11. Penampakan

28 6 0
                                    

« Porter »

"Kudengar laporan orang menghilang di minggu ini meningkat."

Ayah tentu tidak senang mendengar kabar yang disampaikan oleh pembantu kami. Terlebih laporan orang menghilang sudah menyebar sejak tahun kemarin, tepatnya pada musim panas yang lalu. Malam kemarin saja sudah terlapor paling tidak satu keluarga menghilang dalam satu malam, mereka semua tinggal di desa yang sama dengan korban sebelumnya. Ini jauh lebih parah mengingat laporan orang menghilang biasanya hanya berjumlah satu sampai dua orang saja. Bukan menyepelekan, aku kira itu tadi hanya kasus menghilang seperti biasa yang terjadi, terlebih kebanyakan korban adalah orang tak berkeluarga. Pelaku kejahatan biasa mengincar mereka karena ketika menghilang, tidak ada yang mencari.

"Ini tidak bagus." Pelayan kami melanjutkan. Tentu saja, tidak ada yang mengharap hilangnya orang-orang malang tadi. "Kurasa ada kaitannya dengan penampakan aneh akhir-akhir ini."

"Penampakan apa?" Ayahku yang tadinya sibuk membaca laporan mulai mengangkat kepala dan menatap pelayan kami.

"Kudengar kalau selama sebulan ini terdapat banyak laporan penampakan sosok berkepala bunga, dia memiliki tinggi sekitar dua meter dan diduga sebagai penyebab hilangnya para warga." Dia menjawab.

"Apa maksudmu?" sahutku. "Penyihir? Monster?"

"Aku tidak tahu." Dia menggeleng. "Namun, semua laporan menyebutkan ciri-ciri yang sama. Sejumlah warga yang tinggal berdekatan dengan korban yang melaporkan."

Aku ingat, ada satu keluarga yang menghilang secara misterius dalam satu malam. Sudah pasti yang akan ditanya adalah tetangganya, kali ini mereka memberi kesaksian telah melihat sosok berwujud aneh.

Desa kami memang sudah lama bermasalah dengan makhluk aneh itu, bahkan sudah dikembangkan sejumlah senjata racun guna mengusir makhluk-makhluk jahat yang mengincar jiwa kami, meski ujungnya mereka juga ikut berkembang. Dunia yang kami tinggali tidak pernah menjadi tempat aman bagi bangsa manusia, tapi kami terpaksa melawan untuk bertahan. Jika masalah makhluk berkepala bunga ini pemicunya, maka kami wajib mengusirnya dari desa ini sebelum dia memakan lebih banyak korban.

"Apa ada kaitannya dengan hilangnya warga sini?" Aku bertanya. Siapa tahu makhluk itu mungkin hanya sekadar lewat.

"Kemungkinan besar." Pelayan kami menatapku. "Laporan terakhir sehari sebelum hilangnya korban adalah kemunculannya. Belum ada saksi dari peristiwa tadi, mereka hanya warga yang kebetulan melihat penampakan sosok aneh di desa. Apalagi di musim gugur ini, sudah pasti makhluk berbahaya mulai berkeliaran dan dia mungkin salah satunya."

Ayah menatap ke jendela, di luar sana tampak daun-daun berguguran seperti beberapa minggu yang berlalu. Setiap malam selalu begitu, meski tampak tenang bukan berarti suasana yang dirasakan juga nyaman. "Musim gugur juga bisa jadi salah satu faktor datangnya binatang buas, barangkali mereka mengumpulkan makanan dan mempersiapkan diri menghadapi musim dingin. Tapi, kalau soal penampakan makhluk itu, sebaiknya kita utus beberapa orang penjaga untuk memastikan kebenaran berita ini. Ke mana para penjaga desa selama ini?"

Pelayan kami diam saja.

Ah, benar. Aku bahkan lupa kalau desa kami biasa dijaga secara bergilir oleh para pemuda secara sukarela. Biasanya mereka diutus menjaga desa ini selama satu malam untuk memastikan tidak ada kejahatan, mengingat tingkat kejahatan saat kegelapan tiba itu lebih gencar dilakukan. Memang kadang Ayah memberi mereka upah cukup besar, tapi yang berjaga pun perlahan berkurang, bahkan pernah sepanjang malam tidak ada yang berjaga sama sekali. Untung saja waktu itu desa tidak mengalami kejadian apa-apa, tapi itu sudah cukup membuat ayahku geram.

"Sudah kuduga, mereka pasti berhenti berjaga." Ayah mendengkus, beliau tentu tidak menutupi kekecewaannya. Dia lalu menatapku, "Porter, panggil pemuda yang biasa berjaga ke sini."

Aku paham apa yang dia inginkan, maka segera aku bergerak menuju rumah pemuda itu. Dia tinggal cukup jauh dari rumah, letaknya ada di tengah desa, terhimpit di antara rumah warga yang lebih besar. Meski demikian, dia sebenarnya tinggal bertetangga dengan saudara dan orang tuanya. Kudengar dia memang ingin hidup sendiri terlebih setelah memutuskan untuk bekerja menjaga desa ini. Namun, seperti yang dikatakan sebelumnya, dia tidak berpatroli selama beberapa hari ini. Tentu tidak aman bagi desa, harusnya dia berjaga atau paling tidak mengutus pengganti demi keamanan.

Tibalah aku di rumahnya yang hanya terdiri dari kayu dan bertingkat satu. Meski tampak menyedihkan, dia sepertinya nyaman tinggal di sana. Pernah Ayah tawarkan untuk pembangunan lebih baik bagi rumahnya–tentu saja setelah gajinya terkumpul–tapi pemuda itu menolak. Aku bergerak ke pintu lalu mengetuknya, kupanggil namanya berkali-kali.

"Kau di dalam?" Aku ketuk pintu sekali lagi sebelum akhirnya jeda.

Namun, tidak ada balasan. Aku coba ketuk lagi pintunya, tidak ada juga respons.

Aneh, jika selama ini tidak di rumah, kenapa tidak bilang saja? Maksudku, dia bisa mengutus orang lain untuk menggantikannya nanti. Kalau nanti kembali, dia pasti akan menerima banyak nasihat.

Jangan-jangan ...

Aku berpaling, tapi langkahku tercegat oleh sosok tinggi yang berdiri tepat di depanku. Tidak mampu bergerak, pandangan bwrpusat pada sosoknya. Ingatan akan ciri makhluk itu kembali tergiang. Tubuhku terasa kaku, seakan makhluk itu berhasil mengunci raga agar tidak lepas dari terkamannya.

Tinggi dua meter, berkepala bunga. Dua ciri cocok dengan sosok yang berdiri di depanku. Namun, dia tidak bergerak barang sedetik. Aku menarik napas, menahan diri agar tidak menunjukkan kalau sedang takut. Dia jelas tidak seperti manusia, diri ini tentu merasa dalam bahaya kalau melihat sesuatu yang berbeda dari biasanya. Namun, sebagai putra kepala desa, aku harus berani dan menunjukkan wibawaku. Maka, kucoba menatap wajahnya yang hanya terdiri dari bunga putih itu lalu bicara dengan pelan.

"Selamat datang." Aku berusaha tenang dan kembali menarik napas. "Ada yang bisa kubantu?"

Sosok itu memiringkan kepala bunganya, hanya diam. Ketika kutunggu cukup lama, akhirnya dia dekatkan tinjunya padaku.

Aku mundur selangkah, mengira dia akan menyerangku.

Namun, di balik kepalan tangan itu, dia keluarkan setangkai bunga putih, dia dekatkan padaku.

Merasa aneh, kucoba tolak dengan sopan. "Maaf, aku kurang tertarik dengan bunga. Ada keperluan apa kau ke sini?" Aku kembali bersikap ramah meski kesannya agak terpaksa.

Makhluk itu kembali menatapku, kali ini dia tunjuk ke arah rumah penjaga desa kami.

"Dia tidak sedang di rumah, tadi kuketuk pintunya, tidak ada balasan," ujarku. Kuharap makhluk ini mengerti maksudnya. Tingkahnya yang aneh membuatku ragu apakah dia benar-benar memahami bahasa manusia.

Makhluk itu berjalan maju, dia sentuh pintu rumah itu dengan telapak tangan kanannya. Tak lama, pintu tadi dipenuhi dengan sulur-sulur yang perlahan merusak pintu tadi–

Hingga hancur.

"Hei, jangan rusak properti warga!" tegurku dengan percuma.

Makhluk itu mengabaikan, dia langsung saja masuk tanpa sekali pun menoleh. Aku lekas mengikutinya, takut kalau dia berbuat sesuatu yang membahayakan.

"Hei! Tunggu!" Aku berseru.

Kami berhenti di ruang depan, tepat beberapa langkah dari pintu. Depanku, tampak pemandangan yang tidak ingin kulihat.

Di hadapanku terdiri dari tumpulan bunga-bunga putih ditata begitu rapi hingga tersusun layaknya atap rumah. Mereka tampak cantik menghias rumah ini, juga menyebar aroma wangi di sekeliling rumah ini. Tidak sampai di situ, di bagian puncaknya terdapat kepala manusia sebagai penghiasnya.

Wah, wah, untuk pertama kalinya ada nama untuk tokoh-tokoh dengan sudut pandang lain ini. Kini, kalian mulai bisa melihat sedikit keadaan di dunia luar selain kehidupan Nanala bersama Bunga. Yah, mungkin cuma sepintas atau dua pintas, tapi sudut pandang yang ini akan berbeda dibandingkan sebelumnya karena ... Jeng! Jeng! Nanti aja wkwkw

Jangan lupa vote dan komen, ya! Sampai jumpa nanti!

Wonderful World of Flower [On Going]Where stories live. Discover now