14. Sosok di Hutan

27 8 0
                                    

Meski sedikit kedinginan akibat tercebur, aku masih bisa menemukan kehangatan dalam dekapan Bunga. Dia terus melangkah sambil memegangku dengan lembut. Membiarkan dedaunan musim gugur menghujani kami di bawah sinar matahari yang terik.

Dia gendong aku dengan sebelah tangannya, sementara aku melingkari lehernya dengan kedua tangan. Bunga melangkah pelan menyusuri hutan, dedaunan pun hampir tidak terdengar ketika dia menginjaknya.

Aku coba meraih tangan bebasnya. Saat aku membungkuk, seakan memahami keinginanku, dia mengelus pipiku dengan ujung jarinya. Kubalas dengan menempelkan tangan dia pada pipi, merasakan kehangatan darinya.

"Nanti besok kita ke sini lagi, ya." Aku meminta dengan penuh harap. "Mungkin Ayah bisa mengajariku berenang."

Pengalaman tercebur tadi tidak membuatku takut. Meski awalnya jantung terasa copot, tapi dalam pelukan Bunga, aku merasa setiap tantangan di dunia ini tiada artinya.

Bunga balas dengan mengelus rambutku yang masih basah, seakan mengiakan. Dia terukan langkah, semakin jauh dari sungai menuju rumah kami yang terletak dekat rawa.

Aku pandangi sekeliling, dedaunan merah masih menutupi tanah ditambah angin yang kencang membuatku sedikit menggigil. Kutempelkan kepala ke bahu Bunga, mencari kehangatan dari satu-satunya sosok yang ada untukku.

Bunga pererat pelukan, dia jelas paham betapa kedinginannya aku. Namun, aku juga cemas kalau ayahku juga merasakan hal yang sama. Jadi, aku lingkari kedua tanganku ke leher dia dan membiarkan kami berdua saling menghangatkan.

Aku pejamkan mata sejenak, membiarkan semilir angin membelai rambutku yang basah. Meski terasa dingin, aku masih merasakan sedikit kehangatan pelukan dari Bunga.

Telingaku menangkap suara langkah kaki menginjak dedaunan dengan keras. Refleks mataku terbuka dan melihat sosok bayangan dari kejauhan. Berjalan ke arah kami.

"Ayah?" Aku berbisik, mencoba memperingati Bunga akan apa yang kulihat.

Bunga menghentikan langkah, semakin erat pelukannya. Namun, tidak juga berpaling atau menunjukkan reaksi lain dari itu. Jantungku berdegup kencang, tidak senada dengan miliknya yang masih tenang. Barangkali sudah terbiasa dengan penampakan aneh di hutan, tapi aku belum begitu kenal akan keadaan di sini.

Bunga mengelus pelan punggungku, seakan berusaha menenangkan meski aku tetap gemetar melihat bayangan itu mendekat di depan sana, berlari kencang ke arah kami sambil membawa sebuah garu.

"Ayah!" Aku refleks teriak ketakutan.

Bunga mundur selangkah, masih mendekapku erat.

Daun-daun yang berguguran menyerbu sosok bayangan itu, membuat dia terhalau hingga melemparnya ke belakang. Tubuh itu terempas di antara dedaunan merah sambil memegang erat garu tadi.

Bunga berdiri tegap, tangannya masih mencengkram punggungku, memastikan aku tidak jatuh. Dapat kurasakan jantungnya berdegup kencang, seirama denganku. Sementara aku mengatur napas, berusaha menenangkan diri dari kemunculan yang tak terduga.

Begitu dedaunan mulai kembali ke tanah, terlihat jelas sosok yang nyaris menyerang kami. Dia masih menggenggam erat garu itu, menggerutu pelan sebelum mencoba berdiri dan menatap tajam ke arah kami. Seorang pemuda.

"Ayah, siapa itu?" Aku kembali bertanya, kedua tangan masih merangkul lehernya.

Bunga balas dengan membelai lembut rambutku, seakan mencoba menenangkan aku yang masih dilanda ketakutan.

Pemuda itu terperangah, kedua tangan masih siaga dengan garu, tapi dapat kulihat dari sorot matanya yang gemetar menatap kami.

Sudah kuduga, dia pasti takut melihat ayahku. Setiap manusia yang kulihat melalui mimpi selalu memandang buruk dia.

"Ayah itu baik!" seruku. "Jangan sakiti dia!"

Bunga mempererat pelukan, entah apa maksudnya.

Pemuda itu masih menatap kami dengan tajam. Mata birunya seakan menolak untuk mengalihkan pandangan dari kami. Dia melesat sambil mencengkaram garu itu. Tampak ingin menyerang lagi.

Bunga berpaling sambil masih mendekapku erat, selagi dedaunan dan angin berembus kencang di belakang. Layaknya badai yang seketika memporak-porandakan seisi hutan yang dipenuhi dedauan merah. Menciptakan ilusi badai salju yang biasa kusaksikan melalui mimpi. Inilah kekuatan Bunga, dia dapat mengendalikan angin dan memanipulasi apa pun yang dapat terbawa dengannya.

Aku berpegangan erat pada leher Bunga, memastikan kami tidak terpisah. Meski masih gemetar, tetap waspada kalau saja pemuda itu kembali mencoba menyerang.

Namun, sejauh mata memandang, hanya badai daun menutupi pandangan. Tiada suara yang terdengar selain desiran angin dan gesekan dedaunan, tanda kemungkinan pemuda itu telah lenyap dilempar kembali ke tempat dia berasal.

Siapa dia? Mengapa tiba-tiba mencoba menyerang ayahku? Kutatap sosok Bunga yang berdiri diam memandang hutan dipenuhi dedaunan beterbangan, membiarkan kelopak bunganya melambai pelan mengikuti arah angin. Tentu saja, dia tidak akan berkomentar tentang peristiwa tadi. Namun, aku merasa ayahku pun tidak akan memberitahu aku karena barangkali dia juga tidak tahu siapa sosok itu.

"Ayah tidak apa-apa?" Aku menatapnya cemas, teringat dengan garu yang dipegang pemuda itu.

Bunga balas dengan mengelus pipiku, memberi isyarat jika semua baik-baik saja. Aku jadi lega.

Badai tadi sukses membuat rambutku berantakan, tapi Bunga sisir rambutku dengan jemarinya. Meski awalnya terasa sakit akibat rambut yang kusut, perlahan mulai lembut dan kembali tertata dengan semestinya.

Aku balas dengan membenamkan wajah ke dadanya, merasa aman ketika dia di sisiku. Dia bahkan baru saja melindungi aku dari serangan tadi, pilihan untuk hidup bersamanya merupakan takdir baik bagiku.

Dapat kurasakan Bunga kembali memacu langkah selagi dedaunan menutupi pandangan kami. Badai telah reda, tapi dedaunan masih beterbangan dan nyaris menutupi pandangan. Saat musim gugur, hampir seluruh pohon menyerahkan daun mereka kembali ke bumi. Saat itu juga, Bunga tutupi jejak langkah kami dengan serbuan daun, menutupi pandangan pemuda itu.

Aku masih berpegangan erat ke bahunya, meski masih tersisa rasa takut akibat kejadian tak terduga tadi, tapi setidaknya aku merasa aman karena ada sosok yang menjagaku. Bunga melangkah kembali ke arah rumah, meski jaraknya masih lumayan jauh. Namun, setidaknya pemuda itu akan sedikit kesulitan mencari jejak kami setelah kejadian ini.

Terus melangkah, Bunga tetap menatap lurus dengan kepala tegak, tampak selalu waspada. Aku dapat merasakan jantungnya perlahan menjadi tenang hingga membuatku kian tenang. Dia memang selalu diam, tapi dapat kurasakan dari pelukan dia perasaan yang tidak perlu diungkapkan.

"Ayah pasti akan selalu melindungiku." Aku berbisik pelan sambil memeluk lehernya.

Dia balas dengan mendekapku erat, terus melangkah sambil mengelus punggungku dengan lembut selagi dedaunan musim gugur menghias pemandangan.

Meski masih dilanda kebingungan akibat peristiwa tadi, aku pikir semua itu tidak perlu dicemaskan begitu mendalam. Barangkali karena dia takut kala melihat wujud asli dari ayahku, wajar saja manusia akan menganggap ngeri sosok yang tampak sedikit berbeda darinya. Namun, sejak pertemuan pertamaku dengan Bunga, aku tidak pernah merasa takut karena dari lubuk hati dapat kurasakan jiwa kami saling terpaut.

Bunga terus melangkah, masih mendekapku erat selagi membiarkan daun-daun menghiasi hutan hingga kembali menenggelamkan kami dalam kesunyian.

Yap, ini lanjutan dari bab "Rumah dan Sungai" waktu itu. Kenapa aku sediakan flashback di mana Nanala sendiri tidak menyaksikannya? Yah, karena kalau di posisi Bunga, dia tidak ingin menampilkan adegan awikwok sama anaknya. Cukup adegan orang disinari kelopak bunga putih aja aowkskwk

Lagian, ini juga perlahan Nanala akan paham sendiri seiring berjalannya waktu. Jadi, kalian tunggu aja perkembangan bocil ini.

Sampai jumpa!

Wonderful World of Flower [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang