20. Bunga Sendirian

44 8 0
                                    

Suasana hutan tampak tidak jauh berbeda dari awal aku menyusurinya. Pada hari pertama aku tidak sengaja tiba di sini, semua terasa asing. Ditambah kegelapan hutan serta minimnya pengetahuanku untuk bertahan hidup di sana. Untung saja tidak perlu menunggu lama setelahnya, Bunga datang dan menjemput.


Pada hari pertama kami berjumpa, aku mungkin merasa sedikit waspada. Terlebih sosok Bunga yang belum pernah kulihat sebelumnya, selain mungkin dari pandangan saat aku masih sangat kecil yang mana sangat sukar untuk diingat lagi. Hebatnya, Bunga berhasil menceritakan serangkaian kisah kepadaku melalui gambaran masa lalu. Aku begitu kagum dengan ayahku, dia memiliki begitu banyak kelebihan di balik keterbatasannya untuk bicara. Ingin sekali aku bertanya akan segala hal tentang keistimewaan tadi, tapi tentu saja dia tidak bisa menjawab langsung.

Masih dalam pelukannya, aku mengamati kelopak bunga putih dan biru yang menghias kepalanya. Aku ingat jika kelopak itu bisa dilepas, tapi tidak mungkin kucoba sekarang. Mengingat masa lalu pahit ketika anak-anak desa mencoba mengambil bunga-bunga putih di rambutku. Mungkin saja ayahku merasakan hal yang sama. Barangkali seperti itu.

Bunga membiarkan aku terus menggenggam jemarinya, sesekali dia juga menunjuk beberapa tumbuhan maupun binatang kecil yang ada di hutan dengan tangan bebasnya. Aku amati setiap benda yang dia tunjuk, mencoba memahami sekaligus bicara padanya.

Kadang, aku refleks bertanya, "Ayah, apa itu?" Meski tahu betul dia tidak akan menjawab langsung. Pandanganku menangkap sesuatu yang sedang melompat.

Mata cokelatku melebar kala melihat seekor kelinci cokelat tengah duduk di antara dedaunan merah yang menumpuk. Telinga panjangnya tampak manis ketika menggantung di kedua sisi kepalanya, membuatnya tampak sedang memakai gaya rambut kuncir dua. Tanganku melepas genggaman pada jemari Bunga, berniat ingin meraih kelinci itu.

Seakan paham, Bunga berjongkok sebelum melepas pelukan agar aku bisa mendekati kelinci itu. Namun, begitu mendekat aku menyadari keunikan dari kelinci ini. Di balik bulu-bulu lebat menyelimuti badannya yang bundar, terselib rangkaian bunga kuning menghias badannya, mirip seperti rambutku.

"Ayah, lihat! Kelincinya punya bunga!" Aku berseru riang sambil memegang rambutku. "Sama sepertiku."

Bunga mengangguk pelan. Mungkin dia lebih tahu dariku, tapi tidak bisa diucapkan secara langsung. Barangkali para penduduk di hutan ini berkaitan dengan bunga. Jika benar, berarti di tempat inilah aku dan Bunga sepantasnya berada.

Ingatanku kembali dengan si beruang berbunga tadi. Namun, aku lebih merasa aman bersama si kelinci yang dikenal sudah biasa hidup berdampingan dengan manusia. Hatiku terasa berbunga ketika tanganku mengelus pelan bulu-bulu cokelatnya yang dipenuhi bunga. Kelinci itu sama sekali tidak menghindar, malah sedikit mendongak dan menggosokkan kepala pada telapak tanganku, seakan ingin dielus.

"Lucunya!" Aku berceloteh sambil terus mengelus kelinci tadi.

Tidak lama, si kelinci melompat menjauh, barangkali ada urusan mendadak. Ekornya yang berbentuk bunga kuning itu bergoyang pelan sealagi kaki-kaki kecilnya melompati dedaunan. Aku mengucapkan selamat jalan pada si kelinci, berharap suatu saat kami akan berjumpa.

Begitu aku berdiri, aku merasakan tangan Bunga mengelus rambutku. Kalau dia bisa bicara, mungkin saja akan menceritakan tentang kelinci itu padaku.

"Beruang bunga." Aku mencoba mengembalikan ingatan Bunga. "Di mana dia sekarang?"

Bunga memiringkan kepala, aku masih belum paham maksud dari bahasa tubuh itu.

Wonderful World of Flower [On Going]Where stories live. Discover now