11. Angel

110 14 0
                                    

"Undangannya udah Ibu kasih ke temen-temen Ibu yang lain, Le." Kenan yang baru saja menuangkan air putih ke dalam gelas menoleh ke arah Ibunya yang berada di belakangnya. "Elang kapan pulang? Itu Eyangmu udah nanyain terus."

"Mungkin malem ini, Bu. Atau nggak ya besok pagi, emangnya Eyang berangkatnya kapan?"

"Besok sore, besok kamu di rumah aja kan?"

"Iya kayaknya, besok sampe lusa aku libur kok."

"Ya udah, istirahat sana. Ibu mau lanjutin bikin kue dulu."

Kenan yang akan melangkahkan kaki mengurungkan niat. "Aku bantu aja deh, Bu. Mau temenin Ibu bikin kue."

"Kamu kan baru pulang dari kantor. Nanti capek loh, Le."

"Enggak, cuman bantu buat kue kok capek. Ya?"

Sarah akhirnya mengalah dan membiarkan putra semata wayangnya itu membantunya di dapur untuk membuat kue kering. Ini adalah hal yang sangat mereka sukai sejak dulu. Saling bercerita sembari membuat kue kering.

"Emang mau dikasih ke siapa nanti kuenya, Bu?"

"Temen-temen Eyang. Sama sekalian Eyangmu besok katanya mau ke rumahnya orang tua Gendhis. Kamu mau ikut?"

"Boleh, aku udah lama juga nggak ke sana."

Perempuan ayu itu menoleh sekilas ke arah putranya. "Kamu ini bagaimana to, ke rumahnya calon mertua kok jarang itu gimana? Kan kalo ke sana nggak harus nunggu Gendhisnya bisa, Le."

"Aku kan juga akhir bulan, Bu. Dari kemarin masih lembur terus jadinya belum sempet ke sana lagi."

"Bukan karena kamu ada masalah sama Gendhis kan?"

Sejenak, Kenan terdiam. Bagaimanapun, perempuan yang berada di hadapannya saat ini adalah orang yang selama ini mengandung dan membesarkannya. Sulit untuk berbohong. Tetapi jawaban yang mampu ia berikan hanyalah sebuah senyuman manis.

"Ya enggak lah, Bu. Aku sama dia baik-baik aja, Bu. Cuman ya karena ini juga udah deket sama pameran dia jadinya kan pasti sibuk banget."

Sarah mengukir senyuman. Ia mengangguk kecil, terkesan ragu akan jawaban putranya sendiri. "Sejujurnya Ibu itu nggak tega juga sama dia dan kamu, Le."

"Bu." Kenan memotong ucapan Ibunya dengan lembut.

"Eyangmu terkesan seperti memaksakan kalian berdua. Memangnya kenapa kalau kalian itu tidak bersama. Kenapa harus kamu dan Gendhis?"

"Bu, kok gitu sih? Kan dari awal aku udah bilang kalo yang mau perjodohan ini memang aku. Cuman waktunya kebetulan barengan sama usaha Om Purnomo aja, Bu."

"Ibu itu ngerti. Tapi kan Gendhis juga masih terlalu muda, Le. Ibu itu pengalaman loh nikah muda. Ayahmu dulu memang baik sekali, tapi apa mental Ibu terus siap begitu aja cuman karena Ayahmu orang baik?"

Sarah menatap Kenan. Ia menggeleng kecil. "Enggak. Ternyata suami yang baik itu juga nggak akan cukup kalau mental kita memang belum siap. Dan kamu, apa kamu siap kalau kamu harus jadi kayak Ayah kamu yang ngehadapin perempuan labil kayak Ibu dulu dan Gendhis besok?"

Apa Kenan siap? Apakah Kenan akan siap?

Jawabannya, Ya. Kenan selalu siap.

Bahkan Kenan telah menegaskannya sejak awal jika apapun, apapun untuk gadisnya.

Apapun.

Ia mengangguk yakin. "Kenan selalu yakin sama keputusan Kenan yang ini, Bu. Sama sekali nggak pernah ragu. Ibu juga harus bisa yakin sama aku ya?"

Jika Kenan bisa yakin dengan keputusannya sendiri. Mengapa Sarah merasa begitu berat?

Pelan, perempuan itu mengangguk. "Iya, Ibu yakin sama kamu. Sekarang tolong ambilin nampan yang ukuran 20 senti itu di dalem almari."

KalopsiaWhere stories live. Discover now