03. Backburner

141 15 6
                                    

Nanti kalau pulang beli obat
• Masmu demam

Elang menghentikan langkahnya sejenak saat membaca pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Ia tergugu beberapa saat seraya memandang ke arah segerombolan teman-temannya yang berada di halaman parkir fakultas Gendhis dan Renjana. Perempuan yang ia nanti eksistensinya sejak kemarin muncul dari dalam gedung, berlari kecil menuju ke arah Kareen. "Guys, duh kayaknya gue nggak bisa ikut dulu nih." Wajah itu penuh kekhawatiran. Elang semakin urung melangkahkan kaki untuk mendekat.

"Lah, kenapa? Tiba-tiba banget?" tanya Renjana.

Gendhis memandang sahabatnya itu. "Kenan sakit katanya, gue mau ke sana dulu deh sebelum Mami yang ngomogin gue."

Narendra mengangkat sudut bibirnya, yang lantas mendapat senggolan pelan oleh Kareen. Sedangkan Renjana tersenyum kecil.

"Iya dah. Mau gue anterin ke sana sekalian?" Tanya Narendra.

"Nggak, nggak usah. Udah pesen ojek kok. Sorry banget, next time deh gue ikut." Gendhis menatap Renjana dan Kareen bergantian, penuh perasaan bersalah. Agenda mereka yang akan makan bersama di salah satu restoran yang baru saja buka menjadi batal karena dirinya.

Kareen mengangguk mengerti. "Salam buat Mas Kenan, semoga cepet sembuh."

"By, apaan sih." Dengus Narendra tidak terima, Kareen mendelik untuk menyuruh lelaki itu diam.

"Baik-baik dah lo." Ucap Renjana sembari menyalakan sebatang rokok.

"Iya, gue duluan. Sorry banget ya." Gendhis tersenyum, lantas berjalan menjauh saat ojek pesanannya telah datang.

Di ujung jalan, Elang menatap kepergian Gendhis yang terlihat terburu dengan senyuman getir yang terukir di bibir. Ia tau persis kemana gadisnya itu akan pergi. Ia tau persis apa yang membuat Gendhis terburu. Satu nama.

Dan perasaannya kembali terluka atas hal yang sama.


Kenan membuka matanya saat mendengar pintu kamar terbuka. "Nanti aku makan, Bu. Tapi nanti, ya?" Ujarnya lantas membalikkan badan, memunggungi pintu.

"Ini aku."

Suara yang tak asing itu membuat Kenan beranjak duduk. Gendhis berdiri di ambang pintu membawa satu plastik buah-buahan. Tersenyum manis ke arah Kenan yang masih terkejut.

"Kok nggak bilang mau ke sini?"

"Tadi Tante Sarah bilang kamu sakit, masa iya aku bilang ke kamu kalau mau jengukin ke sini?"

Gadis itu duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur untuk menyentuh dahi Kenan yang telah menurun demamnya. Lelaki itu hanya terdiam, menikmati perhatian kecil yang Gendhis berikan.

Entah itu hanya sebatas formalitas atau memang sebuah ketulusan, Kenan tidak pernah tau. Yang ia tau, gadisnya itu saat ini masih menjadi miliknya.

"Masih pusing?" Tanya Gendhis. Ia menatap Kenan yang pucat pasi.

"Udah baikan habis liat kamu." Si cantik merotasikan bola matanya dengan malas.

"Udah gede masih hujan-hujanan sih kamu, jadi sakit kan."

"Jangankan hujan, badai juga bakal aku terjang, Gi kalo buat kamu mah."

"Ish! Jangan ngada-ngada deh. Kalo kamu sakit tuh terus nanti yang bakal jagain aku siapa. Dah, sini." Lengan gadis itu terentang lebar, menanti lelakinya untuk masuk ke dalam dekapan hangatnya.

Kenan mengulum senyuman sebelum kemudian merangsek pada dekapan itu. Dekapan yang terasa begitu nyata dan tanpa ragu. Sebuah dekapan yang terasa penuh perasaan.

KalopsiaWhere stories live. Discover now