09. Mirrors

114 16 3
                                    

Gendhis itu bagai setengah bagian dari diri Renjana.

Ketika pertama kali mereka tiba di rumah gadis itu, Sekar senang bukan main karena Renjana yang ikut turun dari mobil. Merentangkan tangan dan berlari menghambur ke dekapan Sekar. Ia bagai pulang. Bahkan Gendhis saja hanya tersenyum tanpa memeluk Maminya seperti Renjana.

"Mami! Kangen loh aku sama Mami nih." Ucap Renjana begitu manja.

"Mami juga, Anak lanangku. Ayo masuk. Gendhis, ayo masuk. Kita makan malem bareng ya? Kalian belum makan kan?" Lengan Renjana merangkul erat lengan Sekar. Justru seperti lelaki itulah putra dari Sekar. Gendhis maklum. Sangat maklum.

Renjana hidup sebatang kara setelah kecelakaan yang terjadi pada Ibu angkatnya. Mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu? Gendhis lupa-lupa ingat akan ceritanya. Lelaki itu satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh Ibunya meskipun bukan kandung.

"Mami masakin sop ayam kesukaan Gendhis sama kamu. Mau Mami ambilkan minum dulu? Es teh mau, Le?"

Renjana menggeleng, ia justru menuntun Sekar untuk duduk. "Mami duduk aja ya? Biar aku yang siapin."

"Astaga, ya udah." Lantas Renjana berjalan menuju dapur untuk menyiapkan es teh bagi Gendhis dan Maminya.

Lelaki itu kembali dengan membawa teko berisi es teh manis.

"Kamu itu padahal bisa loh ke sini tanpa harus nungguin Gendhis. Kayak lupa jalan ke sini aja loh kamu ini, Nak." Ujar Sekar ke arah Renjana yang kini telah duduk di kursinya.

"Astaga, Mami. Kan dia juga sama sibuknya kayak aku." Sungut Gendhis. Tidak terima karena Maminya justru terlihat lebih memperhatikan Renjana.

"Ya kan barangkali pengen ke sini pas kamu lagi nggak kepingin pulang, Nduk."

Renjana tertawa kecil. "Iya, Mami. Maaf ya, Mi. Aku akhir-akhir ini beneran sibuk banget, sama kayak Gendhis. Kan kita juga harus nyiapin pameran bareng juga."

"Oiya ya, barengan juga kan waktunya?"

"Ya enggak dong, Mi. Nanti rencananya bakalan Renjana duluan di hari pertama sama hari kedua, baru ketiga sama keempatnya aku."

"Loh, itu selama berapa hari emangnya?"

Gendhis yang semula akan menjawab memilih menghela napas panjang dan menatap Renjana. Meminta lelaki itu untuk menjelaskan mengenai pameran mereka pada Maminya.

"Besok kalau udah jelas sejelas-jelasnya bakal kita kabarin kok, Mi." ucap Renjana akhirnya, menenangkan Sekar yang telah ingin tau.


-


Kareen duduk di sofa di dalam unit apartemen milik Narendra dengan wajah tertekuk. Ia masih enggan menerima uluran sapu tangan Narendra padanya. Masih hanya mengusap air matanya dengan tangan meskipun rasanya air yang menganak sungai di pipinya itu enggan berhenti.

"Kamu ada apa sebenernya, By? Tiba-tiba banget ribut sama Gendhis."

"Aku muak sama dia." Kalimat pertama Kareen membuat Naren mengangkat kedua alisnya, meminta penjelasan lebih lanjut. "Dia itu sebenernya bisa mikir atau nggak sih, Na? Dia nggak jawab sama sekali telfon Mas Kenan, padahal kamu tau sendiri kan tuh anak nggak bisa lepas handphone."

Naren mengangguk, Kareen sedang sangat sensitif kali ini. Jadi satu-satunya hal yang bisa meredakan emosi gadis itu adalah dengan mengiyakan seluruh ucapannya.

"Dia juga nggak pernah bolehin Mas Kenan itu ke studionya. Padahal kamu tau sendiri juga kan kalo Mas Kenan itu pasti panik kalo Gendhis nggak bales telfon atau pesannya."

"Aku ngerti, tapi kenapa kamu tiba-tiba banget gitu ribut sama Gendhis? Kamu ada masalah apa?"

"Dia itu nggak punya hati kamu tau nggak? Dia bisa habisin waktu berduaan terus sama cowoknya yang nggak jelas itu sedangkan Mas Kenan nungguin dia buat cuman sekedar ngabarin kalo dia baik-baik aja!" seru Kareen. Menggebu, tetapi masih enggan menyebutkan nama Elang.

KalopsiaWhere stories live. Discover now