9. Selalu Bersama

37 9 2
                                    

Keheningan malam semakin menyiksa. Aku duduk terdiam memandangi area hutan dari balik jendela. Hanya terlihat pantulan samar dari bayanganku yang membalas tatapanku. Menunggunya tidak pernah selama ini, aku menjadi cemas. Meski sudah disediakan bekal berlebih, semua terasa hampa tanpa kehadirannya.


Siang itu, aku menatap Bunga yang berdiri diam di depan pintu yang terbuka. Terdiam memandangi area hutan menghias halaman depan bersama rawa yang tenang. Saat ini, aku masih berusaha menghapal pola kegiatan harian Bunga. Kupikir memandangi area luar sambil menikmati sinar matahari termasuk bagian dari kegiatan itu. Tidak lama, dia mulai melangkah pergi.

Aku meraih tangannya dengan kedua tanganku. "Ikut!"

Tangan sebelahnya perlahan menyentuh kedua tanganku, melepas genggamanku. Seakan tidak ingin aku mengikutinya.

Aku tidak mengerti maksudnya. Kutatap dia. "Ayah mau ke mana?"

Tentu saja, dia tidak akan menyahut dengan kata-kata. Namun, tangannya kembali mengelus rambutku, membuat bunga-bunga kecil itu kembali berjatuhan dan menyatu dengan tanah. Ujungnya, bunga baru pun kembali tumbuh di antara helaian rambut.

Aku mencoba memahami maksudnya. Meski masih bingung. "Ayah mau pergi?"

Dia mengangguk, tangannya terus membelai rambutku.

"Mau ikut," pintaku. Aku merasa lebih aman kalau dia di sisiku.

Lagi-lagi, Bunga menggeleng. Dia angkat aku ke pelukannya, membawa kembali ke rumah dan menurunkan aku ke karpet. Dia berlutut, memposisikan kepalanya sejajar dengan pandanganku. Seakan meminta untuk dipahami.

Aku menatapnya, kedua tangan masih memegang tangan kanannya, tidak ingin melepas.

Kehangatan mulai menyelimuti tanganku. Terlihat sekuntum bunga putih muncul dari balik tangan kami. Aku menyentuhnya, meski terlihat seperti bunga biasa, terasa lembut ketika bersentuhan dengan kulitku.

Aku kembali merasakan tangan Bunga menepuk pelan rambutku sebelum kembali berdiri dan melangkah menjauh. Kali ini, aku tidak menahannya. Mulai paham kalau dia mungkin akan berjalan jauh dan tidak ingin mengambil risiko dengan membawaku.

Perlahan, Bunga membungkuk dan menutup pintu rumah. Aku ikuti arah perginya melewati jendela, memperhatikan sosok yang menjagaku mulai melewati rawa menuju area hutan. Bayangannya mulai menghilang dari pandanganku.

Kembali ke saat ini, aku masih menunggu dengan penuh harap dalam rumah. Di balik cahaya lampu yang remang, aku hanya bisa melihat kegelapan dari hutan. Memantulkan bayangan samar wajahku yang cemas dari jendela. Mataku kian berat, membawaku dengan pelan menuju dekapan alam mimpi.

***

Aku memejamkan mata. Berharap segala ini hanya mimpi buruk. Berharap segala kengerian ini sirna begitu pagi tiba. Namun, hingga fajar tiba, hanya keheningan menyapa. Tidak ada lagi tanda kehadiran adikku, satu-satunya yang kumiliki di dunia ini.

***

Napasku tercekat, mimpi tentang seorang abang dan adiknya membuatku gemetar. Meski dalam mimpi itu aku melihat Bunga membawa pergi sang adik, aku tetap merasakan kegetiran di hati kala menyaksikan kisah tragis hidup mereka. Terlebih saat abangnya tampak ketakutan melihat wujud Bunga untuk pertama kalinya.

Wonderful World of Flower [On Going]Where stories live. Discover now