01. Home?

260 26 2
                                    

Rokok yang berada di apitan bibirnya tersisa setengah. Jemarinya sibuk menghubungi sebuah nomor yang sama, yang tak kunjung mengangkat panggilan darinya sejak sepuluh menit yang lalu. Berulang kali benaknya memaki, kakinya menghentak, kesal bukan main.

"Angkat, bangsat." Makinya lirih seraya menatap langit yang mulai mendung. Semilir angin malam pun mulai memeluknya yang hanya mengenakan kardigan tipis.

Gendhis memutuskan untuk menyusuri jalan raya karena panggilannya yang tak kunjung terangkat. Satu hela panjang napasnya terhembus pelan. Ia mendongak begitu satu titik air hujan terasa menimpa wajah dinginnya.

"I swear to God, angkat telpon gue." Ia kembali berujar lirih saat layar ponselnya masih menampilkan dering tanpa terangkat.

Pandangannya beralih dari jalanan begitu sebuah motor yang ia kenali berhenti tepat di sampingnya. Si pengemudi yang telah siap menerima makian Gendhis mengulas senyuman lebar. Kedua matanya menyipit terlihat di balik helm fullface yang ia kenakan.

"Setidaknya angkat telpon gue, anjing!" Maki Gendhis seraya berjalan mendekat. Ia langsung memosisikan diri di boncengan belakang.

"Aku langsung nyusulin kamu ke sini begitu kamu telpon. Maaf ya, Sayang."

Satu decakan keras keluar dari bibir Gendhis, ia memukul pelan bahu si pengemudi sebelum melingkarkan lengannya erat. Memeluk si pengemudi.

Perih yang terasa di pipinya menghilang begitu saja begitu ia menempelkan pipinya pada punggung lebar milik si pengemudi. Ditambah satu elusan lembut ia terima di tangannya. "Maaf ya, Sayang. Lain kali aku harusnya emang angkat telpon kamu dulu."

Jawaban yang Gendhis berikan hanya sebuah anggukan. Pikirannya lebih dulu berkelana, mengingat bagaimana hujan di larut malam memiliki kenangan tersendiri bagi dirinya.

Gendhis itu gadis yang keras kepala. Terbiasa dengan segala sesuatu yang telah tersedia membuatnya sedikit sulit dalam menerima sebuah alasan. Gendhis gadis yang terbiasa dengan kehidupan sendirinya. Membuatnya ahli dalam menghilang dan melarikan diri.

"Dengerin gue dulu, Gi!" Seruan itu masih teringat jelas di dalam kepalanya. Ketika hujan semakin deras, ketika malam semakin larut. Pukul dua dini hari.

"Lo mau gue dengerin apa lagi? Kalo lo sama dia emang tidur bareng? Udah gila emang lo, bangsat."

Lelaki itu, yang turut kuyub bersama Gendhis menatap perempuannya dalam diam. Dalam amarah yang sama memuncaknya.

"Open relationship bullshit! Emang lo-nya aja kan yang doyan main sana sini!" lanjut Gendhis, masih dengan amarah yang sama sekali tidak mereda.

"Lo bahkan nggak mau dengerin gue!"

"Gue nggak butuh alesan lo. Kalo lo emang mau sama dia, ya udah sana! Lo kira gue-"

"Setidaknya dengerin gue, Gendhis Ayu." Tatapan itu menajam. Gendhis semakin mengepal kuat, enggan mengalah dan juga enggan kalah.

"Fuck you, El. Gue nggak peduli."

Bertepatan dengan bibirnya yang terkatup, lelaki itu berjalan cepat ke arah Gendhis. Membungkam bibir dan amarah gadisnya dengan bibir miliknya. Menyalurkan ketenangan yang sejatinya mereka butuhkan sejak awal.

Air mata Gendhis yang telah beradu dengan air hujan tak lagi terlihat. Mata cantik itu terpejam. Mengikuti segala alur yang tercipta tanpa ia inginkan. Seharusnya ia menjauh, tapi nyatanya ia justru semakin berlari mendekat.

Kini, Gendhis semakin mengeratkan dekapannya pada si pengemudi motor. Tersenyum kecil mengingat alasan mereka saling bertahan satu sama lain.

"Baju kamu ada yang basah, Gi? Ganti baju dulu aja ya, aku siapin minuman anget buat kamu." Elang Danurejo bertanya khawatir pada Gendhis di hadapannya.

KalopsiaWhere stories live. Discover now