19. Jalan-Jalan ke Hutan

33 6 0
                                    

Malam itu, aku kembali terbangun. Rasa gelisah bekas kejadian itu masih menghantui. Namun, begitu mataku terbuka, hati pun lega melihat ayahku masih di samping.


Dia berbaring dengan melingkari tangannya di sekitarku, melindungi aku dari setiap rasa cemas lagi takut. Aku duduk dengan pelan, tidak ingin mengganggu tidurnya.

Aku adalah putri dari Bunga, setiap aspek dalam hidupku selalu berkaitan dengannya. Meski dia tampak berbeda dari manusia yang biasa kulihat, sifatnya tiada beda dari orang tua yang sayang pada anaknya.

Bunga selalu membuatku merasa aman di sisinya, aku yakin dia pun mungkin merasakan kegelisahan yang sama waktu kami terpisah tadi. Kini kami bersatu kembali dalam ketenangan malam. Tanganku dengan lembut mengelus kelopak bunga putih dan biru yang menghias kepalanya. Meski tidak berwajah, aku yakin bagian ini yang bisa memberi ketenangan bagi dia, seperti yang biasa dia lakukan untukku.

Meski tidak menyanyikan lagu pengantar tidur, atau sekadar membacakan dongeng, kehadirannya sudah cukup membuat tidurku kian lelap. Bunga mungkin tidak bicara, tapi kami seakan saling memahami tanpa mengungkapkan perasaan dengan cara yang sama.

Kantuk kembali merayap dalam diriku, mata terasa berat. Kembali aku baringkan badan ke lingkaran tangan Bunga. Aku genggam lengan bajunya dengan erat, memastikan dia juga merasa aman bersamaku.

***

Sentuhan lembut dari matahari kembali menyambut pagi. Meski mata masih tertutup, aku merasakan kehangatan dari tangan yang senantiasa menjagaku. Dia mengelus pelan helai demi helai rambutku, membuat hati terasa aman. Meski malam tadi masih menyisakan kegelisahan, kini hari baru menyambut dengan Bunga masih ada di sisiku.

Kubiarkan dia terus mengelus rambutku, bunga-bunga kecil mungkin tidak memberikan rasa apa pun padaku, tapi aku yakin mereka juga merasakan kehangatan yang sama sepertiku. Sejak aku dilahirkan mereka senantiasa di sisiku, meski tidak tahu pasti peran mereka, paling tidak ada teman dalam setiap langkah hidup, selain Bunga tentunya.

Mataku perlahan terbuka, masih tampak samar. Aku mengucek mata yang masih terasa berat. Perlahan pandanganku kian jelas, memperlihatkan sosok Bunga yang menyentuh rambut. Meski tidak berwajah, aku tahu dia sedang tersenyum menyambutku.

"Pagi, Ayah." Aku mulai duduk dan kembali mengedipkan mata guna menyesuaikan dengan cahaya sekitar.

Bunga tampak duduk tenang membiarkan sinar matahari menyirami tubuhnya, barangkali sedang sarapan seperti yang biasa dia lakukan.

Begitu kesadaranku terkumpul, aku bangkit dari kasur. Bunga meraih tanganku, menuntun kembali ke ruang makan. Seperti biasa, sudah tersedia daging yang telah masak. Sementara Bunga duduk menikmati sarapan dari sinar matahari, aku pun menyantap daging yang disediakan.

Ingatan seputar kejadian malam itu masih terbayang, meski semua sudah kembali tenang, aku masih merasa sedikit kejanggalan akan kepergian Bunga yang mendadak tadi. Kalaupun dia hanya sekadar mencari udara segar, tidak seharusnya pergi begitu jauh dari rumah. Namun, tentu saja tidak akan kudapat jawaban pasti selain dari pemahamanku akan keadaan di sekitar.

Tidak ingin pikiran buruk menguasai, aku coba bicara kepada ayahku. "Ayah, kita boleh jalan-jalan keliling hutan lagi?"

Bunga menggangguk. Mungkin saja malam itu dia hanya mencari rute yang aman agar besoknya bisa membawaku berjalan bersama. Ingatanku kembali pada pertemuan dengan beruang berbunga itu, barangkali demi menghindari kejadian serupa, dia cari jalan lain yang lebih aman. Meski beruang itu tidak terlihat akan memangsaku, aku sendiri tidak ingin ambil risiko dengan berjalan di tempat yang sama dengannya.

Usai sarapan, aku keluar rumah dengan menggandeng Bunga seperti biasa. Meski ukuran tubuhku hanya sebatas pinggangnya, tangan kami masih bisa saling terpaut tanpa perlu usaha lebih untuk saling berpegangan.

Bunga juga berjalan dengan pelan, seakan menyamakan langkahku. Dia juga berhenti saat aku mengamati keadaan di sekitar hutan, rasa penasaran yang mengebu-ngebu membuat aku selalu ingin tahu apa gerangan setiap hal yang terlihat di depan mata.

Meski tidak pernah bicara langsung, aku usahakan untuk tetap berinteraksi dengan Bunga tidak hanya dengan kontak fisik. Kupikir berbicara juga penting untuk membuat Bunga merasa nyaman bersamaku.

"Ayah, ada tupai!" Aku tunjuk ke arah pohon dengan seekor tupai yang begitu gesit memanjatnya.

Kulihat kepala bunganya mendongak sedikit, mengikuti arah telunjukku. Begitu si tupai berhasil kembali ke sarangnya, Bunga menunduk dan mengelus rambutku. Seakan bilang, "Oh, si tupai kembali ke rumahnya."

Aku tersenyum dan menyentuh tangannya yang masih berada di antara rambutku. Telapak tangan Bunga terasa lembut seperti sentuhan Ibu dulu.

Mataku menangkap cahaya kuning yang indah di bawah pantulan sinar mentari. Begitu pandanganku kian fokus mengamati benda itu, terlihat beberapa jamur tengah menghiasi tanah dengan manisnya.

"Eh, jamur!" Aku tanpa ragu bergerak hendak menyentuhnya. Namun, tanganku dicengkram Bunga dengan keras, membuatku refleks menggerang. Bingung, aku tatap kembali ayahku, meminta penjelasan.

Meski tidak berwajah, terlihat dari tangannya yang gemetar berusaha agar aku tidak terlepas darinya. Meski tidak mengerti secara pasti, aku pikir dia tidak ingin aku menyentuh jamur cantik itu. Begitu melepas genggaman, Bunga mengelus tanganku. Tampaknya dia paham jika cengkaraman barusan terasa sakit.

Mencoba memahami, aku mulai bertanya. "Ayah, memangnya tidak boleh menyentuh jamur itu?"

Bunga mengangguk. Namun, mungkin dia juga paham kalau aku merasa kecewa karena dilarang menyentuh jamur cantik itu. Dia berjongkok lalu menunjuk tanah, saat itu juga tumbuh bunga putih yang memantulkan cahaya matahari, menciptakan pantulan warna pelangi di setiap kelopaknya.

Aku berdecak kagum, menyadari jika bunga barusan tampak lebih menarik dibandingkan jamur itu. "Boleh kusentuh?" Aku memastikan.

Melihat Bunga mengangguk, aku berjongkok dan menyentuh bunga itu. Kelopak putihnya tampak indah ketika memantulkan sinar dari matahari, menciptakan bayangan menyerupai pelangi indah menghias hutan. Meski ukurannya begitu kecil, tapi sukses membuat sinarnya menyebar ke seantero hutan.

"Cantiknya!" Aku memuji. Senyuman aku berikan kepada ayahku. Dia tidak pernah gagal membuatku terpesona dengan dunia bunganya yang indah. "Ayah hebat!"

Bunga balas dengan melingkari kedua tangannya padaku. Menciptakan kehangatan di bawah sinar mentari. Aku yakin dia menghargai setiap waktu yang kami habiskan bersama, sama sepertiku. Meski tidak saling bicara, seakan ikatan batin yang kuat telah berhasil membuat kami saling memahami tanpa perlu bicara dengan cara yang sama.

Aku balas pelukannya dengan merangkul lehernya, meski perbedaan tinggi membuatku begitu kecil baginya, paling tidak berusaha memberi kehangatan yang sama, seperti yang selalu dia berikan padaku. Meski tidak mengucapkan sepatah kata, aku seakan merasa dibanjiri dengan kasih sayang yang terpancar dari Bunga. Seperti yang selalu dia berikan kepadaku. Meski kami tidak seperti ayah dan anak pada umumnya, setidaknya masih bisa saling mencintai dengan cara kami sendiri.

Kurasakan tangannya mengelus pelan punggungku. Dia lalu mengangkat aku ke dalam dekapannya, berjalan kembali menyusuri hutan dekat tempat tinggal kami. Selagi dalam pelukannya, aku elus kelopak bunganya dengan lembut. Kubiarkan angin bersepoi-sepoi mengelus rambutku, selagi dedaunan musim gugur kembali menghias pandangan.

Wah, habis awikwok sikit, lalu santai, balik lagi ke santai. Tenang, semua akan indah pada masanya–eh, kok jadi gini ya?

Au ah, mending kalian vote dan komen cerita ini sebagai bentuk apresiasi. Jangan lupa juga, kasih tahu ke teman-teman kalo ini lho yang kalian baca di Wattpad, bukan cerita anu yang sangat amat awikwok wkwkwk

Sampai jumpa nanti!

Wonderful World of Flower [On Going]Where stories live. Discover now