau enggak, bisa baca ulang dikit, mayan nambah view cerita ini huehuehue!

Makasih udah baca dan dukung aku, ya. Sampai jumpa di bab berikutnya!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 06 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Wonderful World of Flower [On Going]Where stories live. Discover now