13. Monster

33 7 0
                                    

« Porter »


Dia yang telah memangsa jiwa-jiwa itu akan mendapat ganjaran atas perbuatannya. Kami telah bersiap untuk menghabisinya malam ini juga, kalau gagal, paling tidak kami telah mati berjuang.

"Kau sudah siap?" Aku bertanya pada pemuda itu, meski dia mengenalku karena kematian ibunya di tangan Ayah, aku harap dengan membantu dia dapat sedikit mengobati luka batinnya.

Aku mengenal namanya juga bukan dari situasi yang baik pula, menyaksikan ketika ibunya diseret ke depan rumah. Algojo siap menarik tali gantung yang akan mengangkat jiwanya kembali ke sang Pencipta. Wanita malang itu menunduk, dapat kulihat air mata membasahi wajahnya.

Kudengar suara seorang pemuda menjerit. "Jangan! Jangan sakiti Ibu!"

Sang ibu berseru balik–

Pemuda itu masih saja menunduk. "Aku ragu apa lagi yang tersisa bagiku untuk hidup."

"Kita habisi dia, balas keburukannya." Kucoba mengobarkan semangatnya. "Ayo, Sahil, kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Adikmu pasti sedih kalau melihatmu seperti itu."

"Sohan ..." Kudengar dia mengucapkan nama itu dengan lirih.

Aku menepuk bahunya. "Ayo!"

Kudengar dia berdecak, tapi tidak sanggup berkata-kata. Aku yakin dia ingin sekali menyanggah, tapi tiada kata yang muncul. Ketika melihatnya berdiri, aku langsung bergerak menuju pintu.

Monster itu harus tewas. Apa yang dia perbuat sebelumnya tidak pantas dimaafkan!

***

Sehari yang lalu, kami masih dalam perjalanan mencari tempat yang aman. Aku, Ayah, dan pelayan kami, bergerak semakin lamban sepanjang jalan. Kaki mulai terasa berat seiring bergantinya lanskap. Aku merasa kami telah mencapai batas antar wilayah dan kemungkinan besar telah lolos darinya.

"Ayah, aku lelah," keluhku. "Monster itu sudah pasti jauh."

Kulihat pelayan kami menoleh ke belakang, diam sejenak seakan sedang mencari sesuatu. "Tuan-tuan sebaiknya beristirahat sejenak. Aku yakin kita sudah jauh darinya."

"Terima kasih, Marisa!" Aku sebut namanya dengan penuh kegembiraan.

Maka, kami bertiga duduk di atas batu berukuran besar untuk kami bertiga. Marisa mengeluarkan sejumlah bekal roti lalu membaginya menjadi tiga bagian, kami santap bersama dalam keheningan.

Aku amati Marisa, dia seakan sedang melihat selembar kertas dengan cermat. Penasaran, kutanya dia. "Gambar siapa itu?"

Marisa menoleh padaku, harusnya dia paham karena hanya dia yang mengenggam selembar kertas di sini. "Ini surat terakhir dari adikku. Dia tulis sehari sebelum menghilang. Dia salah satu korban yang menghilang bersama para penghuni penginapan, dimangsa monster bunga."

Aku terdiam, tidak mau membahasnya lebih jauh. Tidak heran kalau dia tampak serius membahas soal sosok berkepala bunga itu. "Bagaimana cara kita melawannya?"

"Aku rasa, kita harus lebih gesit darinya," ujar Marisa. "Gerakannya begitu cepat, bahkan tidak pernah terdengar ada korban yang selamat. Hanya kabar burung dari saksi di luar yang melihat jejak kelopak bunga putih yang berceceran. Dia dapat mengubah orang menjadi bunga, entah untuk apa."

Wonderful World of Flower [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang